Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat dinilai tidak serius untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.
Hanya mengandalkan politik pencitraan, Presiden pun tidak mau mengganti menteri-menteri yang berkinerja buruk dan malah mempertahankannya karena takut kehilangan dukungan.
Pendapat itu disampaikan politikus PDIP Aria Bima, Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani, dan pengamat politik Boni Hargens di Jakarta, Jumat (11/3).
Aria Bima menyatakan, PDIP berharap Presiden SBY tidak sesuka hati atau mempermainkan reshuffle kabinet. “Pertanyaan sekarang setelah begitu kencang digemakan pascapengguguran usul hak angket pajak, kok reshuffle tidak jadi?” ujarnya.
Aria mengakui, reshuffle kabinet memang hak presiden. “Tapi, jika dipandang semata-mata sebagai hak, sehingga dipermainkan sesuka-sukanya, tentu itu naif,” tuturnya. Dia menambahkan, demam reshuffle serta pepesan kosongnya saat ini jelas memperlihatkan sosok “rezim suka-suka”.
Itu semua, kata Aria, merupakan drama kekuasaan yang gamang, fragmentaristik, dan tanpa visi. “Artinya, semacam kumpulan sesaat penonton konser musik rock yang bubar sendiri-sendiri begitu pertunjukan selesai. Pertanyaan berikutnya, apakah drama ini juga gejala bubaran seperti itu? Rakyat menunggu,” katanya.
Bagi Boni Hargens, Presiden SBY tidak akan melakukan reshuffle kabinet. Soalnya, reshuffle kurang menguntungkan posisinya di depan partai koalisi. “Mengapa isu reshuffle kian meredup? Sebab, SBY tak mau bertindak ceroboh untuk memutus maupun melanjutkan koalisi. Dia hanya mempermainkan isu reshuffle untuk memusingkan parpol mitra koalisi,” ujar Boni.
Dia meyakini, masing-masing partai koalisi memegang kartu truf sehingga SBY tidak berani membuat keputusan soal reshuffle. Selain itu, jika SBY melakukan reshuffle dengan melepas menteri dari parpol, basis dukungan politik ke pemerintah niscaya makin berkurang. Padahal, sekarang pemerintah membutuhkan dukungan politik yang kuat.
“Partai Demokrat membutuhkan dukungan politik di parlemen untuk mengawal pemerintah. Jika reshuffle dilakukan dengan menarik menteri dari parpol koalisi, itu tentu menambah jumlah oposisi di parlemen,” ujar Boni.
Dia menambahkan, usulan reshuffle muncul karena partai koalisi cenderung tak sehaluan. Contoh konkret adalah pengusungan Pansus Century dan usulan pengunaan hak angket pajak. “Bahkan pasca-Sidang Paripurna DPR yang membahas usulan angket pajak, koalisi belum menunjukkan kesepahaman,” kata Boni.
Sementara itu, Ahmad Muzani menyatakan, Partai Gerindra tidak kecewa oleh keputusan Presiden yang tidak melakukan perombakan kabinet. “Partai Gerindra sama sekali tidak merasa tertipu karena sejak awal kami merasa Presiden tak serius melakukan reshuffle,” katanya.
Menurut Muzani, Partai Gerindra bisa saja masuk koalisi jika syarat-syarat yang mereka ajukan dipenuhi. “Kalau tidak, ya tidak jadi (koalisi),” ucapnya.
Meski tidak mau mengaitkan tawaran koalisi dengan sikap Partai Gerindra saat penentuan angket pajak, Muzani mengaku bertemu elite Partai Demokrat setelah Rapat Paripurna DPR yang menolak usulan angket mafia pajak itu. Petinggi Partai Demokrat yang dia temui adalah Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum dan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah.
Dalam pertemuan memang tidak dibahas mengenai koalisi. “Ketika itu dikatakan bahwa reshuffle itu akan ada,” kata Muzani.
Dia mengaku sudah membaca tanda-tanda tentang tak adanya reshuffle. Sebab, sejak ada tawaran koalisi lalu Partai Gerindra mengajukan syarat, tidak ada tanggapan atau tindak lanjut. “Sampai sekarang juga Pak Prabowo belum pernah bertemu Presiden,” kata Muzani.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie dan Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan mengatakan, partai politik mitra koalisi pemerintah menerima penuh keputusan Presiden untuk merombak maupun tidak merombak kabinet. Keputusan melakukan reshuffle atau bukan reshuffle, menurut mereka, sepenuhnya di tangan Presiden.
Marzuki menyatakan, Partai Demokrat bersama SBY sebagai Ketua Dewan Pembina maupun sebagai presiden telah menjadi satu bahasa bahwa reshuffle mutlak keputusan Presiden sebagai pemegang hak prerogatif.
Sebelum maupun sesudah Rapat Paripurna DPR yang menolak usulan penggunaan hak angket pajak, menurut Marzuki, Partai Demokrat tak pernah mengintervensi ataupun mendesak Presiden agar mendepak Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari koalisi sekaligus memecat kader mereka di kabinet. Yang sebenarnya terjadi, menurut dia, Partai Demokrat melakukan evaluasi secara internal terhadap koalisi yang telah berjalan.
Taufik mengakui, parpol anggota koalisi kerap menafikan pemilihan menteri adalah hak prerogatif Presiden. Akibat “kelupaan” atas pemahaman terhadap hak prerogatif itu, parpol koalisi seolah-olah punya hak untuk memutuskan penggantian menteri.
“Kondisi pemerintahan kini selalu menjadi gonjang-ganjing karena partai koalisi kerap terlihat seperti ingin mencampuri urusan yang telah menjadi hak prerogatif Presiden. Ini bisa terjadi karena tidak ada kepastian jadi tidaknya penggantian menteri serta siapa menteri yang dilengserkan,” ujarnya.