Musik Sebagai Terapi Bahasa : Refleksi Klinis dari Shining MINDs
Oleh: Sylvia Tanumihardja
Dalam praktik klinis, terutama pada bidang neurologi dan kesehatan mental, kita kerap
dihadapkan pada satu kenyataan: tidak semua pengalaman manusia dapat dijangkau
sepenuhnya oleh kata-kata. Hal ini menjadi sangat nyata ketika bekerja dengan anak-anak
dan remaja dengan gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD), yang
sering kali memiliki keterbatasan dalam komunikasi verbal, namun menyimpan dunia emosi
yang kaya.
Refleksi ini mengemuka kembali ketika saya berkesempatan menghadiri konser Shining
MINDs di auditorium Universitas Yonsei, Seoul, pada 9 Desember 2025. Konser tersebut
merupakan bagian dari program terapi musik yang dijalankan oleh Min Yoongi Treatment
Center di Severance Hospital—sebuah pusat terapi yang didedikasikan bagi anak-anak dan
remaja dengan ASD. Malam itu bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan ruang
perjumpaan antara praktik klinis, seni, dan kemanusiaan.
Konser ini menampilkan anak-anak peserta program MIND, yang secara rutin mengikuti
terapi berbasis musik. Mereka berdiri di atas panggung bersama musisi profesional, diiringi
band yang biasa tampil dalam tur dunia SUGA. Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak
sebagai acara simbolik. Namun dari sudut pandang klinis, kehadiran anak-anak tersebut di
panggung publik adalah bagian penting dari proses terapi itu sendiri: membangun rasa aman,
kepercayaan diri, serta pengalaman keberhasilan yang bermakna.
Min Yoongi Treatment Center resmi dibuka pada September 2025 di Severance Hospital,
berkat donasi sebesar 5 miliar won dari Min Yoongi, yang akrab dipanggil SUGA, anggota
BTS. Fasilitas ini dirancang khusus dengan pendekatan multidisipliner—menggabungkan
psikiatri anak yang dipimpin oleh Profesor Cheon Keun-ah, terapi perilaku, terapi wicara,
psikologi klinis, dan terapi musik. Program intinya, MIND (Music, Interaction, Network,
Diversity), menempatkan musik bukan sebagai hiburan tambahan, melainkan sebagai
medium terapi yang terstruktur.
Dalam konteks klinis, pendekatan ini sejalan dengan prinsip neuroplastisitas dan
pembelajaran sosial. Musik melibatkan banyak area otak secara simultan—korteks auditorik,
motorik, limbik, hingga prefrontal—yang berperan dalam regulasi emosi, perhatian, dan
interaksi sosial. Pada anak dengan ASD, di mana jalur komunikasi verbal sering kali tidak
optimal, musik dapat berfungsi sebagai “bahasa alternatif” yang lebih mudah diakses.
Pengalaman malam itu memperlihatkan bagaimana musik menciptakan ruang komunikasi
tanpa tekanan. Anak-anak tidak dituntut untuk “berbicara dengan benar”, melainkan diberi
kesempatan untuk hadir, berpartisipasi, dan diekspresikan melalui nada dan ritme. Dari
perspektif terapi, ini adalah bentuk supported exposure—anak berada di lingkungan sosial
yang nyata, namun dengan dukungan penuh dan suasana aman.
Keterlibatan langsung Min Yoongi dalam sesi terapi musik—sebagai relawan yang mengajar
gitar dan berlatih bersama anak-anak—juga menarik untuk dicermati. Dalam terapi,
hubungan terapeutik (therapeutic alliance) memegang peran penting. Kehadiran figur yang
konsisten, hangat, dan tidak menghakimi dapat meningkatkan motivasi serta rasa percaya diri
pasien. Dalam hal ini, Yoongi tidak hanya berperan sebagai donatur, tetapi sebagai bagian
dari ekosistem terapeutik.
Konser Shining MINDs menjadi perpanjangan dari proses tersebut. Dari sudut pandang klinis,
tampil di depan publik bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk memperkuat fungsi
sosial dan emosional. Anak-anak belajar mengelola kecemasan, mengikuti struktur, bekerja
sama, dan merasakan pencapaian. Pengalaman positif semacam ini dapat memperkuat self-
esteem dan memperluas generalisasi keterampilan sosial ke konteks kehidupan sehari-hari.
Pilihan repertoar lagu malam itu—mulai dari karya klasik hingga BTS Medley—secara tidak
langsung mencerminkan prinsip diversity dalam terapi. Tidak ada satu pendekatan tunggal
yang cocok untuk semua. Setiap anak memiliki respons sensorik, emosional, dan kognitif
yang berbeda. Musik yang beragam memberi peluang bagi setiap individu untuk menemukan
resonansinya sendiri.
Sebagai klinisi, kita juga perlu mencermati makna sosial dari inisiatif semacam ini. Autisme
masih kerap dipahami secara sempit—fokus pada keterbatasan, bukan potensi. Pendekatan
berbasis seni dan inklusi publik membantu menggeser perspektif tersebut. Anak-anak dengan
ASD tidak semata-mata menjadi “objek terapi”, tetapi subjek yang memiliki suara,
kreativitas, dan kontribusi.
Konser ini juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Dunia medis tidak dapat
berjalan sendiri. Ketika seni, komunitas, dan figur publik terlibat secara bermakna, pesan
kesehatan mental dapat menjangkau masyarakat luas dengan cara yang lebih manusiawi dan
tidak stigmatis.
Dalam praktik sehari-hari, kita sering dihadapkan pada keterbatasan waktu, sumber daya, dan
sistem. Namun pengalaman Shining MINDs mengingatkan bahwa terapi yang efektif tidak
selalu harus kompleks atau mahal. Yang dibutuhkan adalah pemahaman mendalam tentang
kebutuhan pasien, keberanian untuk berinovasi, dan komitmen untuk melihat manusia secara
utuh.
Musik, pada akhirnya, bukanlah obat dalam pengertian farmakologis. Namun ia mampu
membuka pintu—menuju komunikasi, regulasi emosi, dan koneksi sosial. Bagi sebagian anak
dengan autisme, pintu itu mungkin adalah satu-satunya jalan untuk menyampaikan isi hati.
Refleksi dari Seoul ini mengajak kita, para klinisi dan pemangku kebijakan, untuk kembali
bertanya: sejauh mana kita telah memberi ruang bagi pendekatan yang berpusat pada
manusia, bukan sekadar pada diagnosis? Shining MINDs memberi satu jawaban yang tenang
namun tegas—bahwa penyembuhan sering kali dimulai dari keberanian untuk mendengarkan,
bahkan ketika yang berbicara bukanlah kata-kata, melainkan musik.
Pada akhirnya, saya teringat ucapan Paus Leo XIV bahwa musik mengekspresikan
pengalaman dan cinta manusia. Musik adalah anugerah yang mampu menyampaikan hal-hal
yang sering kali tidak sanggup diungkapkan oleh kata-kata semata: cinta, kerinduan, sukacita,
duka, doa, dan iman. Seperti yang dikatakan Santo Agustinus, “Bernyanyi adalah milik
mereka yang mengasihi.”

















