Kopi hitam jadi suguhan utama saat anjangsana di asrama mahasiswa Papua. Berlokasi di sebuah rumah Jalan Puri Intan 2, Ciputat Timur. Pintu pagarnya dibiarkan terbuka dan lampu garasi padam. Di dalam dihuni banyak mahasiswa pria. Mereka sedang berjuang meraih cita-cita.
Kedatangan kami pada Rabu malam itu disambung hangat. Diterima salah seorang penghuni asrama bernama Ricky Cuan, 23 tahun. Dia meninggalkan sejenak revisi skripsinya yang masih terpampang di layar laptop. Menyambut kami dan duduk melantai bersama. “Saya sudah selesai sidang, tinggal revisi skripsi lalu wisuda,” kata Ricky.
Selama perbincangan, pandangan mata Ricky dan seorang rekan asramanya, tertuju pada televisi. Sesekali memerhatikan layar ponsel di genggaman tangan. Seolah tak ingin melewatkan semua informasi penting. Mereka selalu memantau berita utama kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua dan beragam reaksi di berbagai daerah.
Sosok paling senior di rumah itu adalah Fajar Cuan, 27 tahun. Mahasiswa asal Papua di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa hari terakhir dia sibuk konsolidasi bersama rekan organisasi mahasiswa lain. Menyikapi kasus menimpa rekan-rekannya, mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang.
Hampir tengah malam, Fajar baru kembali pulang ke asrama. Dia datang bersama Alfon Marian, mahasiswa Teknik Universitas Tama Jagakarsa. Noken berisi buku dan ponsel diletakkan. Dia kemudian duduk bersama kami.
Asrama itu dihuni tujuh orang mahasiswa. Menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi. Dua orang mahasiswa UIN SYarif Hidayatullah, satu orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), satu orang mahasiswa Universitas Pamulang, dan tiga orang mahasiswa Tama Jagakarsa. Semua berasal dari daerah yang sama, Kabupaten Jayawijaya.
Semua duduk bersama di lantai beratap langit. Seorang dari mereka memeluk gitar tanpa bersenandung. Hanya suara petikan gitar yang sesekali terdengar. Sedangkan Fajar tidak banyak bicara. Tangan dan matanya fokus pada ponsel. Berselancar mencari informasi paling baru mencari kabar mengenai rekan-rekannya yang jauh di sana.
“Maaf hanya ada kopi saja,” kata dia membuka pembicaraan.
Sebenarnya ada surat dari pemerintah daerah Papua. Menurut Fajar, isinya meminta mahasiswa asal Papua tersebar di seluruh Indonesia tak keluar dari asrama sapai keadaan kondusif. Tapi itu tidak berlaku di asrama mahasiswa Ciputat. “Di sini kami aman, jadi tetap aktivitas biasa,” ucapnya.
Bukan tanpa alasan Fajar mengatakan itu. Selama enam tahun terakhir mereka membangun hubungan baik dengan tetangga dan warga sekitar asrama. Tak heran jika warga di sekitar asrama ikut menjaga mereka.
Seorang ibu yang tinggal persis di depan asrama, secara tidak langsung merasa ‘diuntungkan’ dengan kehadiran mereka. Sebelum ada asrama mahasiswa Papua, di sana rawan aksi pencurian. Tapi kini tak pernah terjadi lagi. Sejak para mahasiswa Papua itu ada di sana.
Tetangga kerap memberi bahan makanan kepada mereka. Salah satunya beras. Tak jarang diberi ubi. Makanan kesukaan para penghuni.
Rasa memiliki rumah ini dipupuk dalam diri mereka. Setiap hari, tanpa harus disuruh dan menunggu perintah, mereka gotong royong membersihkan rumah. Ada yang menyapu, pel lantai, cuci piring dan baju.
Sebagian bertugas beli kudapan untuk sekadar sarapan. Biasanya gorengan jadi pilihan. Setelah rumah bersih, mereka bersantai sambil berbincang ringan. Ada pula yang langsung berangkat kuliah.
Saban tahun, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya menganggarkan Rp 55 juta untuk uang sewa asrama. Urusan listrik dan kebutuhan sehari-hari, tanggung jawab Fajar dan rekan penghuni asrama.
