WALAUPUN kematian merupakan hal alami dalam daur hidup setiap orang, sering kali ada anggapan bahwa kematian bukanlah hal yang menjadi bagian dari dunia anak-anak.
“Memang demikianlah halnya. Hidup mereka masih terbentang luas dengan segala pengalaman yang masih harus dialami dan dinikmati. Jarang sekali ada yang mencoba memahami atau menceritakan bagaimana seorang anak melihat dan mengalami peristiwa kematian,”- Gerda C Van der Horst van Doorn dalam bukunya Wim Terhorst en zijn vriend Sarip (Amsterdam: JJ Kuurstra. 1946), yang bercerita tentang seorang anak Belanda di Batavia yang
menyaksikan upacara penguburan seorang China kaya.
Cerita itu menarik karena sangat deskriptif. Marilah kita nikmati bersama.
… Lihatlah, di sana ada orang China yang akan dikubur. Musik duka yang aneh di telinga Wim lamat-lamat mulai terdengar. Di jalan, sanak-keluarga dan handai-taulan yang bermuka sedih berjalan perlahan dalam pawai duka yang sepintas lalu tampak meriah.
Di belakang orang-orang itu, empat orang mengusung breng-breng (semacam alat musik perkusi seperti gong). Dua orang lelaki berjalan di depan dengan breng-breng yang kecil diiringi oleh dua lelaki lagi dengan breng-breng yang lebih besar. Keempat lelaki itu berpakaian khas China yang disebut toa pao.
Rupanya orang kaya yang akan dikubur. Setelah pembawa breng-breng berlalu, tampak di belakang mereka dua orang yang membawa telong, lampion-lampion besar yang dibuat dari kain katun atau kertas.
Pastilah dalam hidupnya, orang yang meninggal itu aktif berorganisasi karena banyak sekali panji-panji perkumpulan yang berkibar dibawa orang dalam pawai itu. Suasana meriah bertambah lagi oleh kibaran bendera-bendera pemberian teman-teman akrab orang yang meninggal. Nama orang yang meninggal, pekerjaan, dan segala amal baik yang pernah dilakukannya tertera di setiap bendera.
Tidak ketinggalan tentunya ucapan belasungkawa dan nama orang yang memberi bendera itu, serta doa agar yang meninggal dapat beristirahat dengan tenang di alam baka.
Di kiri-kanan orang-orang yang mengusung breng-breng, telong, dan bendera-bendera duka itu, berjalan pelayat-pelayat yang menyebarkan carik-carik kertas berwarna keemasan. Hal ini dilakukan untuk menyenangkan arwah nenek moyang yang kadang-kadang masih berniat mengganggu perjalanan terakhir orang yang meninggal itu.(Frieda Amran anggota Asosiasi Antropologi Indonesia)