Selain Lurah Susan, FPI mengincar Lurah Pejaten Timur Grace Tiaramudi karena nonmuslim.
Imbauan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi agar pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan Front Pembela Islam (FPI) untuk menciptakan rasa aman, mendapat tentangan dari sejumlah daerah.
Mereka menilai kerja sama dengan FPI justru akan melanggengkan budaya kekerasan di daerah dan kontradiktif dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta agar organisasi masyarakat anarkistis seperti FPI ditindak tegas.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus terang mengaku heran dengan imbauan tersebut. Ia menyebut imbauan tersebut bertentangan dengan instruksi Presiden SBY.
Baginya, kerja sama hanya dimungkinkan dengan ormas yang memiliki manfaat bagi masyarakat. Namun, jika ormas yang diminta kerja sama lebih dikenal sering bertindak anarkistis dan mengganggu ketertiban umum, Pemda DKI Jakarta tegas menolak.
Pandangan serupa juga disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Gubernur asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang baru dilantik mendagri pada 23 Agustus 2013 lalu itu menyebut bahwa kemungkinan mendagri kepleset bicara atau sedang bercanda.
Meski tidak seterus terang Ahok menyatakan penolakannya untuk kerja sama dengan FPI, Ganjar mengaku akan melihat-lihat dulu ormas mana yang mungkin bisa diajak kerja sama oleh pemda.
Dari Kalimantan Barat (Kalbar), pihak pemprov menganggap imbauan itu tidak pernah ada. Menurut mereka, untuk menjaga keamanan di daerah sudah ada satpol PP, polisi, dan TNI. Pihak Pemprov Kalbar menuding bahwa imbauan mendagri tersebut tidak berkualitas.
Dari Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Wakil Ketua DPRD Raja Mansyur Razak menyebut mendagri “asal bunyi” dan membingungkan. Ia pun juga memberikan mengancam. DPRD Kota Tanjung Pinang, menurut Razak, bakal memanggil Wali Kota Tanjung Pinang jika sampai menggunakan dana APBD untuk bekerja sama dengan FPI.
Dari Bali, meskipun gubernur belum berkomentar, anggota DPD asal Bali I Wayan Sudirta menyatakan bahwa pemda tak layak bekerja sama dengan ormas yang selama ini identik dengan tindak anarkistis dan main hakim sendiri.
Kita melihat bahwa reaksi tersebut wajar dan sangat beralasan. Rekam jejak FPI selama ini memang menunjukkan bahwa ormas tersebut memang tidak bisa “bekerja sama” dengan siapa pun dalam iklim Indonesia yang sangat plural. Alih-alih menghormati perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia, FPI sering menciptakan “teror” dan ketakutan di tengah masyarakat.
Kasus paling baru adalah penolakan mereka terhadap Susan Jasmine Zulkifli, Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan yang dipercaya memimpin kelurahan tersebut sejak Juni 2013 seusai lolos lelang jabatan dalam pemerintahan baru Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Ahok.
Baik Jokowi maupun Ahok jauh-jauh hari menegaskan, mereka tidak akan menggeser posisi Susan, meskipun segerombolan orang yang mengatasnamakan diri “warga Lenteng Agung” terus-menerus mendemo perempuan yang beragama Katolik tersebut. Namun, FPI justru “mengompori” agar Susan digeser.
Alasannya, seperti disampaikan Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah FPI Jakarta, Novel Ba’mumin, Susan memimpin “tidak pada tempatnya”. FPI mengatakan bahwa mereka akan “memediasi” dan mendukung keinginan warga Lenteng Agung yang tidak menginginkan Lurah Susan. FPI mengklaim 95 persen warga Lenteng Agung menolak kepemimpinan Susan.
Selain Lurah Susan, FPI mengincar Lurah Pejaten Timur Grace Tiaramudi dengan alasan yang sama. Susan dan Grace sama-sama nonmuslim.
Jika penolakan dua lurah di Jakarta Selatan tersebut belum cukup menjadi bukti betapa tidak “kooperatif”-nya FPI terhadap konstitusi negeri ini, marilah kita tengok apa yang terjadi di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah 18 Juli 2013 silam.
Dua anggota FPI telah terbukti oleh pengadilan membawa pedang saat bentrok dengan warga Sukorejo saat ormas dengan bendera Islam itu melakukan sweeping di bulan Ramadan, atas nama penegakan moralitas warga.
Ini baru sebagian kecil catatan tindakan FPI yang meresahkan warga sepanjang tahun 2013. Belum catatan di tahun-tahun sebelumnya.
Kita mencoba memahami argumen mendagri bahwa justru karena rekam jejak anarkistis yang dimiliki FPI selama ini maka pemerintah harus “merangkul” ormas tersebut agar tak menjadi “musuh dalam selimut”. Namun, kita juga ingin mengingatkan mendagri, jika salah rangkul, bukannya akan membawa kebaikan, tapi justru menjadi bumerang. Bagaimana kita bisa membangun sebuah kerja sama jika fondasi terhadap nilai-nilai yang diyakini sama sekali berbeda?
Negara ini didirikan atas dasar penghormatan terhadap pluralisme dan keberagaman Indonesia. Jika FPI atau ormas apa pun sanggup menghormati dan menghargai fondasi berdirinya Republik ini, kita tak akan cemas, kalau pemerintah “merangkul” kelompok ini untuk bekerja sama. Tapi jika tidak, kita tidak ingin Republik ini jadi bulan-bulanan oleh para “pemaksa keseragaman”, pun atas nama demokras
jihad yang sesungguhnya adalah menghapus n membubarkan n menghanguskan FPI di indonesia
FPI dengan mudahnya mulutnya mengumbar dan mencidrai nilai-nilai islam, mulut FPI dengan asiknya menjual agama yang suci dengan kepentingan politik belaka, agama dijadikan legitimasi penggerak massa ke arah yang menyesatkan..megubah wajah islam dengan wajah teroris,,keras,,