Kegiatan Pengobatan Tradisional Tiongkok Efektif Berjalan Pasca Pilpres 2024
dilaporkan: Liu Setiawan

Perjuangan untuk membentuk PPTII (Perkumpulan Pengobat Tradisional Interkontinental Indonesia) melalui perjalanan panjang dan berliku. Internal Kemenkes, terutama pada level eselon I & II (dirjen dan direktur) sempat ada resistensi sikap terhadap kegiatan akupuntur, herbal, tuina. Selain Kemenkes, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga mengakomodir pendidikan ilmu kesehatan tradisional Tiongkok pada level universitas. “Sejak itu, ada prodi (program studi) akupuntur di beberapa universitas, antara lain UMS (Universitas Medika Suherman) di Bekasi, Universitas Katolik Darma Cendika (Surabaya) dan lain-lain. PPTII sebagai organisasi lebih mapan dan efektif untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional dan pengembangan herbal khas Tiongkok,” kata Didik.
Apalagi, perkembangan MEA (masyarakat ekonomi ASEAN) dan globalisasi yang sangat pesat di Indonesia berdampak langsung pada sektor kesehatan khususnya di bidang pelayanan kesehatan tradisional. Warga negara Indonesia (WNI) yang telah mempelajari ilmu kesehatan herbal, akupuntur sempat mengalami kesulitan untuk berkecimpung dalam mengamalkan ilmunya kepada masyarakat Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah WNI yang mempelajari tentang ilmu kesehatan herbal, akupunktur dan tuina semakin bertambah. Fenomena covid sepantasnya disikapi dengan bijaksana. “Ada hikmah di balik musibah covid yang memberikan dampak positif terutama kami, para akupunktur,” kata Didik Waluyo.
Era pemerintahan presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono; 2004 – 2009, 2009 – 2014), sempat dimulai penyusunan Undang Undang terkait dengan pengobatan tradisional. Tapi tidak ada akupuntur yang terdorong untuk urun rembuk menyusun regulasinya. Saat itu, para akupuntur yang sebagian besar keturunan Tionghoa masih belum tergerak. Tapi ketika Presiden ke 7 RI Joko Widodo dilantik pada Oktober 2014, beliau langsung menerbitkan Keppres (Keputusan Presiden) untuk lebih meningkatkan efektifitas dan kemapanan organisasi para akupuntur. “Baru tiga bulan dilantik, pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) langsung menerbitkan Keppres. Perjalanan panjang dan berliku, terutama waktu masa Pak Harto (presiden ke 2 RI, alm. Soeharto; 1967 – 1998), izin praktik akupuntur sangat sulit. Setelah era reformasi, kami mulai dipermudah. Kami diminta untuk mendirikan asosiasi sampai urusan perizinan praktik. Tapi kami bukan dokter di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Kami hanya urus registrasi di bawah pengawasan kejaksaan. Seiring waktu berjalan, sekarang ini, kami di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan,” kata Didik Waluyo. (LS/IM)















