Cerita-cerita soal upaya Indonesia menanggulangi Covid-19 diawali pada Senin (2/3). Saat itu, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif Covid-19. Sejak itu, jumlah kasus positif penyakit yang bermula di Wuhan China tersebut, terus bertambah. Ada pasien yang meninggal dunia. Meski demikian, banyak juga yang dinyatakan negatif dan akhirnya berhasil sembuh.
Hingga kini, jumlah kasus positif Corona atau Covid-19 di Indonesia terus melonjak. Tercatat hingga Rabu (1/4) kemarin, terjadi penambahan 149 orang positif Covid-19. Sehingga total kasus positif Corona di Indonesia menjadi 1.677 kasus. Jumlah pasien sembuh juga bertambah 22 orang.
Sehingga total pasien sembuh menjadi 103 orang. Sedangkan angka kematian karena kasus Corona juga bertambah 21 orang. Sehingga total menjadi 157 kasus meninggal.
Imbauan jaga jarak yang digaungkan pemerintah, pusat maupun daerah mengharuskan semua elemen masyarakat menyesuaikan diri. tujuannya jelas agar mata rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan. Mengingat wabah yang disebabkan oleh virus Sars-Cov-2 ini belum ada obatnya.
Penyebaran Covid-19 berdampak besar pada kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai sendi kehidupan sosial masyarakat terdampak, bahkan hampir lumpuh. Semua sektor terganggu, pendidikan, ekonomi, keagamaan sampai interaksi sosial jadi korbannya.
Semua orang di negeri ini tengah berjuang melawan corona. Pemerintah pusat, daerah, dokter, perawat, TNI, Polri berjibaku menyelamatkan mereka yang terinfeksi dan melindungi warga lain dari bahaya virus mematikan ini.
Pemerintah misalnya, memutuskan menerapkan aturan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan status darurat kesehatan seantero negeri, Selasa (31/3). Sekolah diliburkan, pekerja terpaksa bekerja dari rumah, kegiatan keagamaan dibatalkan sampai patroli petugas agar warga mematuhi seruan agar selalu menjaga jarak aman digalakkan. Semua dilakukan agar demi menekan angka kasus positif corona.
Belum lagi cerita pilu dari para pejuang terdepan penanganan virus corona, yakni tenaga medis. RS dan tenaga medis di banyak daerah terus mengeluhkan keterbatasan masker dan alat pelindung diri sesuai standar WHO (World Health Organization). Baju APD yang begitu utama digunakan untuk memeriksa pasien Covid-19 persediaannya begitu terbatas.
Mereka dirundung kekhawatiran bakal terjangkit corona karena berjuang menyelamatkan pasien tanpa APD yang memadai. Berdasarkan data terbaru, sudah lebih dari 60 tenaga medis di Indonesia meninggal dunia karena terinfeksi virus asal Wuhan, China itu.
Pemerintah sejatinya sudah mendistribusikan ratusan ribu set dan terdistribusi ke seluruh provinsi serta rumah sakit yang membutuhkan. Namun, para tenaga medis merasa jumlah yang diberikan pemerintah masih kurang. Apalagi, jumlah pasien positif corona terus bertambah tiap harinya.
Bahkan, ada dokter dan perawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur sampai diusir dari lingkungan tempat tinggalnya karena masyarakat takut mereka membawa virus corona.
Karena keterbatasan ini, tidak sedikit RS dan Puskesmas mengakalinya dengan memakai jas hujan sebagai pengganti APD. Salah satunya terjadi di RSUD Cianjur yang menjadi rujukan pasien corona di wilayah tersebut.
Masalah ini membuat masyarakat tergerak membantu. UMKM, pengusaha konveksi, lembaga swadaya masyarakat, publik figur sampai masyarakat umum ‘urunan’ dana untuk membelikan APD dan masker kepada tenaga medis.
Dorongan RUU KUHP Dikebut
Di tengah perjuangan mereka melawan corona, muncul usulan agar RUU Kontroversial segera dikebut di DPR. Sebut saja, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, hingga RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan. RUU-RUU ini sebelumnya ditentang keras masyarakat dengan gelombang demonstrasi di berbagai daerah.
Bahkan rencananya, DPR akan mengadakan rapat paripurna pada Kamis (2/4) untuk membahas RUU yang sempat tertunda tersebut. Selain itu, DPR akan membacakan surat presiden tentang omnibus law RUU Cipta Kerja di rapat paripurna hari ini. Setelah surat presiden dibacakan, DPR akan menyepakati alat kelengkapan dewan yang akan membahas RUU Cipta Kerja.
Rencana ini diawali dari usulan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kepada Komisi III DPR RI untuk segera membahas dua RUU carry over, yaitu RUU KUHP dan Permasyarakatan. Untuk itu, Yasonna meminta DPR menyurati Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan Supres (Surat Presiden) supaya dua RUU itu dibahas. Hal tersebut disampaikan Yasonna dalam rapat dengan Komisi III DPR RI.
RUU KUHP dan Permasyarakatan merupakan dua RUU kontroversial peninggalan DPR periode 2019-2024. Dua RUU tersebut telah masuk 50 RUU Prioritas Prolegnas Tahun 2020.
“Karena dalam pembahasannya, carry over yang kita sepakati untuk dibahas ulang dan beberapa UU yang disepakati DPR masuk prolegnas yang lalu. Dalam pandangan kami, carry over karena mandat politik, maka ini mandat politik baru, maka Surpres baru harus kami mintakan,” katanya, Rabu (1/4).
Politikus PDIP itu mengaku khawatir, jika Surpres baru tak kunjung keluar, maka pengesahan dua RUU tersebut bakal terhambat. Yasonna minta dukungan Komisi III untuk bisa menyurati kepala negara.
“Kami dapat informasi dari Bapak Azis Syamsuddin sudah bicara dengan Presiden, kiranya DPR dapat menulis surat kepada Presiden mungkin melalui keputusan Komisi III untuk memproses dua RUU yang akan datang dan mengirimkan surpres penetapan carry over tersebut,” sambungnya.
“Saya khawatir kalau tidak menetapkan surpres baru, nanti kalau sudah diselesaikan oleh Kelompok-kelompok tertentu akan di-judicial review dan jadi persoalan baru,” ujarnya.
Menanggapi permintaan Yasonna tersebut, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, bahwa DPR lewat Badan Musyawarah akan mengadakan rapat untuk membahas kemungkinan RUU tidak harus menggunakan Supres baru. Sehingga, proses pembahasan tidak berjalan lama.
“Adapun perdebatan terkait perlu tidaknya surpres, kami telah melakukan koordinasi bahwa hal itu bisa dilakukan tanpa melakukan surpres. Karena dalam mekanisme rancangan tatib dan RUU pembentukan UU yang telah dibahas di dalam Baleg dapat memungkinkan untuk melakukan terobosan,” kata Azis.
NasDem Usul Omnibus Law Dibahas
Tak hanya dua RUU Kontroversial, desakan kepada pimpinan DPR untuk membahas Omnibus Law, yakni RUU Ciptaker dan RUU Perpajakan juga muncul di pembukaan masa sidang ketiga tahun 2019-2020. Pembukaan masa sidang ini pun sempat tertunda karena pandemi virus Covid-19. Kendati dalam keadaan genting, Fraksi Nasdem mendesak pimpinan segera membahas Omnibus Law.
Sekretaris Fraksi NasDem Saan Mustopa mengusulkan pimpinan segera menelaah surat presiden terkait Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan. Dia minta segera Omnibus Law ini diberikan kepada fraksi dan komisi di DPR agar dapat dibahas.
“Kalau pimpinan sudah menelaah surat presiden Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan itu lebih baik mulai dibahas di fraksi dan komisi,” kata Saan saat rapat paripurna di gedung DPR, Jakarta, Senin (30/3).
Saan berpendapat, Omnibus Law ini merupakan jalan keluar untuk pemulihan ekonomi usai krisis virus corona. Menurutnya dengan Omnibus Law dapat mempercepat pemulihan ekonomi. “Untuk mengantisipasi pasca-covid kita perlu recovery secara cepat,” kata Wakil Ketua Komisi II ini.
Menanggapi desakan pembahasan Omnibus Law itu, Ketua DPR Puan Maharani menjawab normatif. Kata dia, Omnibus Law akan dibahas sesuai mekanisme. Meski, ada penegasan pada masa sidang ini akan fokus pada penanganan Covid-19.
“Perlu saya juga sampaikan bahwa DPR sesuai dengan fungsinya akan fokus pada pengawasan legislasi dan anggaran terkait dengan pandemi Covid-19 untuk bisa membantu bersinergi dengan pemerintah,” jelas Puan.
Dalam pidato pembukaan, Puan menyebut ada empat RUU yang akan dibahas di tingkat I. RUU itu adalah RUU Minerba, RUU Daerah Kepulauan, RUU Perlindungan Data Pribadi, dan RUU Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia tentang Kerja Sama dalam Bidang Pertahanan.
Sementara, masih ada 50 RUU Prolegnas 2020 yang perlu dicari solusi bersama demi menuntaskannya saat pandemi corona seperti ini. “Namun urusan Omnibus Law tentu saja akan kita bahas sesuai dengan mekanismenya,” kata Puan.
Ditolak Demokrat
Demokrat secara tegas menunjukkan ketidaksepakatannya dengan usulan NasDem. Sikap tersebut diutarakan Anggota Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron. Menurutnya, alangkah baik bila DPR sebagai wakil rakyat fokus bekerja yang ada kaitannya dengan penanganan pandemi Covid-19.
“Saat ini wabah Covid-19 sangat mengkhawatirkan masyarakat, oleh karena itu sekali lagi alangkah bijaknya kita tunda dulu dan fokus penanganan Covid-19,” ungkap Herman yang juga Anggota Komisi IV DPR RI.
Dia menambahkan, ada hal yang lebih penting yakni perubahan APBN untuk penangan Covid-19 dan memperkuat jaringan pengamanan sosial di bidang ekonomi pascapandemi virus corona. “Namun demikian jika melihat sekala prioritasnya, sebaiknya kita fokus dulu terhadap penanganan virus corona dan dampaknya,” kata dia.
Herman mengakui memang RUU Omnibus Law Cipta Kerja hasil inisiatif pemerintah sudah dikirim ke DPR dan sesuai jadwal akan dibahas melalui fraksi-fraksi di DPR pada Masa Persidangan III DPR Tahun 2019-2020.
“Memang pemerintah di masa sidang sebelumnya telah mengirimkan draf RUU Ombibus Law Cipta Kerja sebagai usul inisiatif pemerintah. Untuk selanjutnya tentu DPR sesuai dengan ketatanegaraan akan menindaklanjuti dengan membuat daftar inventarisasi masalah fraksi-fraksi terkait dengan RUU tersebut,” katanya.
Tetapi, dia menyarankan terhadap produk RUU yang kontroversial dan menuai protes harus tetap memperhatikan masukan masyarakat. “Setiap produk DPR dan Pemerintah yang masih kontroversi dan menuai banyak protes di masyarakat, perlu dilakukan sosialisasi dan konsultasi yang memadai. Apalagi undang-undang penggunanya kan masyarakat, maka harus sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat,” terangnya.
“Kami Fraksi Demokrat akan tetap mendalami RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan menampung harapan masyarakat,” sambung dia.
Desakan Penundaan di Tengah Corona
Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR menunda pembahasan sejumlah RUU yang dinilai kontroversial, di tengah pandemi wabah virus Corona atau Covid-19. RUU yang dianggap kontroversial antara lain RKUHP dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kemungkinan dibahas pada sidang paripurna hari ini (2/4).
“Kami melihat gelagat-gelagatnya mereka mau manfaatin momen (Covid-19) ini. Kan tidak mungkin ada demonstrasi. Kalaupun mereka sekarang sidang online apa yang bisa kita lakukan dari jarak jauh,” ujar Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, Kamis (2/4).
“Seharusnya ditunda, seharusnya mereka berhenti membahas RUU yang berpotensi mengkriminalkan rakyat, merampas hak dasar rakyat,” tambah dia.
Asfinawati menuturkan, yang paling utama saat ini DPR harus mengawasi kinerja pemerintah dalam menangani Covid-19. Jika perlu, DPR buka pengaduan bagi masyarakat tentang penanganan corona.
“Jadi mereka bisa mengawasi secara efektif kerja untuk konstituen, kalau ada yang tidak dapat penanganan langsung mengkontak pemerintah atau pemda,” ucapnya.
Wajar Jika Publik Curiga
Kabiro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar menegaskan, bahwa DPR sudah semestinya DPR menunda pembahasan mengenai Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan UU Pemasyarakatan atas alasan apapun. “Karena tidak mungkin melibatkan partisipasi publik secara luas,” kata Rivanlee.
Dia menilai, DPR kemungkinan besar sengaja melakukan pembahasan dalam kondisi sekarang. Sehingga, upaya protes publik hanya dimungkinkan melalui media sosial semata, karena alasan klinis dan kebijakan yang muncul saat Covid-19.
Selain sengaja, kata dia, ini konsekuensi DPR karena memasukkan RUU kontroversial itu ke dalam prolegnas yang mau tidak mau harus dikebut. Tapi di luar itu, kelanjutan pembahasan RUU kontroversial ini tidak bijak karena sudah mendapat pertentangan dari publik sejak massa DPR sebelumnya.
“Jika memfokuskan kepada RUU kontroversial, maka wajar jika publik menganggap ada kepentingan lain di luar mekanisme rancangan peraturan perundang-undangan,” ucapnya.
Dia mengingatkan kembali bahwa RUU kontroversial tersebut punya sejumlah pasal yang tidak berpihak pada publik dan kelompok rentan. Sehingga, proses penyusunannya harus hati-hati betul dan bukan semata-mata menjalankan proses administratif saja.
“Terlebih RUU Cipta Kerja utamanya melibatkan multisektor dan secara substansi berpotensi meniadakan rasa keadilan dan pencapaian kesejahteraan sosial kepentingan masyarakat luas,” kata dia.
“Dalam kondisi tidak pandemi Covid-19 saja, publik sudah protes perihal transparansi dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunannya. Apalagi dalam kondisi pandemi seperti ini,” kata dia ( Mdk / IM )
sudah dari sono nya DPR memang asli bukan wakil rakyat tapi wakil kantong celana