Cerita bulan Mei ini bukanlah cerita Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang melanjutkan karier ke dunia luar dan pasti bukan cerita orang yang mengerahkan modalnya melawan dia. Jadi cerita apa? Mengenai Pansus sudah tidak ada cerita, tinggal puing-puingnya dan beberapa striker DPR
yang bingung karena gawangnya dicabut oleh pemilik lapangan. Politisi bintang televisi ini bingung berganti topik atau berganti haluan. Tanpa SMI sebagai fokus, susah melanjutkan kasus Century, sebab sebetulnya tidak ada masalah.Pada waktu kejadian di bulan November 2008,semua setuju.
Baru sembilan bulan kemudian Golkar melepaskan pasukan memotori Pansus Century setelah Ketua Umum Golkar gagal mendapatkan proteksi untuk usaha pribadinya dari Menteri Keuangan. Priyo Budi Santoso,Ketua DPP Golkar,mengakui perlawanan terhadap SMI didasarkan pada kepentingan politik. Ia memberikan perbandingan dengan Malaysia, dengan menjelaskan bahwa SMI mendapat soft landing, tidak seperti di Malaysia di mana Anwar Ibrahim sampai dituduh macam-macam, kata Priyo.
Tidak ada masalah dengan bailout Century. Bailout justru menyelamatkan Indonesia dari krisis. Satu- satunya bencana akibat bailout adalah tampilnya politisi dan media membelokkan rasionalitas politik Indonesia. Setelah delapan bulan menguasai opini publik melalui pembohongan, Golkar menghentikan serangan terhadap SMI. Pendompleng Golkar di partai lain ditinggalkan mengurus kegagalan Pansus.
Karena politisi tidak punya kebiasaan terus terang, tidak ada yang secara
terbuka menyerang Ketua Umum Golkar. Malah tokoh PDIP meminta kepada SMI, orang yang mereka hujat, untuk bernyanyi entah mengenai apa. Kalau bukan cerita SMI,maka cerita apa ini? Kita perlu perspektif jernih dengan analisis tajam. Ada dua peristiwa di hari Rabu itu, pengumuman SMI di pagi hari dan pengumuman Setgab Koalisi di malam hari. Kedua peristiwa itu sangat berdekatan, menimbulkan pertanyaan yang mengundang spekulasi.
Boleh dikatakan kita terima pukulan dua kali.Kalau kepergian SMI mempunyai segi positif,pembentukan Setgab yang memamerkan kedekatan SBY dengan ARB tidak dirasakan nyaman. Membuka website P2D (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi), kita bisa baca dalam salah satu esainya: Sekber (sebelum berubah jadi Setgab ——red) Koalisi Partai jelas dimaksudkan untuk menyatukan semua kepentingan politik. Persoalan kita terutama bukan tentang jumlah kekuasaan yang menumpuk pada Presiden, tetapi motif penumpukannya. Aburizal Bakrietentu berkepentingan dengan mesin kekuasaan itu,sama halnya Presiden berkepentingan dengan figur Aburizal Bakrie.
Sebagai Ketua Golkar, Bakrie adalah faktor dalam stabilitas politik.Presiden tentu memerlukannya, tetapi Bakrie juga adalah pengusaha besar. Ia tentu berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan strategis negara. Jadi, apakah sesungguhnya tali pengikat koalisi besar itu? Suatu strategi Indonesia sejahterakah? Atau semata-mata ia hanyalah manuver taktis yang dasarnya adalah tukar-tambah politik intra-elite yang sama-sama terlilitoleh kepentingan-kepentingan taktis jangka pendek? Politik Indonesia hari ini tidak ditentukan di parlemen, melainkan di dalam jaringan kartel bisnis-politik, yaitu jaringan yang dikuasai oligarki kepentingan jangka pendek, yang melihat politik semata-mata sebagai pasar gelap, tempat kekuasaan didagangkan di belakang hukum.Apa akibatnya pada kebijakan publik? Sangat memprihatinkan.
Namun, dari pengalaman kekecewaan dalam perjalanan Reformasi, kita tahu bahwa selalu ada burung phoenix yang bangkit dari abu puing-puing kehancuran.Pandangan P2D tidak mungkin dibantah,itu sudah kebenaran ilmiah. Akan tetapi kadang-kadang kita bisa mencuri kejernihan dari kerancuan. Kadang-kadang klub lemah bisa melancarkan serangan balik karena menemukan karakter dasarnya. Saatnya kita mencari tafsiran positif dari pengamatan kecil.
