Kuliner Legendaris Pecinan Glodok, Rujak Juhi Asoy Sejak Tahun 1950-an
dilaporkan: Liu Setiawan
Jakarta, 15 Juli 2024/Indonesia Media – Selama kurang lebih 74 tahun, salah satu makanan khas Betawi tapi melegenda di pecinan, yakni rujak juhi Asoy masih eksis serta tidak tergerus oleh waktu hingga menjadi door man jalan Toko Tiga Seberang Glodok. karena gerobaknya pas di ujung jalan Toko Tiga, seperti ‘penjaga’ pintu keluar masuk lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Rujak juhi Asoi, salah satu kuliner khas pecinan Glodok, bagaimana tidak, sementara “artifact” yang lain di Jl. Toko Tiga Seberang seperti kantor redaksi koran mandarin HI, hotel Chitra sudah tutup dan hampir rata dengan tanah. Juhi Asoy, kantor redaksi, hotel Chitra adalah artifact Jl. Toko Tiga yang seumuran, yakni sudah sekitar 70 tahun lebih. “Rujak juhi saya masih bertahan, warisan Papa saya yang meninggal tahun 2004 yang lalu. Pelanggan kami, mungkin umurnya sekitar 70 tahun juga masih ingat dan kadang masih datang kesini. Sebagian (pelanggan lama) yang sudah pindah ke Tangerang, Bandung, Bogor. kalau hari libur seperti Lebaran, Natal, mereka masih mampir makan juhi Asoi,” kata Agus, pewaris rujak juhi Asoi.
Pada tahun 1950, Papanya pertama kali jualan rujak juhi hanya dengan meja dan beberapa bangku. Lalu, anaknya Agus mulai beranjak dewasa, diajak untuk belajar dagang. Waktu itu, Agus masih berusia sekitar 10 tahun. ia belum bisa bantu Papanya untuk menyiapkan sajian juhi, baik dimakan langsung di samping meja ataupun dibungkus dengan plastic untuk pelanggannya. “Saya belum bisa apa-apa, ibaratnya saya hanya kenek. Saya hanya lihat-lihat saja Papa saja bikin rujak juhi. Maksud almarhum Papa, supaya saya mulai belajar. Karena waktu itu, keluarga juga pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari. Selesai sekolah, saya bantu dagang juhi,”kata Agus.
Tapi satu waktu, ia berkunjung ke rumah temannya untuk sekedar main-main saja. Ia lupa waktu, dan pulang rumah sudah hampir sore. Hal ini yang membuat Papanya marah dan menghukum. Sejak itu, Papanya mengultimatum Agus untuk setiap harinya ikut dagang rujak juhi. Karena kena hukuman, ia pun mulai belajar bikin rujak juhi terutama racikan, adukan berbagai resep dan bahan bakunya. ia semakin diawasi Papanya, untuk tidak lagi kelayapan, keluyuran bersama teman-temannya tanpa ada manfaatnya. Hukuman lainnya, ia disuruh Papanya temani belanja berbagai bahan baku termasuk cumi untuk juhi dari cumi kering, dari aneka sayuran, sambal kacang. Waktu itu, mereka belanja di pasar kaget daerah Jembatan II (dua), Angke. “Tahun 1980, saya sudah dilepas untuk bisa dagang juhi. Saya mandiri, dan Papa saya juga tidak terlalu aktif lagi. Saya sudah mulai mengenal resep-resepnya, terutama cumi kering. Ada tiga jenis cumi kering, (yakni) jenis jantung, lontar dan waru. Masing-masing ada perbedaan, terutama warna khas merahnya,”kata Agus.
Ia mengaku, masih mempertahankan resep juhinya kecuali cumi kering. Dulu, Papanya konsisten lebih banyak menggunakan cumi jenis waru yang lebar dan besar. Sementara cumi jenis jantung, ukurannya lebih kecil sehingga agak sulit untuk dipotong halus dan disuwir-suwir. Sementara kentang tetap direbus dan digoreng sebagian. Cumi pasti dicuci terlebih dahulu sampai bersih, sebelum disuwir untuk siap disajikan atau dibungkus untuk dibawa pulang pelanggan. Sementara bahan yang lain, seperti ketimun, kol, kerupuk, cabai rawit merah, siung bawang putih juga untuk menambah rasa khas juhi Asoi. “(cumi kering) jenis jantung juga berwarna merah, yang menjadi khas rujak juhi. Sebetulnya, jenis cumi untuk resep juhi lebih dari tiga. Tapi saya tetap pake tiga jenis saja, jantung, lontar dan waru. Tapi kalau jantung harganya setengah dari waru, (yakni) Rp 30.000 per kilo. Waru bisa sampai Rp 60.000 per kilo. Satu kilo cumi untuk sekitar 20 – 25 porsi. Harga Rp 25 – 30 ribu per porsi. Saya mau efisien, maka saya lebih sering pake cumi jantung. Saya pikir, rasanya (antara jantung dan waru) nggak terlalu beda jauh,” kata Agus. (LS/IM)