KPK dinilai masyarakat adat Papua berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajaran. Polri akan memeriksa saksi di Papua.
MASYARAKAT adat Papua yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu Bela Papua menjatuhkan sanksi berupa denda adat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 10 Triliun.
KPK dinilai oleh masyarakat adat Papua telah berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya.
Pembunuhan karakter itu dilakukan pegawai KPK dalam peristiwa di Hotel Borobodur, Sabtu (2/2/2019) lalu.
Peristiwa itu berujung pelaporan dugaan pengeroyokan pegawai KPK oleh pegawai Pemprov Papua.
Saat itu penyelidik KPK berupaya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya, yang sedang menggelar rapat evaluasi anggaran bersama DPRD Papua dan Kemendagri.
Namun OTT yang dilakukan penyelidik KPK tanpa bukti permulaan yang cukup itu gagal.
Hingga berujung pelaporan adanya pengeroyokan terhadap penyelidik KPK di sana oleh pegawai Pemprov Papua ke Polda Metro Jaya.
Karena pelaporan itu, Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik sesuai UU ITE.
Kuasa Hukum Pemprov Papua Sfefanus Roy Rening mengatakan putusan denda adat Rp 10 Triliun kepada KPK ini ditandai dengan unjuk rasa dan demo oleh seribuan masyarakat adat Papua di depan Kantor Gubernur Papua, Rabu (13/2/2019) lalu.
Mereka memprotes upaya kriminalisasi Gubernur Papua oleh KPK yang juga dianggap sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe.
Karenanya masyarakat adat berunjuk rasa sebagai bentuk dukungan terhadap Gubernur Papua, yang dinilai telah menjadi korban kesewenang-wenangan KPK.
“KPK dianggap telah mempermalukan Gubernur Papua Lukas Enembe yang merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua,” kata Roy.
“Masyarakat adat Papua marah karena harkat, martabat, dan wibawa pemimpin mereka telah direndahkan oleh KPK,” imbuh Roy kepada Warta Kota, Minggu (17/2/2019).
Denda KPK Dari 5 Wilayah Hukum Adat
Ia mengatakan denda adat masih berlaku di Papua meliputi 5 wilayah hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran.
Denda adat ini kerap diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah diantara warga mulai dari pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku.
Secara konstitusi katanya denda adat ini diakui di Indonesia berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4.
Bunyinya menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dalam konteks hukum adat, KPK dianggap oleh masyarakat adat Papua yang mencermati kasus ini sejak awal, telah mempermalukan pemimpin mereka Gubernur Papua,” ujar Roy.
Karenanya KPK harus merespon putusan masyarakat adat dengan berkomunikasi kepada para pemimpin suku di masyarakat adat Papua.
Sebagai penegak hukum, kata Roy, KPK harus hadir ke Papua atas putusan denda adat ini dan memiliki kewajiban menyelesaikannya.
KPK bisa berkomunikasi dengan masyarakat adat Papua melalui Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai lembaga kultural, atau pihak lain.
“Intinya KPK sebagai penegak hukum mesti mengkomunikasikan sanksi denda adat ini ke masyarakat adat Papua,” kata Roy.
Dengan mengkomunikasikan denda adat ke masyarakat adat Papua, kata Roy, KPK bisa menjelaskan permasalahan ini hingga menegosiasikan sanksi denda adat yang diberikan.
“KPK bisa meminta maaf kepada masyarakay adat Papua atas yang dilakukannya, juga meminta maaf ke Gubernur Papua.
Jika KPK tidak merespon denda adat yang dijatuhkan masyarakat adat Papua, kata Roy maka ada konsekuensi yang akan diterima KPK.
” Yakni penegakan hukum oleh KPK di Papua tidak akan efektif. Pemberantasan korupsi oleh KPK di Papua, tidak akan berjalan maksimal. Sebab masyarakat Papua sudah tidak percaya, akibat KPK tidak mentaati dan menghormati serta mengkomunikasikan denda adat yang diputuskan oleh masyarakat adat Papua kepadanya,” kata Roy.
Seperti diketahui akibat peristiwa di Hotel Borobudur, Sabtu (2/2/2019) tengah malam lalu, KPK dan Pemprov Papua saling melaporkan tindak pidan ke Polda Metro Jaya.
KPK melaporkan dugaan pengeroyokan terhadap penyelidiknya oleh pegawai Pemprov Papua ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, sesuai Pasal 170 KUHP, serta Pasal 211 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP tentang menghalang-halangi petugas negara, Minggu (3/2/2019).
Saat itu pegawaI KPK sedang ditugaskan untuk melakukan pengecekan lapangan merespon laporan masyarakat tentang adanya indikasi korupsi saat rapat evaluasi anggaran Pemprov Papua digelar di sana.
Dalam rapat, hadir Gubernur Papua Lukas Enembe serta jajarannya, anggota DPRD Papua dan pihak Kemendagri.
Penyidik sudah menaikan status laporan kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Karena dianggap sudah mengantongi bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana pengeroyokan.
Sebaliknya Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas tindak pidana di bidang ITE dan/atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah melalui media elektronik Pasal 27 ayat (30) juncto Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2018 tentang ITE.
Laporan tercatat dengan nomor LP/716/II/2019/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 4 Februari 2019.
Alasan pelaporan karena Pemprov Papua membantah adanya pengeroyokan terhadap pegawai KPK di sana berdasar foto korban saat berada di Mapolda Metro Jaya.
Saat itu sejumlah pegawai Pemprov Papua membawa penyelidik KPK ke Polda Metro Jaya karena gerak-geriknya mencurigakan dan kedapatan memfoto Gubernur Papua serta sejumlah pegawai secara diam-diam.
Bahkah saat diinterogasi, penyelidik pegawai KPK itu sempat berbohong terkait identitasnya ( WK / IM )
jangan anggap enteng atau sepele apa itu tuntutan Warga Papua, jangan sampai mereka berbalik membantu KKSB