Pengangkatan Agus Martowardojo dan Anny Ratnawati sebagai menteridan wakil menteri keuangan disambut dengan pertanyaan, ”Bagaimana tanggapan Anda mengenai Agus Martowardojo dan Anny Ratnawati?” Karena saya kenal kedua orang itu, saya jawab, ”Baik karena dua orang itu mempunyai track record yang sangat baik.”Tidak mungkin sama dengan SMI karena setiap orang berbeda. Namun,jelas kualitas pejabat yang dipilih menunjukkan niat baik SBY.
Perginya SMI disertai pertanyaan mengenai sikap SBY yang tidak pernah akan terjawab. Namun, melihat ke depan, kita masih percaya bahwa Presiden tidak meninggalkan arah reformasinya. Andaikata SBY ingin mengubah arah reformasi, ia bisa memilih menteri keuangan yang lain.Ternyata pilihan Presiden adalah dua orang baik. Lebih penting di luar pentas pejabat, kita melihat perubahan pada media. Media baru seperti Twitter, Koprol, Facebook menjadi forum ekspresi independen.
Disitu lahir kelompok Kami Percaya Integritas SMI (KPI-SMI) yang membentuk opini publik di luar arah propaganda televisi milik politisi. Bahkan perubahan besar terjadi di Metro TV.Kita lihat, Metro TV dalam hari-hari terakhir ini mengambil garis yang sangat drastis berubah, terbalik total dengan dulu.Metro TV mengakui bahkan mengagungkan SMI dan menunjukkan pelanggaran pihak lawan. Gejala lain yang menarik
untuk diamati adalah dukungan yang muncul terhadap SMI setelah ia berhenti disertai terima kasih dan pujian Presiden secara absolut. Muncul suara-suara mendukung SMI,yang dulunya tidak bunyi kala SMI dicecar oleh DPR, difitnah dan dinyatakan bersalah oleh media mainstream.
Tidak kalah menarik, ada perubahan sikap dari orang yang sebelumnya menentang, sekarang mendukung dengan pasti. Semua ini menimbulkan harapan, karena perubahan arah mampu menggerakkan energi yang terpendam dalam diri tiap-tiap warga negara. Semakin besar kemungkinan satu harapan terwujud, semakin besar pula energi yang bangkit.
Kalau sudah bangkit semangat warga,ia akan mampu meng-gerakkan apa saja.Contoh adalah waktu Indonesia merdeka,waktu Sukarno ditumbangkan, waktu Suharto jatuh, dan waktu Reformasi dimulai tahun 1999. Salah satu ciri dari tobat masyarakat adalah banyaknya testimoni yang merindukan seorang reformis ketika ia mulai hilang dari masyarakat. Sejumlah ciri karakter menonjol pada SMI. Integritas, persistensi, fairness, kepemimpinan, keberanian.
Sifat-sifat yang sudah pudar dari kebanyakan elite Indonesia yang tenggelam dalam sifat pragmatis dan oportunis. SMI menciptakan harapan
karena ia hadir sebagai oposisi terhadap pengusaha korup yang menggunakan uangnya untuk membeli partai, pengaruh, dan perlindungan. Ini menumbuhkan kepekaan terhadap ketidakadilan berwujud dalam gerakan seperti KPI-ITB. Tokoh yang menjemukan tersaingi oleh Susy Rizky dan Benny Handoko, hanya dua nama dari sekian ratus ribu orang biasa yang menginginkan perbaikan tapi tidak mau menggunakan kerusuhan. Kehadiran SMI, dan kepergiannya, menjadi bahan kursus kilat dalam kedewasaan politik.
Jika sekarang muncul gerakan SMI for President 2014, ini adalah kerucut dari perasaan bahwa kita harus dan bisa berpegang pada suatu janji bersama bahwa hari depan ada di tangan warga biasa. Ini bukan cerita SMI.Ini adalah cerita warga biasa yang muak dengan manipulasi politisi dan media dan ingin bersuara nyata dalam membentuk hari depan.(IM)