Kita mungkin terheran-heran menyikapi hal ini: bahwa Presiden Yudhoyono sampai tiga kali mengomentari kasus beredarnya video porno mirip artis Ariel-Luna Maya dan Ariel-Cut Tari. Mengapa Presiden tak seserius itu bersuara mengomentari peristiwa dihalang-halanginya kebebasan beragama dan kebebasan beribadah dari beberapa kelompok umat akhir-akhir ini — baik di Bekasi, Cileungsi, maupun Manis Lor? Mengapa di negara hukum ini peristiwa seperti itu seakan menjadi pemandangan yang biasa-biasa saja? Padahal, angka kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan beribadah tahun ini sudah melampaui tahun-tahun sebelumnya.
Menurut SETARA Institute, dalam tujuh bulan terakhir ini, dari Januari sampai Juli 2010, sudah terjadi 28 kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di Indonesia. Kekerasan itu meliputi penyegelan dan penolakan pendirian gereja, ancaman hingga penutupan gereja secara paksa serta penghentian paksa kegiatan ibadah. Jumlah kekerasan ini melampaui yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang angkanya tak lebih dari 20 kasus. Data tersebut belum termasuk peristiwa kekerasan yang menimpa kelompok Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Kita patut bertanya dan merenung dalam-dalam: sungguhkah Indonesia berkomitmen meninggikan moral, ahklak dan budi pekerti? Mengapa pelbagai peristiwa kekerasan yang mencoreng citra Indonesia sebagai bangsa yang religius itu seakan dibiarkan saja alih-alih disikapi tegas dengan cara menangkap dan memproses para pelakunya secara hukum? Beda sekali dengan Malaysia, negara berlandaskan agama Islam itu, yang Jumat (13/8) lalu baru saja memenjarakan dua warganya karena terbukti bersalah membakar sebuah gereja Protestan. Hakim Pengadilan Malaysia tegas menuding tindakan itu  mempermalukan masyarakat dan negara.
Di Indonesia, mengapa penegakan hukum begitu lemah menghadapi para anarkis terhadap kebebasan beragama dan beridadah itu? Aktivis gerakan pro deÂmoÂkrasi Rizal Ramli mengatakan, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang berani bertindak. “Kita bisa menjadi bangsa yang besar, tapi tidak dengan pemimpin yang pura-pura, yang menganggap tidak ada masalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya. Sementara rohaniwan Frans Magnis Suseno juga menyesalkan sikap pemimpin yang tidak serius dalam mengemban tugasnya. “Saya lihat beberapa kecenderungan yang kalau dibiarkan berjalan terus akan mengancam eksistensi bangsa,” katanya (Sinar Harapan, 14/8/2010).
Dalam perspektif politik, salah satu fungsi negara adalah melaksanakan penertiban (law and order). Berdasarkan itu maka salah satu sifat negara adalah memaksa. Untuk itu negara memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958). Dalam operasionalisasinya, kewenangan penggunaan kekerasan fisik yang sah itu diserahkan kepada institusi kepolisian.
Terkait itulah, terhadap Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Danuri, kita juga patut bertanya: mengapa sejumlah organisasi kemasyarakatan yang kerap berubah wujud menjadi vigilante (kelompok warga yang gemar melakukan kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum) seakan tidak mengusik martabat Polri yang seharusnya selalu berada di garda depan dalam upaya melindungi masyarakat? Sudah lupakah Jenderal Danuri akan komitmennya di tahun 2008 ketika menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR, bahwa jika ia menjadi Kapolri, semua bentuk tindak kejahatan korupsi, perjudian, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, dan kejahatan konvensional lainnya akan disikat, dan tidak ada kompromi? “Polri ke depan harus menampilkan wajah yang tegas dan humanis. Tegas bukan berarti arogan. Tegas bukan berarti melanggar HAM, tapi tegas untuk menanggulangi setiap kejahatan tanpa kompromi,” ujar Danuri saat membacakan visi dan misinya yang berjudul “Akselerasi Transformasi Polri menuju Polri yang Profesional, Bermoral, Modern dan Dipercaya Masyarakat”.
Sekarang, jika rakyat diminta menjawab jujur, puaskah mereka akan kinerja Polri? Akankah rakyat memuji Polri sebagai aparat penegak hukum yang tegas dan berwibawa, atau sebaliknya, lemah dan melempem? Akankah Jenderal Danuri mampu berdiri tegak dan berucap mantap di saat serah terima jabatan kepada Kapolri yang baru nanti, bahwa ia sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi komitmennya itu?
Kita patut merenungi negara ini karena disfungsinya dalam melindungi sejumlah kelompok umat beragama yang kebebasannya kerap diganggu oleh para vigilante. Sesungguhnya dikarenakan hal itu negara telah melakukan kejahatan. Dalam konteks ini kejahatan negara terbagi dua: 1) dengan kesengajaan atau melalui tindakan aktif negara (by commission); 2) tanpa kesengajaan atau melalui tindakan pembiaran negara (by omission).
Sekedar menyebutkan contoh, di masa-masa menjelang kejatuhan Soeharto tahun 1997-1998, negara pernah melakukan kejahatan by commission melalui tindakan penculikan maupun penembakan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi. Hingga kini negara tak mampu memberikan pertanggungjawaban atas kejahatan dengan kesengajaan itu. Terkait itulah maka sebuah komisi khusus untuk rekonsiliasi nasional mendesak untuk dibentuk. Namun sayangnya, di saat calon-calon komisionernya sedang diseleksi, undang-undang yang melandasi pembentukan komisi tersebut (UU No. 27 Tahun 2004) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, 7 Desember 2006.
Sedangkan contoh untuk kejahatan by omission dapat dirujuk pada catatan SETARA Institute, berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan di 12 provinsi, bahwa dari 200 peristiwa peÂlanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan, terdapat 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara. Tindakan pembiaran itu bisa berupa pejabat pemerintah setempat yang tidak melakukan apa-apa untuk melakukan pencegahan atau mengantisipasi suatu peristiwa kekerasan, bisa juga berupa aparat kepolisian yang tidak berupaya maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap warga yang membutuhkannya saat peristiwa kekerasan terjadi.
Lalu, apa yang dapat kita katakan tentang hal itu? Negara, yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh para pemimpin pemerintahan, harus menyadari dan menyesali semua kejahatan mereka. Tahapan itu harus disusul kemudian oleh pertobatan yang sungguh-sungguh. Jangan sampai rakyatlah yang kelak menghukum mereka dengan cara-cara tak langsung semisal penarikan dukungan, penyampaian petisi  ketidakpercayaan, aksi-aksi civil disobedience, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, Tuhanlah yang akan menunjukkan murkanya. “Saya merasa the loss of truth merupakan problema dunia yang paling besar. Bahkan juga merupakan problema Indonesia yang paÂling berat,” demikian Dorothy Marx menulis dalam bukunya, Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa (2006). “Setiap bangsa yang mengalpakan atau menyepelekan fakta tersebut (padahal mereka ingin maju dalam pembangunan negaranya; terutama ekonomi dan derajat pendidikannya, dengan memperketat militer serta pengamanannya, meningkatkan efisiensi hukum, HAM dan keadilan), harus mengingat, tanpa hal yang paling utama, yaitu dasar kebenaran dan keadilan, pasti negara tersebut akan mengalami banyak kekecewaan, frustrasi dan kesulitan. Bahkan diperkirakan kesulitan akan terus meningkat.”
* Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.