Produsen Berupaya Selaraskan Kondisi Pasar dengan Permen LHK 75/2019
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 9 Desember 2023/Indonesia Media – Upaya pengurangan sampah oleh produsen periode 2020 – 2029 masih harus menempuh perjalanan cukup panjang, mengingat kebutuhan pasar atau konsumen belum selaras dengan peta jalan yang ditetapkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 75/2019. “Antara kondisi pasar dan Permen mengenai larangan penggunaan kemasan kecil plastik (sachet) belum selaras. Kami masih berupaya menyelaraskan, misalkan dengan penerapan RDF (Refuse Derived Fuel), tempat olah sampah setempat,” Head of CSR at PT Indofood Sukses Makmur, Bimantoro Triadi mengatakan kepada Redaksi.
Kemasan sachet masih sulit dikelola atau didaur ulang, dimanfaatkan kembali. Terutama penggunaan multilayer plastic pada sachet sulit didaur ulang. Sementara prinsip marketing, kemasan sachet masih sangat dicari konsumen. Pelarangan penggunaan kemasan sachet dengan ukuran kurang dari 50 ml atau 50 gr efektif berlaku per 1 Januari 2030. “Sementara (kemasan sachet) kopi, beratnya 25 gram. Selain, sachet untuk permen, makanan bayi, sampo juga beratnya kecil atau sekitar 25 gram. (pelarangan sachet) berarti ada kontradiksi dengan daya beli konsumen. Selain, konsumen memilih produk yang praktis (penggunaan). Ibaratnya, sekali pakai sampo atau minum kopi sachet, langsung buang,” kata Bimantoro.
Pelarangan penggunaan sachet juga belum efektif untuk kondisi di negara berkembang pada umumnya. Faktor daya beli masyarakat yang menentukan pilihan antara sachet atau kemasan yang memenuhi prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) atau dimanfaatkan kembali. Konsumen di negara maju memang menggunakan kemasan refill atau yang bisa dimanfaatkan kembali. Kemasan refill misalkan dengan botolan, setara dengan 100 sachet sampo. Atau satu botol berukuran 400 mililiter (ml) yang mungkin bisa di refill, tentunya tidak menyebabkan timbulan sampah yang besar. Pemerintah menargetkan penurunan sampah oleh produsen pada masing-masing bidang usaha sebesar 30 persen dibandingkan baseline timbulan sampah di tahun 2029 mendatang. Upaya mengumpulkan satu botol (sampah) lebih mudah ketimbang ratusan sachet. Selain sampah sachet tersebar dan tercecer dimana-mana, sulit dipungut (pemulung). “Harga botol juga lebih mahal. Sehingga pemulung cenderung punguti sampah botol plastik. Tapi kembali kondisi (daya beli) konsumen. Kalau harga satu botol sampo Rp 50 ribu (lima puluh ribu), daya beli konsumen rata-rata hanya mampu untuk yang sachet, (harganya) sekitar Rp 1000 (seribu rupiah),” kata Bimantoro. (sl/IM)