Bagi yang pertama kali mengunjungi Bangkok baru baru ini, dengan
tidak terasa kita akan terkenang dengan “One Night In Bangkok”
sebuah lagu gubahan Benny Anderson dan Bjorn K. Ulvaeus dari
group Swedia ABBA yang sangat digemari masyarakat Swedia. Dan
lagu itu menjadi lebih terkenal lagi setelah menjadi lagu bagi pentas
musical Chess.
Besar kemungkinan dari perkenalan lagu itu, Thailand, tentunya
Bangkok dan beberapa tempat lainnya seperti Chiang Mai, Pattaya
dan Phuket menjadi sasaran para turis luar negeri, terlebih pula
turis Swedia. Mereka datang berbondong bondong menikmati sinar
matahari sangat didambakan oleh masyarakat Swedia yang selalu
hidup dalam suasana kedinginan. Selain tertarik dengan cuaca hangat,
pantai laut meluas, pemandangan pulau pulau batu menjulang di
tengah laut, shopping centres besar penuh dengan beraneka barang
menarik, murah, makanan lokal sedap, exotic dan murah, tidak
terlepas dengan tersedianya pelayanan sex yang terdapat dimana
mana mengatasnamakan massage parlour, satu lagi fakta yang sangat
menunjang adalah pertukaran uang yang menguntungkan para turis
luar negeri. Menurut fiscal conversion, Swedia SEK 100 bersamaan
nilai dengan uang Thailand BHT 477, lebih dari 4X ganda. Dengan
perbandingan yang demikian menunjang, tidak mengherankan jika
banyak turis Swedia, juga turis luar negeri lainnya menjadikan
Thailand sebagai turis destinasi di Asia yang paling digemari
masyarakat. Di Thailand mereka bisa makan kepiting, lobster, udang
gala besar dan hidangan see food sepuas puasnya tanpa kuatir harga
tinggi tidak terjangkau seperti ketika berada di negerinya sendiri.
Bukan saja harga makanan, ongkos transportasi umum dan beaya
penginapan jauh lebih rendah dibanding dengan harga di Eropa,
pelayanan di Thailand juga jauh lebih ramah dan akomodatif.
Sangat tepat Thailand dipromosikan dalam tour brochure sebagai
The Land of A Thousand Smile. Jalan jalan sepanjang trotoir di
malam hari, seringkali bertemu dengan masyarakat setempat duduk
menikmati makanan yang dihidangkan oleh pedagang di kaki lima,
ketika melihat turis lalu mereka selalu tersenyum sambil memberi
isyarat menawarkan hidangan yang sedang disantap bagaikan tuan
rumah menawarkan tamu makan bersama ketika datang berkunjung,
sekalipun saling tidak mengenal satu sama lain. Alangkah manisnya
kelakuan itu yang lahir secara spontan dan alami. Sebaliknya, di
Singapura pemerintah perlu mengadakan campaign agar masyarakat
lebih sering bersenyum. Di Thailand masyarakat tidak perlu arahan
dari pemerintah untuk bersenyum, untuk beramah tamah satu
dengan lain. Pernah sekali di Bangkok ketika turun dari taxi hendak
membayar harga yang sudah ditentukan bersama, ternyata kami hanya
ada uang besar, sedangkan uang kecil kami tidak mencukupi, dan
tukang taxi juga tidak cukup uang untuk menukar. Dalam keadaan
yang agak canggung, tukang taxi dengan santai dan wajah tersenyum
mengatakan dengan bahasa tangan “Sudahlah, tidak apa, beri saja apa
adanya.” Ini berupa satu pengalaman indah sebagai turis yang belum
pernah kami temukan di mana saja.
Kembali kepada lagu “One Night In Bangkok”, pada permulaan lyric
lagu itu membandingkan secara negative kehidupan di Bangkok
terutama kehidupan di lapangan hiburan pada malam hari dengan
permainan chess yang bertanding saling ingin mengalahkan lawannya
dengan bermacam cara, tidak beda dengan nightlife di Bangkok para
pedagang hiburan berusaha menawarkan layanannya menggunakan
berbagai tipu muslihat. Sementara ensemble yang ditunjukan dalam
musical Chess mencerminkan Bangkok semata mata sebagai red light
district daerah pelacuran, dikelilingi air kali yang kotor berlumpur,
dan melukiskan patung Budha berbaring dengan konotasi sexual.
Semua ini dipandang sebagai satu penghinaan dengan maksud
politik bagi pihak Thailand. Pada tahun 1985, Mass Communications
Organization Thailand memutuskan ban atas penyiaran lagu One
Night In Bangkok karena dianggap dapat menyesatkan pengertian
dunia luar terhadap budaya Thailand dan tidak menghormati agama
Budha. Disini tampak betapa besarnya perhatian pimpinan dalam
menjaga kepentingan nama baik rakyat dan negaranya di muka dunia.
Tahun 1985 sudah lewat hampir 3 dekade yang lalu, pimpinan
Thailand terkenal dengan seringnya pertukaran pucuk kekuasaan
pemerintahan, tapi siapa pun yang berkuasa terdapat satu persamaan;
mereka sangat menghormati kebudayaan dan tradisi rakyatnya.
Sekalipun sangat bergantung pada penghasilan dari turisme, namun
Thailand tidak menjual murah identity diri demi kepentingan turis
luar negeri. Ini dapat di lihat dimana mana nama jalan banyak
memakai bahasa Thai, tidak bahasa Inggeris, pembicaraan sehari
hari sesama mereka baik yang muda ataupun tua seluruhnya dalam
bahasa Thai, tidak dicampur aduk dengan bahasa Inggeris seperti di
Jakarta misalnya. Juga demikian dengan nama nama restoran atau
perusahaan yang dipajang untuk dikenal umum. Sebagian besar dari
bahan bahan yang dijual di supermarket atau pasar kelontongan rata
rata menggunakan bahasa Thai sebagai informasi. Memberi kesan
bahwa daya beli domestic market cukup besar, tidak bergantung
semata mata pada foreign market, ini juga terlihat dari banyaknya
pembeli orang lokal yang datang mengunjungi shopping mall, tidak
hanya turis luar negeri. Lagu lagu yang disiarkan di tempat tempat
hiburan juga kebanyakan lagu Thai, tidak lagu lagu pop Barat. Ini
sangat menyegarkan bagi kami yang sudah terbiasa disuguhkan lagu
lagu pop Barat di tempat umum dimana saja di Singapura.
Mengenai sungai dan kanal yang banyak terdapat di Thailand, terlebih
lagi di Chiang Mai dan Phuket airnya sangat bersih, bahkan terdapat
air mancur sepanjang kanal yang mengitari kota tua Chiang Mai.
Tidak ada orang membuang sampah, juga tidak ada orang mandi atau
mencuci pakaian dll di tepi kanal. Di Thailand dimana mana terdapat
river tour mengelilingi sungai, dan seluruhnya tampak bersih sangat
terawat, tidak tercemar polusi, termasuk sepanjang perjalanan floating
market yang terkenal di Bangkok.
Sebagai sesama anggota negara Asia Tenggara kita turut merasa
bangga dengan kemajuan yang terdapat di Thailand, kesadaran tinggi
diantara masyarakat menjaga kebersihan lingkungan kota dan sungai
patut ditiru. Kata terakhir kita serukan konotasi negative dalam lirik
One Night In Bangkok itu salah, mencerminkan betapa dangkalnya
pandangan sebagian orang Barat terhadap budaya dan tradisi Asia.