Pengajaran agama yang bersifat eksklusif sangat efektif untuk membentuk umat menjadi teroris. Berdasarkan interaksi saya dengan para teroris Indonesia, mereka bukan psikopat, neurotic atau penderita sakit mental. Demikian hasil perbincangan Washington Ouikumene Masyarakat Indonesia (WOMI) dengan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono di House of WOMI, Maryland, Sabtu, 6 Agustus 2011.
Mereka memiliki rumah tangga yang bahagia. Mereka bersikap sopan dan tidak berkata kasar. Menurut catatan polisi, sebelum menjadi teroris, mereka tidak pernah melakukan kejahatan.
“Dunia yang berubah sangat cepat telah membuat mereka merasa terkepung (siege mentality), sehingga mereka menjadi umat mayoritas yang berkepribadian minoritas. Itulah yang juga dilakukan oleh Anders Brevik di Norwegia,” ujar Guru Besar bidang Psikologi Sosial tersebut dalam menjawab pertanyaan dari Seber Tampubolon, Michael Leleury, Joe Wahyudi, Tonny Tanos, Linda Campbell, Budy Utama, James Bangga, Partogi Samosir dan Roy Lantang.
Sekte radikal selalu melarang anggotanya terlibat dalam kegiatan ibadah yang diadakan oleh masjid/gereja lainnya. Sikap beragama yang ektrem itu sangat disukai oleh pemimpin sektenya, karena dengan begitu dia mengambil banyak keuntungan.
“Jangan jadi orang yang suka menggerutu menyalahkan keadaan atau menjelek-jelekkan orang lain yang berkarya melebihi kemampuan kita. Sebaliknya, bersikaplah sportif, dan lakukan sesuatu yang kongkret, yang inklusif yaitu yang melibatkan sebanyak mungkin unsur masyarakat,” simpul Prof. Sarlito.
Partogi Samosir
Counselor
Embassy of Indonesia
2020 Massachusetts Ave, NW
Washington, D.C. 20036