Cruise Asia Kedua Special Edition # 36
Minggu, 1 Maret 2020, Tokyo Kamata Medical Center
Hidup itu menunggu, kata Samuel Beckett di ‘En Attendant Godot’. Di
dalam skala jam saya sedang menunggu diajak main bridge ‘online’ di
Bridge Base Online https://www.bridgebase.com/ oleh kolegaku dari
ABS, Akademi Bridge ServiamTO. Di dalam skala hari saya sedang
menunggu hasil test PCR saat dirumkitkan Rabu malam, ditest Kamis pagi
yang lalu. Karena orang Jepang disiplin, Sabtu Minggu beneran libur,
baru esok saya akan tahu hasilku. Kalau sampai negatif, artinya ya
test di Wako Campus ‘false positive’ dan saya akan minta cepetan
ditest lagi. Kalau sampai amit-amit positif, proses menunggu
diperpanjang dan begitulah hidup ini. Yang penting Bumi tetap berputar
harga saham boleh anjlok (prensku sugiharto pada panik semua) tetapi
dongengan Bang Jeha terus berkibar, dunia belum akan kiamat.
Sambil menunggu mendingan dongengin bridge sebab sampai sekarang saya
masih main, terakhir di Diamond Princess bersama bule Ustrali, Croatia
Kanada dan warga Jepang. Saya mulai belajar ketika kami mahasiswa FTUI
angkatan 65 jadi pengangguran karena demo-demo KAMI KAPPI. Saya beli
buku Contract Bridge for Beginners karangan Charles Goren dan ternyata
engga susah :-). Saya syer isi buku itu ke Roy Tirtadji sahabat
sebangku saya di SMA Canisius maupun senasib-sepenanggungan saat
dimapram sebab saya masuk jurusan Elektro, ia masuk Sipil. Sama-sama
kami menyimak isi buku itu dan ngerti dah untuk lalu terus bermain.
Bagusnya ada 2 pasangan yang sudah bisa bridge, dan tentu sama-sama
pengangguran, Markus Permadi partner dengan Liem Keng Djien serta
Jan Patty berpartner Ferry Putuhena. Mereka semua anak Sipil, saya
satu-satunya montir listrik. Bermainlah kami berenam sampai suatu
ketika tahu-tahu ada kejuaraan UI. Ikut kami semua, anak rajawali mana
gentar lawan semua jagoan berbagai fakultas, juara bertahan adalah
FKUI. Tanding sepanjang malam dan di saat penghitungan angka selesai,
kami tim FTUI dinobatkan sebagai juara pertama kejuaraan bridge UI ’66.
The rest is history, Roy belakangan menjadi semakin pinter dan lihay.
Saya dan yang lainnya meninggalkan arena bridge dan menjadi pemain
pelajar, sampai hari ini kuliah di Akademi Bridge ServiamTO. 🙂
Sudah saya syer di tayangan terdahulu, prens yang tadinya elu elu gue
gue sekarang jadi akrab nyapa :-). Banyak hikmah kena Covid-19 ini
memang dan kalau Anda gaul, isteriku juga sudah jadi selebriti di
Ustrali alias diwawancara kantor berita disitu. Sekarang yang ikut
mendoakan Bang Jeha sudah di tahap orang-orang sakti seperti Romo
Doktor Kusmaryanto SCJ yang beliau mah sungguhan selebriti. Sudah Romo
Katolik, doktor pakar genetika, ditanggap disana-sini. Anda anak-anak
Paroki-Net mungkin geleng-geleng kepala maupun hati, mantan kepala
copet Roma bisa seperti itu yah, wekwekwek, pizzzz Mo Kus. Ya, kami
kenal Mo Kus sejak ia jadi mahasiswa abadi di Roma di tahun ’90 akhir.
Mana bisa selesai sekolah, ya dia jadi ‘stringer’ guide ibuk-ibuk
pejabat syoping kalau mereka datang ke Roma. Suatu ketika beliau
menulis kisah aktuil yang sangat menarik di milis PNet, lalu saya
minta ijin untuk dibukukan, gaya “stensilan” alias sederhana, menjadi
Kisah Pasang Surut. Saya edit sedikit sekali, tetap menjaga alur-
ceritanya sebab seru. Kami terbitkan di Toronto dan hasil penjualannya
beberapa kali, kami salurkan ke usaha karitas SCJ di Palembang.
Belakangan buku stensilan itu oleh Lilik Agung misoa si Diana anak
AREK-KAJ dibukukan benaran di tanah air tersay, cari di Gramedia kalau
Anda berminat. (Berjalan di Air Pasang Surut, Romo CB Kusmaryanto SCJ)
“Bang Jeha, kaga ada dongengan api unggun lagi seperti cerita ‘Mate
Elo Kemane’?,” tanya anak-anak penggemar dongeng di WA-milisku. Ada
tetapi semuanya 21 tahun ke atas, parno jorok :-), jangan deh udah
mulai didoain MoKus dan juga Mo Mardi(atmadja), nanti kubisa kuwalat.
Mending cerita yang suci-suci, iya engga :-). Sedemikian sucinya saya
ketika masih di SMP Budi Mulia, Mangga Besar Raya 135 sehingga oleh
Bruder Constantianus saya ditawarkan mau engga jadi bruder atau masuk
seminari menengah. Pikiran saya jauh ke depan dan saya sadar. Kalau
jadi bruder atau Romo pastor Katolik, nanti bagaimana nasib Cecilia,
wekwekwek :-). Kenapa saya ditawarkan demikian? Sebab setiap pagi tak
perduli hujan geluduk, saya akan ada di kapel Susteran Dwiwarna untuk
melayani Misa disitu, jam 6 teng. Jangan cerita ke Bruder, sehabis
Misa, pemandangan dari sakristi kapel indah nian, terbuka ke …
lapangan susteran sekolah puteri Santo Joseph Dwiwarna. Baidewe bentar
lagi saya akan main bridge, mungkin partner dengan Oom Jo dekan ABS.
Tahukah kalian, ia adalah adik Suster/Moeder Inigo KepSek disitu?
Tahukah juga kalian, Moeder Inigo adalah salah satu guru agama si saya
dan kenapa begitu, ini lebih panjang ceritanya, percayalah saja :-).
Pokoknya yang penting, saya les agama satu-satunya cowok di antara
belasan puteri eneng-eneng manis di St Joseph. Itu sebabnya saya pilih
nama permandian sahaya Eduardus Michelis, orang suci pendiri pelindung
Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi. Oom Jo manggut, Sisters of Divine
Providence kalau di luar batang. Cerita betapa sucinya Bang Jeha
selesai, sekarang mau tanding bridge dengan anak-anak Toruntung.
… (bersambung) …( Jusni H / IM )