Barat kerap mengkritik Beijing soal penanganan Tibet. Beijing dianggap melanggar hak asasi manusia di Tibet.
Namun bagi yang pro, Tibet saat ini telah mencapai kemajuan pesat. Sepanjang sejarah, Beijing menyatakan bahwa Tibet adalah bagian dari negara ini, meskipun ada sebagian yang ingin otonomi Tibet diperluas.
Dalam menganalisis persoalan ini, sebaiknya kita seimbang. Yin dan Yang diterapkan. Ketegangan antara penduduk asli dan suku Han yang menjadi pendatang juga merupakan masalah Tibet, mirip dengan pengalaman kita selama 66 tahun merdeka: kasus Aceh, Sulawesi, dan Irian Barat.
Tak mudah memang memahami persoalan ini. Namun, perjalanan kami ke Xi’an di tahun 2008 dan bencana gempa bumi yang meluluhlantakkan Sichuan menunjukkan keterkaitan Yin dan Yang ini.
Dalam perjalanan ke Xi’an, ibu kota Provinsi Shaanxi, kami menyadari betapa luas dan beragamnya penduduk Tiongkok. Shaanxi adalah pusat, nuklis, detak jantung, dan bahkan penunjang (cradle) sejarah negara ini.
Seperti Sichuan, Shaanxi menjadi saksi sejarah di mana kaisar dengan perdana menterinya melakukan konspirasi untuk kekuasaan masing-masing. Sepanjang sejarah Tiongkok, korupsi dan konspirasi untuk merebut kekuasaan terjadi berulang kali.
Di Xi’an, ada tembok kota walaupun tidak sepanjang di Beijing. Ada pula peninggalan arkeologi berupa patung terakota para prajurit. Patung-patung terakota tersebut ditemukan tahun 1974 dengan jumlah lebih 6.000 dan dibuka untuk umum tahun 1996. Patung-patung tersebut terletak di bangunan terpisah sesuai tahun penemuannya.
Peninggalan lain adalah makam Emperor Jingdi, yang kadang disebut Emperor Han Jing atau Liu Qi Musoleum atau Yangling Musoleum. Makam Jingdi sampai sekarang belum digali dan masih berbentuk bukit dengan pohon-pohon terawat rapi.
Kerajaan Qin, dengan ibu kota Xi’an, adalah dinasti yang berhasil mempersatukan hampir semua wilayah seperti RRC kini. Shaanxi bertahan sebagai detak jantung sampai abad 10.
Tetapi dengan pindahnya imperial court ke sebelah timur, kekayaan daerah ini menurun tajam. Pemberontakan-pemberontakan terjadi antara tahun 1340 sampai 1368, tahun 1620 sampai 1644. Yang terhebat pada waktu terjadi pemberontakan muslim dengan jutaan penganut Islam terbunuh.
Xi’an terletak di tepi Sungai Wei, daerah subur. Penduduknya hampir 4 juta. Kami tinggal di Sofitel dekat Renmin Square. Grup Sofitel berencana merenovasi “People Hotel”; yang serupa Hotel des Indes, Jakarta tempo dulu.
Tiongkok memugar bangunan kuno dan bersejarah (walaupun tidak semua); sedangkan di Indonesia bangunan kuno banyak yang diganti menjadi shopping mall. Penduduk Xi’an banyak yang beragama Islam. Ini nampak di Muslim Quarter dengan Great Mosque, masjid terbesar di Tiongkok. Beberapa ayat Alquran tertulis di gerbang-gerbang yang memisahkan taman.
Di luar masjid banyak restoran halal, penjual suvenir, kurma, dan lain-lain yang malam itu penuh sesak. Pulangnya ke Sofitel, kami naik becak yang ternyata lebih mahal dari taksi. “Demi wong cilik” kami tidak menawar dan tukang becak nampak gembira waktu melambaikan tangan pada teman senasib.
Anehnya waktu tiba di gerbang hotel, di mana nama “People Hotel” terbaca, becak kami tidak boleh masuk. Rupanya masih ada juga hal-hal yang “ketinggalan” dari sistem komunisme di mana semua lapisan masyarakat seharusnya diperlakukan sama.
Hikmah Bencana
Dua minggu setelah kembali dari Xi’an, dan setelah kasus Tibet melanda negeri ini, ujian berat datang berupa gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter di Wenchuan yang terjadi tanggal 12 dan 25 Mei 2008.
Diikuti kemudian dengan gempa berkekuatan 6,4 skala Richter di Qingchuan. Keduanya berada di Sichuan. Korban berjatuhan, yang terbesar di Wenchuan. Terjadinya bencana alam tersebut seolah menjadi titik balik bagi bangsa dan negara ini.
Pertama, terdapatnya keterbukaan yang luar biasa dari pemerintah komunis yang berbeda seperti bumi dan langit dari 10 tahun silam. Kedua, hubungan yang makin erat antara rakyat dan penguasa.
Penguasa berlomba-lomba menjalankan kebijakan yang ditujukan demi kepentingan dan kesejahteraan “wong cilik”. Di samping itu, “wong cilik” dalam satu dekade ini berhasil mencapai pendidikan tinggi; membawa masyarakat baru Tiongkok yang lebih terbuka.
Banyak yang kini kaya, dan lebih mengesankan lagi, perubahan sikap mental mereka. Kekayaan materi mampu membangkitkan tanggung jawab individu sebagai anggota masyarakat. Golongan yang masuk kaya, merasa sudah masanya “membayar” kembali dengan cara menolong teman sebangsa yang nasibnya belum sebaik mereka.
Ini salah satu perbedaan yang cukup besar bila kita bandingkan sikap “the haves” terhadap “wong cilik” di masyarakat Indonesia.
Michele Obama sewaktu di Inggris baru-baru ini menganjurkan “Read, read and read”. Michele menyampaikan hal ini waktu ditanya keberhasilan Obama. Rakyat Tiongkok sejak kecil diajarkan membaca dan belajar dari leluhur. Karenanya bangsa ini berhasil melahirkan filosof-filosof terkemuka di antaranya Confusius.
Confusius mengatakan semua manusia dilahirkan sebagai makhluk yang berbudi baik, tetapi diperlukan bencana alam dahsyat untuk membangkitkan rasa kemanusiaan pada tiap umat manusia. Filsafat ini tepat, karenanya seluruh dunia merasa kagum akan persatuan dan kesatuan Tiongkok menghadapi bencana Sichuan.
Persatuan tidak saja terjadi antara warga yang hidup di RRC, tetapi semangat sama mengalir di darah orang Tiongkok di mana pun mereka berada, di luar status kewarganegaraan atau tempat di mana hidup.
Ini sebaiknya kita amati. Semangat kebangsaan kita kadang kabur karena memilah-milahkan bangsa dengan dalih kewarganegaraan, status tempat tinggal, agama, ras, keturunan, dan lain-lain. Sepertinya bagi bangsa kita predikat yang membungkus manusianya lebih diutamakan ketimbang semangat jiwa dan substansinya sebagai manusia Indonesia.
*Penulis buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Times Publishing International, Singapura, 2003 dan Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, Marshall Cavendish, Singapura, 2007.