Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kukuh menolak dorongan sejumlah pihak untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2014. Ia menyatakan, keputusan tersebut sudah bulat didasarkan pembicaraan dengan istri dan anaknya.
“Andai kata saya bisa maju lagi untuk ketiga kali yang tidak dilarang konstitusi dan undang-undang. Saya tetap tidak akan maju lagi,” kata SBY dalam sebuah wawancara yang diunggah melalui akun resminya di media sosial Youtube.com, Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat, 25 April 2015.
SBY menyatakan, dirinya dan istri Kristiani Herrawati kerap membaca adanya wacana mendorong maju menjadi cawapres. Akan tetapi, menurut dia, ada dua jenis dorongan yang muncul dari wacana tersebut.
Beberapa kalangan, menurut dia, mendorong maju sebagai cawapres dengan tujuan mengolok, melukai hati dan melecehkan. Mereka ingin menjatuhkan dengan melihat SBY sebagai wakil presiden.
Sedangkan kalangan lain, lebih serius dan tulus karena menilai SBY cocok sebagai pendamping pemimpin negara berikutnya. Posisi SBY sebagai wapres justru menjadi hal positif karena bisa membantu dan memberi pengarahan perihal langkah atau kebijakan guna melanjutkan pengembangan bangsa. “Kekuasan itu bukan segalanya. membantu tidak harus jadi wakil,” kata SBY.
Ia menilai, kesempatan untuk memimpin bangsa selama 10 tahun sudah merupakan syukur kepada Allah dan masyarakat. Ia juga tak mau lebih lama memimpin karena khawatir pada kemungkinan penyalahgunaan kuasa dan wewenang.
Menurut dia, sejarah dunia memaparkan banyak pemimpin negara yang berakhir tak baik karena terlalu lama mengampu jabatan. Ada kecenderungan untuk otoriter dan tak punya pemikiran segar pada pemimpin negara yang sudah 20 tahun lebih berkuasa. “Demokrasi menjadi mati. Masyarakat juga bisa bosan kalau pemimpinnya tak ganti,” kata SBY.
Penolakan pada jabatan cawapres juga berarti penolakan agar istri atau anaknya maju sebagai capres atau cawapres. Menurut SBY, ada kecenderungan orang yang sudah tak bisa lagi berkuasa untuk mengajukan istri atau anaknya meneruskan jabatannya. Hal ini bertentangan dengan sistem demokrasi Indonesia yang bukan kerajaan dan otoritarian. “Kecuali kalau istri dan anaknya memang dipandang luar biasa oleh masyarakat untuk menjabat.”