Letnan Satu (Lettu) GOEI TJING SHOEI (8 February 1920 – 8 Desember 1966)
Dilaporkan: Setiawan Liu
Palembang, 8 Januari 2022/Indonesia Media – Goei Tjhing Shoei direkrut Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 1949, yakni pada saat negara membutuhkan anak-anak Bangsa yang mau bergabung TNI. Goei bergabung tahun 1949, setelah terlebih dahulu mengikuti sekolah kepandaian/kejuruan infanteri di sebuah kota kecil, yakni Curug Sumatera Selatan. Goei dengan NRP (Nomor Register Pokok) 277518 kesatuan Djawatan Kesehatan Angkatan Darat (DKAD) yang sekarang menjadi Kesdam II/Swj. Skep Pensiun dari Markas Besar TNI AD Bandung.
“Almarhum Papi saya gabung TNI pada tahun 1949, dan pensiun 1965. Dia bebas tugas, sampai pensiun,” kata anak sulung Goei, yakni Johan Goei. Pada waktu itu meletus kejadian G30S/PKI. Tapi orang tua ditarik kembali karena negara memerlukan tenaganya. Ia sempat aktif kembali selama enam bulan. Tanggal 28 desember 1966, beliau meninggal dunia. Kejadian G30S, 30 September 65, pada waktu itu, akhir bulan ditarik kembali, istilahnya kegiatan konsinyir atau siaga di dalam markas. “Nama Tionghoa Papi saya tidak berubah, (yakni) Goei Tjhing Shoei. Pada SP Pensiun tetap menggunakan nama tersebut. Pada zaman Orde Lama, memang tidak ada keharusan mengubah nama Tionghoa, kecuali era Orde Baru (Orba),” kata Johan yang menetap di kota Palembang.
Alm. Goei satu rating dengan dr. Ibnu Sutowo dan JM Pattiasina yang sama-sama di Palembang. Pada tahun 1957 ini, Pattiasina masih berada di Palembang sebagai Komandan Genie Pioner (Komandan KMKB April 1957), ketika perminyakan diserahkan kepada Angkatan Darat pada Oktober 1957. Pattiasina membawa anggota Genie dengan berbagai kemampuan teknik, tetapi juga handal sebagai tentara. Tidak sulit bagi Pattiasina, karena mengenal persis kualitas anggotanya yang juga terlibat dalam masa perang kemerdekaan dan gerilya di Sumatera Selatan. “Pattiasina pernah dikaryakan dari militer ke Standard Vacuum Sales Company (Stanvac) Pertamina karena Palembang dulu banyak tambang minyak,” kata putra daerah Palembang, kelahiran 18 January 1953.
Secara kasat mata, ketika Goei memasuki masa pensiun dan menyelesaikan tugas negara, karir dan pengabdiannya praktis tanpa cacat. Walaupun profesi kemiliteran tidak sampai diturunkan kepada 11 orang anaknya, tetapi kedisiplinan diterapkan dalam keseharian keluarga besarnya. Istri almarhum, yakni Yuliana Petronella berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Yuliana juga bertugas sebagai perawat di Rumah Sakit (Rumkit) Benteng, Palembang. “Nama Rumkit Benteng sudah berubah menjadi Rumkit dr. A.K. Gani. Sebetulnya, nama lengkap ibu saya sangat panjang, (yakni) Yuliana Petronella Apouw Kereh. Karena dari Minahasa, dia punya marga ‘Apouw Kereh’. Beliau juga sudah meninggal pada tahun 1998. Ibu saya sangat mendukung karir suaminya di TNI. Kedua orang tua saya mengabdi untuk Bangsa dan Negara, khususnya kesehatan militer. Waktu almarhum masih pendidikan infanteri, kami sekeluarga tidak tidur di asrama, tapi di mobil ambulans selama enam bulan. Ada velbed tempat tidur lipat (dari kulit). kami juga tidak tidur di barak militer. Kami mandi di sungai. Mobil ambulans zaman dulu kan besar dan tinggi. Daerah Curug, tempat kami menetap juga dingin sehingga betah saja beraktivitas di dalam mobil ambulans,” kata alumni Sekolah Kristen Methodist, Palembang
Kedisiplinan adalah bagian dari keseharian alm. Goei di depan anak-anaknya. Selain, alm. Goei mendorong anak-anaknya punya rasa percaya diri, dan sebaliknya tidak minder sebagai minoritas. Pemikiran beliau, bahwa dia tidak menutupi asal usul, silsilah sebagai keturunan Tionghoa. “kita tinggal di Indonesia, hidup di Indonesia, dan mati di Indonesia. Sehingga kita nggak usah takut, nggak usah kecil hati kalau di bully dengan isu rasisme. Seperti caci maki ‘Cina Lu ….’ Dan memang tempo dulu, orang Tionghoa dan non-Tionghoa sangat akur khususnya di Palembang,” kata Johan.
Alm. Goei berasal dari keluarga berada, yakni saudagar di Palembang, namanya Goei Tiang Mo yang meninggal pada tahun 1924. Goei Tjing Shoie tetap mandiri walaupun dia anak bungsu. Sayangnya, Goei tidak mendapat penghargaan dari negara, sehingga dimakamkan di TPU Kristen di Palembang. Johan mengingat-ingat kembali suasana ketika kedua orang tuanya masih ada, terutama ketika alm. Goei masih aktif sebagai anggota TNI. Johan melihat rasa suka cita lebih banyak sebagai anak seorang TNI aktif. “Fasilitas negara, terutama kesehatan. Kalau pendidikan, tidak ada. Kami semua disekolahkan di sekolah swasta, Methodist. Saya tidak melanjutkan sampai universitas, hanya SMA. Adik-adik saya semuanya Muslim, saya sendiri beragama Kristen Protestan. Sementara istri saya beragama Khong Hucu,” kata Johan.
alm Goei, pensiunan TNI dengan SKep Pensiun No.00163 – W9 – 572/XLV-I/1985 tertanggal 23 January 1985. Beberapa hari setelah beliau meninggal dunia, berbagai atribut TNI sempat disimpan. Seragam PDL (pakaian dinas lapangan) TNI, senjata cold, helm baja dan lain sebagainya disimpan dalam almari. Tetapi beberapa anggota keluarga, terutama adik almarhum sempat meminta. Pakaian militer dulu lebih tebal. Selain ada juga kotak-kotak obat, container dari kayu ukuran satu meter yang sempat dikoleksi. “Kotak-kotak obat sempat dimanfaatkan untuk simpan beras. Pakaian seragam militer, termasuk helm baja yang terdiri dari dua lapis bernilai tinggi karena kenang-kenangan. Saya sempat pegang senjata colt, tapi akhirnya diminta oleh salah seorang teman almarhum. Mami saya sempat simpan, tapi akhirnya kasih kepada teman almarhum. Mungkin karena alasan keamanan, karena waktu itu saya dan adik-adik masih kecil,” kata Johan. (sl/IM)