Sambil sesekali mengusap rambut di kepalanya, Fajar berbagi cerita. Finansial memang masalah serius bagi mereka. Tak ada kiriman uang dari kampung halaman. Belum lagi urusan makan. Ditambah masalah uang kuliah.
Tak jarang mereka berpegang pada kemurahan hati para senior di organisasinya yakni Ikatan Keluarga Besar Pelajar dan Mahasiswa Jayawijaya (IKBPMJ). Sekadar untuk membeli beras, membayar listrik, hingga urusan uang kuliah.
Pahit getir dihadapi bersama di dalam asrama. Mencari jalan keluar dari setiap persoalan. Kata mengeluh tak ada dalam kamus mereka. Meskipun pada akhirnya mereka harus puasa berhari-hari. Keadaan itu bagi mereka sudah lumrah terjadi.
“Kalau ada uang disyukuri, tidak ada juga tidak apa-apa. Kadang 2-3 hari kami tidak makan. Ya kami hanya minum kopi saja,” celetuk Ricky sambil tersenyum.
Tak jarang mereka berkeliling menyambangi asrama mahasiswa asal Jayawijaya di tempat lain. Selain di Ciputat, ada tiga asrama mahasiswa Jayawijaya di Jakarta. Dua asrama di Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Satu asrama lain di Jakarta Timur.
Satu sama lain tak segan meminta bantuan bahan makanan jika persediaan di dapur kosong. Budaya kebersamaan dan solidaritas ini turun temurun dilakukan. Atas nama cinta kasih sesama anak Papua.
Simpul ikatan mereka kuat. Saling menjaga satu sama lain. Termasuk saat salah satu di antara mereka sakit. Sambil tertawa getir, Fajar menceritakan strategi yang dilakukan saat rekan mereka sakit.
Kartu Mahasiswa milik Fajar jadi andalan untuk berobat. Tak peduli siapapun yang sakit. Padahal sejatinya kartu itu hanya boleh digunakan dirinya sendiri. Cara harus dilakukan bila terdesak keadaan. Maklum, finansial jadi masalah utamanya.
Kartu sakti itu menjadi akses berobat ke rumah sakit milik UIN terletak di depan kampus. Dengan bermodal kartu mahasiswa, ongkos berobat disubsidi kampus. Walaupun hanya 20 persen dari total biaya berobat. Tapi setidaknya cukup membantu. Hampir semua penghuni asrama merasakan manfaatnya.
Masih tergambar jelas dalam ingatan Fajar saat rekannya, Agus, jatuh sakit. Kawannya itu bukan mahasiswa UIN. Agus berada di ruang pengobatan. Sementara Fajar mengurus administrasi memakai kartu mahasiswa miliknya.
“Rumah sakit mungkin pikir orang Papua muka sama semua. Cuma diperiksa kartu mahasiswa, kalau status aktif bisa dipakai berobat,” ujar Fajar sambil tersenyum.
Agus didiagnosa sakit usus buntu. Biaya pengobatan sampai Rp 6 juta. Sebagian ditanggung kampus. Sebagian lagi datang dari donatur. Setelah Agus selesai menjalani pengobatan, Fajar dipanggil pihak kemahasiswaan.
Awalnya dia menduga trik memanfaatkan kartu mahasiswa untuk berobat rekannya itu ketahuan pihak kampus. Beruntung dia hanya dikonfirmasi pihak kampus. Bahkan mendapat Rp 3 juta untuk uang berobat. Kekhawatirannya tidak terjadi. Semua aman. Rekannya pun sehat.
Fajar dan Ricky terus berbagi cerita meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Di asrama, mereka biasa tidur mendekati atau selepas azan Subuh berkumandang. Biasanya selalu diisi diskusi dan kajian. Topiknya beragam. Mulai dari masalah sosial, politik, keagamaan, hingga ekonomi dan bisnis.
Beragam kajian semacam ini menjadi asupan ilmu bagi mereka. Menjadikan mereka kritis dalam berpikir dan bertindak. Manfaatnya sudah dirasakan Ricky.Dia belajar banyak dari diskusi dan kajian yang diikutinya bersama rekan organisasi lain.
Diskusi itu membuat pola pikir Ricky berkembang. Hingga dia mampu mengorganisir orang banyak. Peran senior dan rekan dalam organisasi kemahasiswaan, dominan dalam menentukan kemajuan pola pikir Ricky.
“Dulu awal datang polos, bodoh saya. Akhirnya saya pernah jadi ketua IKBPM Jayawijaya. Dan sekarang kita bisa bangga kalau berhadapan bicara dengan orang lain,” kata Ricky membanggakan.
Selama memimpin ikatan keluarga besar pelajar dan mahasiswa Jayawijaya, Ricky mengorganisir aktivitas dan kegiatan empat asrama. Beberapa kali diundang untuk menampilkan budaya Papua di panggung besar. Seperti dilakukan bulan Juni lalu.
Mereka diundang Kementerian Pariwisata untuk menampilkan tarian Wamena dalam rangka promosi wisata. Karena tarian ini harus berpasangan, Ricky mengandalkan rekan-rekannya di asrama Jakarta Selatan. Di sana kebanyakan dihuni mahasiswa perempuan asal Papua. Ada sekitar 20-25 orang. Mereka kuliah di berbagai universitas.
Ada di Universitas Indonesia, Universitas Nasional, Universitas Kristen Indonesia, Tama Jagakarsa, dan lainnya. Ada kebanggaan dalam diri mereka ketika bisa memberi sumbangsih dengan menampilkan budaya Papua. Agar dilihat dunia.
Perkumpulan ini harus terus hidup. Untuk itu mereka tak berhenti mencari sumber dana. Mengamen di jalanan ibu kota salah satu caranya. Jika dikumpulkan, hasilnya sangat banyak. Bisa mencapai Rp 500.000 hingga Rp 2 juta. Uang itu masuk kantong kas mereka.
Dana itu nantinya digunakan untuk berbagai kegiatan memupuk semangat kebersamaan dan persaudaraan. Semisal perayaan Idul Fitri dan Natal bersama. Setiap perayaan itu sering digelar di Ciputat. “Hiburannya putar musik. Ada juga MOP atau cerita khas Papua. Kita cari topiknya. Semua tertawa bersama,” ucap Fajar.
Tak hanya tertawa. Menangis pun dilakukan bersama. Ini terjadi ketika ada sanak keluarga dari rekan mereka asal Papua yang meninggal dunia. Mereka berkumpul lalu duduk bersama. Setelah itu, mereka harus menangis bersama-sama. Ini kebiasaan dari kampung mereka yang dibawa hingga ke kota.
“Harus ikut nangis. Memang begitu adatnya. Kita harus tetap pegang teguh adat.”
Mereka melanjutkan cerita. Kebanyakan penghuni asrama tidak bekerja. Fajar dan Ricky memang pernah bekerja. Ricky pernah bekerja paruh waktu di enam perusahaan. Semata-mata hanya untuk mencari pengalaman dunia kerja. Bayarannya pun tak seberapa besar. Pernah diupah hanya Rp 25.000 per hari. Paling besar Rp 70.000 per hari. Bekerja membersihkan pendingin udara.
Sedangkan Fajar pernah menjajal dunia jurnalistik. Bergabung dengan perusahaan rumah produksi. Di dalamnya ada media online. Di sana Fajar bergabung menjadi kontributor untuk wilayah Tangerang Selatan. Sampai kuliah terbengkalai dan akhirnya memilih berhenti demi Kembali fokus ke kampus.
Saat cerita memasuki kisah dari tanah Papua, mereka menghela napas. Wajah mereka berubah serius. Orang Papua hidup tak tenang meski di kampung sendiri. Jika sudah jam tujuh malam, jalanan di Papua sepi. Tak ada orang lalu lalang sendirian. Bahaya, kata mereka.
Bila itu dilakukan maka bisa dituduh pemabuk, pembuat onar, pencuri, dan lainnya. Padahal tuduhan itu belum tentu benar. Risiko keluar malam sendirian terlalu besar. Bisa berakhir di balik sel penjara. Terburuk, nyawa melayang.
Kehadiran aparat keamanan tidak jaminan. Bahkan, kerap bertindak di luar batas kemanusiaan. Tidak heran jika pemerintah daerah Nduga beberapa waktu lalu meminta aparat keamanan menarik mundur pasukan. “Kami seperti hidup tidak tenang di tanah sendiri,” imbuhnya.
Mereka berbagi banyak cerita mengenai segala hal yang dirasakan warga Papua. Cerita mengalir begitu saja. Hingga akhirnya berhenti. Saat kopi dalam gelas tersisa ampas. Rasa manis pun berubah pahit.( Mdk / IM )