China mulai melancarkan “serangan balik” ke Amerika Serikat, setelah dalam beberapa hari belakangan ini terkesan mendiamkan serangan AS, terutama lewat Presiden Donald Trump.
Lewat Duta Besar China untuk Kanada, Kamis (11/6/2020), China menuding Amerika Serikat si ‘pembuat onar’ dalam hubungan bilateral China-Kanada.
Amerika Serikat memanfaatkan kasus eksekutif telekomunikasi China yang ditangkap 18 bulan lalu di Vancouver dengan surat penangkapan AS untuk membuat onar dalam bilateral China dan Kanada, kata Duta Besar China untuk Kanada, Kamis (11/6/2020).
“AS mengambil keuntungan dari Kanada, dan AS merupakan pembuat onar dalam hubungan China-Kanada,” kata Dubes China untuk Ottawa, Cong Peiwu, kepada Reuters melalui telepon.
CEO Huawei Technologies Co, Meng Wanzhou, warga China sekaligus putri pendiri Huawei Ren Zhengfei, ditangkap dengan surat penangkapan penipuan bank oleh otoritas AS. Meng mengaku dirinya tak bersalah.
Ditanya apakah menurutnya peradilan Kanada independen, Cong merujuk pada komentar Presiden AS Donald Trump pada Desember 2018, yang katanya bahwa kasus Meng merupakan “insiden politik ketimbang kasus peradilan yang sederhana.”
Trump mengatakan dirinya akan melakukan intervensi dengan Departemen Kehakiman AS dalam kasus Meng jika itu akan membantu mengamankan perjanjian dagang dengan Beijing.
“Kami yakin bahwa sebenarnya ini adalah insiden politik berat yang direncanakan AS untuk menjatuhkan perusahaan teknologi canggih China,” kata dubes.
Cong tidak menyebutkan apakah China akan membalas keputusan Kanada bulan lalu, yang akan memperpanjang pertempuran hukum Meng untuk menghindari ekstradisi.
Tak lama setelah Meng ditangkap, Beijing menahan dua warga Kanada atas tuduhan keamanan nasional dan menghentikan impor benih kanola Kanada.
Saat disinggung soal kasus Meng, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menegaskan peradilan negara tersebut independen, seraya menyerukan pembebasan dua warga Kanada, yakni pengusaha Michael Spavor dan mantan diplomat Michael Kovrig.
Utusan China itu mengatakan dua warga Kanada yang ditahan “dalam kondisi sehat” namun kunjungan konsuler masih ditunda lantaran pembatasan COVID-19 dan “dapat dikunjungi kembali jika kondisinya membaik.”
Sebelumnya diberitakan, Huawei masuk daftar hitam pemerintah AS berujung Huawei ditinggal Google.
Dampak Huawei ditinggal Google, pendapatan Huawei hilang Rp 196 Triliun, yang juga saat Huawei masuk daftar hitam AS.
Sejak masuk daftar hitam pemerintah Amerika Serikat di Mei 2019 lalu, sempat Huawei percaya diri bisa mandiri tanpa Google.
Salah satu buktinya, Huawei mengedepankan ekosistem layanan dan aplikasi buatan sendiri, Huawei Mobile Services.
Hal itu untuk menggantikan Google Mobile Services yang tidak bisa hadir di ponsel-ponselnya lantaran blacklist.
Namun, absennya aneka aplikasi dan layanan populer Google dari smartphone Huawei tak urung berdampak pada pemasukan vendor asal China itu.
Sepanjang 2019, Huawei mencatat pendapatan sebesar 123 miliar dollar AS (Rp 196,8 triliun), meleset dari target sebesar 135 miliar dollar AS (Rp 2.214 triliun) yang ditetapkannya pada April 2019, sebelum masuk daftar hitam AS.
Deputy Chairman Huawei Eric Xu menyalahkan blacklist AS atas kehilangan potensi pendapatan tersebut.
“Kami tidak mencapai target kami yang telah direvisi, yakni 135 miliar dollar AS (Rp 2.214 triliun). Kami kehilangan 12 miliar dollar AS”
“Ini adalah dampak dari sanksi AS,” ujar Xu, ebagaimana dihimpun KompasTekno dari CNBC, Rabu (1/4/2020).
Kehilangan pendapatan terbesar dialami divisi perangkat konsumen yang berkutat pada bisnis ponsel, tablet, dan laptop.
Total pendapatannya pada 2019 adalah 66,93 milliar dollar AS (Rp 1.096 triliun), meleset 10 miliar dollar AS dari target Huawei.
Sebagian besar dari total pendapatan Huawei pada 2019 disumbang oleh divisi perangkat konsumen ini, dengan proporsi 54 persen.
“Jika tahun lalu tidak ada gangguan (blacklist), pendapatan bisnis perangkat konsumen setidaknya bisa tembus 10 miliar dollar AS lebih banyak daripada angka sebenarnya yang kami capai,” imbuh Xu.
Meleset, tapi tetap naik
Di luar target yang meleset, pendapatan Huawei pada 2019 diklaim tetap naik sebesar 19,1 persen dalam kurs yuan dibandingkan tahun 2018.
Meskipun dijegal pemerintah AS, Huawei pun masih bercokol di peringkat kedua vendor smartphone terbesar dunia pada tahun 2019, menggeser kedudukan Apple, menurut survei beberapa analis pasar.
Neil Shah, salah satu periset pasar Counterpoint Research, mengatakan pencapaian tersebut disumbang oleh pangsa pasar Huawei di China yang masih kuat.
“China berkontribusi sekitar tiga dari lima smartphone Huawei yang terjual secara global pada tahun 2019, dan ini akan meningkat lebih lanjut pada tahun 2020,” jelas Shah.
China menjadi satu-satunya pasar Huawei yang aman dari dampak pemblokiran pemerintah AS.
Sebab, konsumen di Negeri Tirai Bambu tak bergantung pada aplikasi dan layanan Google yang absen dari ponsel Huawei pasca blacklist.
Prediksi Shah kini bisa saja berubah megingat pandemi virus corona yang turut menerjang industri smartphone.
Xu sendiri belum bisa mengatakan pasti seberapa besar dampak pandemi virus corona bagi Huawei.
“Saat ini kami akan mengevaluasi level dampak dari pandemi pada performa pasar di China”
“Tapi untuk saat ini, di mana pandemi terus meluas ke berbagai belahan dunia, sangat sulit mengatakan seberapa besar dampaknya pada bisnis kami,” jelas Xu.
Xu mengatakan, Huawei bisa saja memenuhi kebutuhan pasar dalam jangka pendek.
Namun jika pandemi ini terus belanjut secara global dan membuat beberapa pemasok komponen berhenti produksi, kemungkinan Huawei akan mengalami kesulitan cukup lama.
Pangsa Pasar Huawei di China Bertambah Besar
Kendati mendapat kecaman dari Amerika Serikat, Huawei Technologies makin kokoh di pasar sendiri.
Mengutip Reuters pada Rabu (30/10/2019), yang dilansir Kontan, Huawei mampu meningkatkan pangsa pasar ponsel pintar ke rekor 42 persen di pasar China.
Hal ini seiring dengan peningkatan pengiriman dari pabrik pada kuartal ketiga sebesar dua pertiga kali.
Hal ini lantaran konsumen dalam negeri menguat di belakang Huawei setelah sanksi larangan bermitra dengan perusahaan Amerika sejak Mei lalu.
Akibatnya, Huawei kesulitan mendapatkan komponen-komponen penting dari mitra bisnis di Amerika.
Pembuat smartphone nomor dua di dunia ini diberikan penangguhan hukuman hingga November.
Namun demikian, promosi yang patriotik telah mendorong penjualan ponsel pintar Huawei di China.
Tentunya hal ini membantu Huawei mengimbangi kemerosotan pengiriman di pasar global.
Di saat pasar ponsel pintar Tiongkok masih mengalami kontraksi tiga persen pada kuartal ketiga dibandingkan tahun sebelumny.
Pengiriman smartphone Huawei mencapai 41,5 juta unit dari total 97,8 juta yang dikirimkan pada periode tersebut.
“Huawei membuka celah yang besar dengan vendor lain. Posisi dominannya memberi Huawei banyak kekuatan untuk bernegosiasi dengan rantai pasokan dan meningkatkan pangsa pasar dalam mitra saluran,” kata Nicole Peng, Wakil Presiden Mobilitas Canalys.
Pertumbuhan Huawei datang dengan mengorbankan saingan utama Oppo, Vivo, Xiaomi dan Apple yang secara bersama-sama menyumbang 50 persen dari pasar di kuartal ketiga.
Kontribusi pangsa pasar kombinasi ini turun dari pencapaian tahun lalu sebanyak 64 persen.
Penjualan kuartal ketiga juga menandai kuartal terlemah Apple di China selama lima tahun, kata Peng.
Namun, dia menambahkan bahwa Apple menerima dorongan dari peluncuran iPhone 11 pada bulan September.
Produk baru Apple ini akan diterima oleh pembeli setelah menunggu dua hingga tiga minggu.
Huawei mengatakan pada pekan lalu telah menjual lebih dari 200 juta ponsel secara global pada 2019.
Padahal masih terdapat 64 hari lebih menuju akhir tahun.
Keuntungan perusahaan tetap tangguh meskipun ada tekanan dari Amerika Serikat, dengan pendapatan melonjak 27 persen di kuartal ketiga.
Versi andalannya, Mate 30 Pro 4G, yang diluncurkan Huawei pada bulan September, bukanlah faktor besar dalam kesuksesan di kuartal III, dengan sebagian besar orang menunggu versi 5G untuk diluncurkan akhir tahun ini.
“Huawei berada dalam posisi yang kuat untuk mengkonsolidasikan dominasinya secara lebih lanjut di tengah peluncuran jaringan 5G, mengingat hubungan operator yang ketat dalam penyebaran jaringan 5G, dan kontrol terhadap komponen-komponen utama seperti chipset 5G yang kompatibel dengan jaringan lokal dibandingkan dengan rekan-rekan lokal,” kata Peng.( Trb / IM )