Jiwa Militeristik pada Profesi Polwan Keturunan Tionghoa


Jiwa Militeristik pada Profesi Polwan Keturunan Tionghoa

dilaporkan: Setiawan Liu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jakarta, 5 Pebruari 2021/Indonesia Media – Ajun Inspektur Polisi Dua (AIPDA) Pol. Yolla Bernanda, S.Kom, M.H. berpostur tubuh relatif kecil mungil, sehingga sosoknya tidak terlalu mencolok sebagai anggota Kepolisian, khususnya di Polsek (kepolisian sektor) Tamansari Jakarta Barat. Sehingga beberapa warga termasuk anggota keluarga yang sering jenguk tahanan mengaku akrab dengannya karena sosoknya tidak angker (menyeramkan). “Karena jiwa militeristik sudah mengena pada diri saya sejak kecil, saya bertekad mau menjadi polwan. Minimal, profesi polisi juga nggak berbeda jauh dengan militer,” kata Yolla atau Chang Mei Xiang.

Disiplin kepolisian, antara lain ketika ia harus bangun pagi, mengikuti perintah atasannya. Sebagaimana bawahan terhadap atasannya, setiap kali menerima perintah, ia harus jalankan selama mengikuti pendidikan. Tepatnya tahun 2004 yang lalu, ia mulai mengikuti pendidikan Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan) di Ciputat Raya Jakarta Selatan. Semua bintara lari pagi jam 05.00, dan masuk barak jam 05.45. Lalu, acara makan pagi sekitar jam 06.00.  Pelajaran mulai jam 07.00 dengan berbagai materi pokok kepolisian serta tugas-tugasnya. “Kalau sudah masuk Sepolwan, kondisi fisik pasti sudah terseleksi. Ikut pendidikan, fisik semakin dibentuk. Selama pendidikan, suasana penempaan/penggemblengan fisik berlangsung selama satu bulan pertama. Sehingga bintara harus bangun pagi, bawa ransel, bawa senjata, lari,” kata ibu dari tiga orang anak yakni Chintaza Roryan, Chief Roland Singgih, Cheryl Rolanda Singgih.

Selesai pendidikan, bintara polwan layaknya harus bisa menjalankan tugas pengamanan, negosiator dan lain sebagainya. Bintara selama lima bulan berada di dalam markas Sepolwan. Lima bulan selanjutnya, bintara magang di berbagai polsek. Satu bulan ikut pendidikan komando dan pengendalian, sebelum pelantikan. “Tentunya banyak cerita selama mengikuti pendidikan. Ada satu bintara yang meninggal (di Sepolwan), tapi semangat bintara lain termasuk saya tidak mengendur,” kata istri Ronny Singgih.

Rutinitas di Polres Jakarta Barat (2004 – 2012) dan Polsek (2012 – sekarang), ia ikut apel pagi jam 09.00. Ia harus persiapan, berangkat dari kediaman di daerah Kelapa Gading jam 08.00. Kecuali, kalau ada apel siaga seperti pengamanan aksi buruh, unjuk rasa dan lain sebagainya. “Persiapannya mulai jam 04.00 kalau untuk apel siaga. Tugas pengamanan dengan surat perintahnya untuk kegiatan tertentu, anggota harus segera menjalankan,” kata anak sulung dari tiga bersaudara.

Empat tahun pertama, setelah pelantikan, ia bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian terpadu/SPKT. Setelah empat tahun, ia mengalami kenaikan pangkat pertama dari Bripda (Brigadir Polisi Dua) ke Briptu (Brigadir Polisi Satu). Setelah itu, ia ditempatkan di satuan narkoba. Ia juga dipindahkan dari Polres ke Polsek Tamansari. “Seterusnya (sampai sekarang), saya di tim khusus Narkoba. Ada Buser (buru sergap) narkoba, termasuk Tim Khusus. Pertama kali tim khusus dibentuk, anggotanya lima orang, (yakni) saya dan empat Polisi laki (Polki),” katanya.

Selama bertugas, ia harus pergi malam, pulang pagi menyelidiki pelaku kejahatan narkoba. Penyelidikan mulai terhadap orang di pinggir jalan sampai harus menyamar sebagai pengunjung diskotik. Sewaktu penyelidikan, ia beberapa kali harus tidur di mobil. Ia juga berpura pura belanja di toko kelontong untuk menyelidiki orang tertentu. Saat menyamar di diskotik, ia terpaksa menjadi ‘jablay’ atau wanita malam. Hal ini taktik kepolisian untuk bisa dekati TO (target operasi). Diskotik yang berlokasi di Jakbar, sempat disinyalir sebagai tempat transaksi narkoba. “Awalnya saya kan nggak pernah keluar malam, apalagi untuk dugem (hura-hura di malam hari). Akhirnya karena perintah atasan, saya jalani,” kata pemegang sabuk Dan 4 Internasional (Kukkiwon) Taekwondo.

Malam itu, ia harus menyaru untuk bisa menangkap seorang TO di diskotik di Jakarta Barat. Ruangan diskotik dingin karena ber-AC, dan penuh dengan asap rokok. Selain ia harus mengenakan baju sexy sebagaimana cewek-cewek malam dengan balutan pakaian ketat pada lekuk-lekuk tubuh sintal. Ia duduk di meja, dan langsung memesan bir (minuman beralkohol). Kebetulan TO dekati, dan ikut minum bir. Pengunjung lain juga melakukan hal yang sama termasuk om-om (laki-laki yang agak tua). “Pas penangkapan, saya sembunyikan ekstasinya (salah satu jenis narkoba) di tangan, tapi saya tidak menegak. Saya pegang dengan satu tangan lain, umpeti (ekstasinya) buat barang bukti. Saya kasih kode pegang rambut yang artinya ‘sudah ada barang buktinya’. Saat itu juga saya langsung pura-pura pergi ke WC, langsung ke mobil. Tersangka ditangkap (petugas) police backup. Hal ini kan nggak mungkin dilakukan polisi laki-laki yang maju (menyamar), karena TO pasti kenali,” kenangnya.

Baginya, kejadian penyamaran menjadi wanita malam merupakan pengalaman berharga dan memorable. Ia masih ingat, ketika TO digiring ke Polsek, dan saat diperiksa dan di-BAP (berita acara pemeriksaan) bersikeras tidak mengakui perbuatannya. “TO tidak mengakui (bahwa) punya ekstasi yang dikasih kepada saya (saat menyamar sebagai cewek malam). Saat saya keluar, memperlihatkan sosok saya sebenarnya, ia (TO) tidak bisa berbuat apa-apa, diam dan akhirnya mengaku,” kenangnya. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “Jiwa Militeristik pada Profesi Polwan Keturunan Tionghoa

  1. Perselingkuhan+Intelek
    February 5, 2021 at 9:51 pm

    wow, seperti cerita pelem aja neh, keren deh, acungan jempol

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *