APBN (Hanya) untuk Birokrasi


Menko Perekonomian Hatta Rajasa (tengah) berdiskusi dengan Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana (kiri) didampingi Menkeu Chatib Basri (kanan) saat memberikan keterangan mengenai ke
Kenaikan alokasi anggaran justru sebagian besar melenceng dari tujuan utama melayani publik.

Negara dibentuk sebagai sebuah konsensus besar semua penduduk untuk mencapai kesejahteraan dan hidup yang lebih baik. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan biaya yang tak sedikit. Rakyat pun harus rela berpatungan lewat pajak yang dikutip atas nama negara untuk membiayai kehidupan bernegara dan menggapai tujuannya.

Hasil kontribusi rakyat lewat pajak itulah yang paling besar memenuhi pundi-pundi negara, yang oleh pemerintah disusun dalam keranjang berlabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahun. Hal yang menjadi pertanyaan kini, seberapa besar mandat rakyat tersebut disusun dan digunakan pemerintah dengan bijak untuk membangun kesejahteraan rakyat?

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2014 yang disampaikan Presiden SBY dalam pidatonya di depan anggota DPR, Jumat (16/8), APBN 2014 terdiri dari penerimaan Rp 1.662,5 triliun dan belanja Rp 1.816,7 triliun. APBN tahun 2014 nanti cukup penting untuk dicermati.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan yang mendasarinya. Pertama, tahun depan adalah tahun politik di mana bakal ada pergantian rezim lewat pemilu presiden dan parlemen yang dilaksanakan.

Kedua, tahun 2014 merupakan babak akhir dari pelaksanaan pembangunan jangka menengah tahap kedua (2010-2014). Di tahun itu, setengah dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang membawa visi Indonesia mandiri, maju, adil, dan makmur sudah dijalankan.

Jika dilihat dari fungsinya selain sebagai penyedia kebutuhan dan layanan publik, APBN juga digunakan untuk membayar aparatur negara, belanja subsidi dan lainnya. Sayangnya, kenaikan alokasi anggaran belakangan justru sebagian besar melenceng dari tujuan utama melayani publik. Belanja birokrasi naik lebih mendominasi kebutuhan rakyat banyak.

Jika pun teranggarkan, pelaksanaan anggaran-anggaran kesejahteraan rakyat masih diragukan. Ini karena tak ada terobosan pada program-programnya selain melanjutkan program yang ada dan sedikit memodifikasinya. Padahal, sudah kerap terbukti program sebelumnya tak efektif jika dilihat dari hasilnya.

Anggota Komisi XI DPR, Dolfi OFP mengatakan, Program Pengentasan Kemiskinan yang dijalankan pemerintah dari 2009-2013 telah menghabiskan anggaran Rp 470 triliun. Secara kasatmata bisa dilihat, kendati kemiskinan diklaim menurun, namun tetap menyisakan masyarakat yang miskin dan rentan miskin yang relatif tetap.

Menurut catatannya, jika pada 2009 ada 53 juta penduduk tak sejahtera hanya menjadi 52 juta penduduk pada 2013. Kata Dolfi, pada RAPBN 2014 tidak ada pendekatan baru dalam pengentasan kemiskinan. Visi keadilan tidak tergambarkan, terutama strategi penurunan gini ratio yang saat ini telah mencapai 0,41.

“Apalagi, program MP3EI yang tidak diimbangi dengan alokasi anggaran untuk 181 daerah tertinggal dan hanya akan menciptakan kesenjangan baru,” kata Dolfi kepada SH di Jakarta, Minggu (18/8).

Transfer Daerah

Ia melanjutkan, kebijakan Transfer Daerah Pemerintah pun hanya bersifat reguler. Sementara itu, dari sisi Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi DAK kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat.

“Padahal, hal ini diamanatkan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 108,” ujarnya.

Secara makro, kendati tahun depan perekonomian dunia diyakini mulai membaik, APBN tak didesain untuk menghadapi tekanan dari internal maupun eksternal. Jika ada gejolak langkah paling mudah adalah kembali mengorbankan pos anggaran untuk rakyat, seperti pemangkasan anggaran subsidi pada tahun ini.

Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan menilai pemerintah telah gagal menciptakan pertumbuhan yang inklusif melalui pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Ia menilai APBN selama ini disusun sekadar menjalankan ritual tahunan tanpa orientasi untuk memperkuat fondasi ekonomi.

Menurutnya, APBN gagal berperan optimal untuk mendorong perekonomian, karena yang didorong bukan sektor-sektor tradable yang dihuni tenaga kerja, melainkan sektor non-tradable yang minim menyerap tenaga kerja dan sangat rentan dengan gejolak eksternal. Untuk sektor pertanian saja pada tahun lalu hanya bertumbuh 3,97 persen, sedangkan sektor-sektor non-tradable rata-rata berada di atas 5 persen.

“APBN yang ada selama ini belum sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 karena tidak menyantuni konstitusi, tapi lebih ke elite politik. Makanya APBN tahun 2014 harus didesain sebagai instrumen untuk melaksanakan amanat konstitusi, yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat,” tuturnya.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi memang tinggi, tapi tidak dinikmati masyarakat Indonesia, faktanya gini ratio mengalami peningkatan menjadi 0,41 persen.

“Jadi, kinerja pertumbuhan ekonomi pemerintah itu fatamorgana, hanya menghasilkan kesenjangan individu maupun wilayah di Indonesia,” ucapnya.

Ruang Fiskal

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa meyakini postur RAPBN 2014 lebih baik dibanding sebelumnya dengan ruang fiskal (fiscal space) yang lebih luas. “Postur RAPBN 2014 ini dengan ruang fiskal yang lebih luas tentu akan lebih sehat dibandingkan dengan 2013, terutama pada bagian spending (pengeluaran),” seru Hatta.

Ia menyebut pemerintah telah menyiapkan anggaran sekitar Rp 18 triliun untuk ruang fiskal yang lebih luas. Sebagian besar dari anggaran tersebut akan diarahkan pada belanja kementerian dan lembaga untuk pembangunan infrastruktur. Menurutnya, ruang fiskal lebih longgar yang dapat digunakan untuk ekspansi ekonomi nasional itu dampak positif dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Postur RAPBN 2014 dinilainya akan semakin baik juga karena belanja modal untuk infrastruktur yang semakin meningkat dibandingkan pada 2013, yaitu menjadi Rp 208 triliun.

“Angka itu untuk pembangunan infrastruktur besar sekali, ditambah lagi dengan belanja infrastruktur daerah yang juga cukup besar,” ujarnya.

Selain itu, ia menegaskan, alokasi anggaran dalam RAPBN 2014 pun akan diprioritaskan untuk program perlindungan sosial, temasuk untuk program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan mulai dilaksanakan pada Januari 2014.

“Kami menilai alokasi anggaran untuk program-program perlindungan sosial juga paling penting,” ia melanjutkan.

Pemerintah, kata Hatta, berjanji akan lebih menyeimbangkan proporsi belanja barang dan belanja modal. Belanja barang yang tidak terkait langsung dengan belanja modal pun akan dihemat.

Tapi sayang, pemerintah tetap tak menyadari sebagai negara yang katanya menuju kemajuan, harusnya ada dana cadangan nasional yang besar. Ibarat rumah tangga, selalu ada tabungan atau simpanan untuk berjaga-jaga di situasi darurat.

Tapi apa lacur, alih-alih memiliki cadangan, APBN selalu didesain defisit setiap tahun. Tahun ini saja defisit dirancang hampir Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB. Ironisnya sebagian besar dana utangan digunakan juga untuk menambal utang lama yang jelas tak produktif mendorong perekonomian.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kata Dani, defisit anggaran ini dilakukan di atas inoptimalisasi penerimaan dan inefisiensi belanja.

“Ini jadi tidak berimbang, sehingga utang-utang baru yang ditarik tidak memberikan stimulus kepada perekonomian dalam negeri. Harusnya dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan pemerataan pembangunan, tidak ada ruang bagi pemerintah untuk menambah utang-utang baru,” katanya.

Tapi, sekali lagi, pemerintah tampaknya memang sudah cukup puas dengan klaim-klaim pencapaian ekonomi makro yang kinclong. Pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi dan berkualitas amat diperlukan untuk mengatasi tingkat pengangguran yang ada dan menampung angkatan kerja baru. Persoalan yang ada, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini belum menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.

Investasi yang masuk faktanya belum menyentuh sektor riil yang merupakan sektor formal. Alhasil, dari 118 juta tenaga kerja per Agustus 2012, sebanyak 44,2 juta orang (39,86 persen) bekerja di sektor formal, sementara 66,6 juta orang (60,14 persen) di sektor informal.

Dari data ini dapat diartikan bahwa sebagian besar pekerja belum memiliki tingkat kesejahteraan yang memadai. Padahal, peran APBN bisa dianggap berhasil jika output-nya kebutuhan rakyat bisa terpenuhi dan kesejahteraan tak hanya retorika yang manis di bibir.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *