Presiden SBY pekan ini memutuskan penghentian kerja sama dengan Australia sebagai reaksi atas keengganan PM Tony Abbot meminta maaf terkait penyadapan intelijen Australia.
Penghentian kerja sama tersebut meliputi pertukaran informasi intelijen, latihan militer baik darat, laut, udara, maupun latihan gabungan, dan penghentian kerja sama penanganan masalah penyelundupan manusia (people smuggling).
Perkembangan yang meruncing ini tentu tidak kita harapkan. Kedua negara sudah bekerja sama sejak awal kemerdekaan RI, bahkan Australia terlibat dalam pengawasan penyerahan wilayah Indonesia dari Jepang setelah Perang Dunia II berakhir.
Banyak perjanjian sudah dibuat. Perjanjian terakhir adalah Traktat Lombok pada 2008 sebagai perjanjian bilateral terbaru dengan cakupan bidang yang cukup luas.
Traktat ini mencakup 10 bidang, antara lain kerja sama bidang pertahanan dan keamanan, penegakan hukum, antiterorisme, dan keamanan maritim.
Di dalamnya juga ditegaskan prinsip-prinsip saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam negeri masing-masing negara. Australia sangat berkepentingan menjalin kerja sama antiterorisme, terutama setelah peristiwa Bom Bali yang menewaskan banyak warganya.
Oleh karena itu, tindakan penyadapan yang dilakukan Australia terhadap telepon genggam milik Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi memang sangat disesalkan. Hal ini karena sudah melanggar prinsip-prinsip kerja sama sebagai negara sahabat.
Tindakan penyadapan bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran atas Pasal 9 Konvensi Jenewa karena bersifat subversif dan merugikan kepentingan Indonesia. Oleh karena itu, sebetulnya sah-sah saja bila pemerintah memutuskan tindakan lebih serius, termasuk mengusir Dubes Australia dari Jakarta.
Namun, kita tentu harus memikirkannya lebih matang, berhati-hati, dan tidak emosional. Kalkulasi yang lebih rasional tetap harus kita cermati sebelum tindakan drastis akan ditempuh.
Peta politik sekarang tentu jauh berbeda dengan masa ketika Presiden Soekarno menggelorakan “go to hell with your aid” karena kecewa terhadap AS dan Barat sehingga keputusan yang akan kita ambil harus benar-benar diperhitungkan untung ruginya. Hal ini disebabkan Australia merupakan tetangga dan mitra strategis.
Di Australia sendiri banyak pihak yang menyesalkan sikap PM Abbot, yang tidak mau meminta maaf kepada Indonesia dan menilai sikap itu mengorbankan hubungan baik yang sudah lama terbina. Australia tidak bisa lagi membanggakan diri di depan kita sebagai bagian dunia Barat yang super dan serbalebih hebat. Mereka tetap membutuhkan kerja sama dengan kita sebagai tetangga terdekat.
Kedua negara harus melihat prospek perkembangan kawasan yang makin strategis. Bagi Indonesia, perkembangan kawasan yang semakin terbuka, terutama berkaitan dengan pasar bebas ASEAN, sekaligus menjadi tantangan bagaimana memanfaatkan peluang yang terbuka.
Hal ini karena bisa berdampak negatif bila kita tidak menyiapkan diri dengan baik. Diyakini, kawasan Asia Pasifik akan berkembang makin dinamis sehingga bangsa yang memiliki visi jauh ke depan dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, yang akan memperoleh manfaat besar.
Australia juga akan menderita kerugian bila mengabaikan kerja samanya dengan Indonesia, baik dari aspek ekonomis, politik, maupun pertahanan. Bagaimanapun Indonesia akan berkembang cepat dan menjadi kekuatan yang makin diperhitungkan karena kekayaan alam, jumlah penduduk, pasar yang sangat besar, maupun kekuatan politik dan pertahanannya.
Kita percaya bahwa persoalan yang memanas ini bisa didinginkan. Pemerintah memang harus menempuh tindakan yang lebih tegas, tetapi dengan perhitungan yang matang.
Bukan hanya untuk memenuhi hasrat sesaat yang sering bercampur aduk dengan emosionalitas publik. Di sinilah SBY diuji untuk tidak mengumbar emosi demi mengejar dukungan dan popularitasnya, tetapi juga tetap berkepala dingin dengan memperhitungkan masa depan kawasan ini.