“Kami mengharapkan Gubernur, para bupati, tokoh agama, tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar bisa menahan diri tidak mudah terprovokasi,” ujar Ronald. Ia meminta agar aparat mengusut kejadian di Ambon dan mengantisipasi kejadian serupa. Pihaknya juga mendesak agar presiden tetap menjaga kondisi Maluku yang damai dan aman.
Jika ditelisik lebih jauh, kerusuhan di Ambon yang sudah terjadi beberapa kali, semua akibat hasutan informasi berantai. Isu yang tidak berdasar fakta sengaja dihembuskan untuk menyulut emosi kelompok-kelompok yang kerap bertikai. Akibatnya, emosi tak terkendali membuat kekacauan di kota Ambon. Parahnya, persoalan kemudian dibelokkan ke masalah berbau SARA.
Awalnya pecah kerusuhan di Desa Siri Sori Islam, Desa Ullath, Siri Sori Amalatu dan Saparua pada tanggal 15 dan 16 Juli 1999. Peristiwa tersebut menyulut kerusuhan di seantero Kotamadya Ambon dan daerah-daerah pinggirannya. Akibatnya, beberapa rumah dan bangunan yang menjadi kantor pemerintah terbakar, dan puluhan korban meninggal dunia.
Seperti diletahui, Asia Tenggara dijadikab obyek pusaran konflik dunia pasca perang dunia II. Kawasan ini menjadi “target” perebutan pengaruh bagi kubu Komunis maupun Liberalis, yang ditandai dengan pembentukan pakta militer SEATO (South East Asia Treaty Organizations) oleh Amerika Serikat dan sekutu, dan upaya perluasan Pakta Warsawa Uni Soviet di Vietnam pasca kejatuhan Vietnam Selatan.
Dalam batas tertentu, konflik antar masyarakat mengalami ekskalasi pada momen-momen tertentu, seperti menjelang pemilihan umum, pemilihan eksekutif atau presiden dan menjelang/usai hari raya agama. Dalam momen poltik, konflik antar masyarakat seringkali dimanfaatkan oleh elit untuk melakukan bargaining dengan rival politiknya. Dalam saat momen keagamaan, konflik di masyarakat seringkali berkembang menjadi konflik SARA tingkat nasional.
Kerusuhan pecah di sejumlah kawasan di Ambon, Maluku, mulai Minggu 11 September 2011 pagi. Sejumlah kelompok massa saling lempar batu, memblokir jalan, bahkan saling membacok. Letusan tembakan juga terdengar.
Dihubungi lewat telepon, pada Minggu siang, seorang warga Ambon yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa kerusuhan terkonsentrasi di tiga titik utama yakni, depan kampus PGSD Universitas Pattimura, Tugu Trikora, dan Waringin.
Akibat kondisi tersebut, pusat-pusat bisnis lumpuh. Sejumlah toko memilih tutup seketika rusuh pecah. Sejumlah warga juga terlihat mengungsi.
Rumor yang berkembang, kerusuhan dipicu kematian seorang tukang ojek asal Gunung Nona, Kecamatan Nusaniwe, pada Sabtu 10 September 2011 malam. Warga yang enggan disebut namanya itu mengatakan bahwa kasus kematian tukang ojek di Gunung Nona hanya pemantik dari sejumlah kasus sensitif di Ambon yang telah terakumulasi. “Ini rembetan masalah saja,” ujarnya.
Polisi membenarkan ada kematian tukang ojek. Pemicu kerusuhan diduga pesan singkat berantai yang menyebut kematian si tukang ojek bernama Darfin Saimen ini karena dibunuh.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku, AKBP Johannes Huwae, membantah Darfin tewas dibunuh. Darfin meninggal karena kecelakaan lalu lintas setelah mengendalikan sepeda motor dengan kecepatan tinggi di Jalan Perumtel, Desa Keramat, Nusaniwe Ambon.
Juru Bicara Polri, Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam, mengatakan bahwa keluarga tak percaya Darfin tewas kecelakaan karena sepeda motornya tidak mengalami kerusakan parah. Namun, hasil autopsi menunjukkan Darmin mengalami kecelakaan murni. “Itu bisa dibuktikan dari hasil otopsi. Semua tidak ada tanda-tanda kekerasan,” katanya.
Simpang siur kematian warga Gunung Nona, Kecamatan Nusaniwe, itu rupanya menyulut emosi dua kelompok yang kerap bertikai. Kerusuhan pecah yang meluas ke sejumlah kawasan, termasuk jantung kota Ambon. “Ada dua kelompok lama. Ya kami tidak usah sebutkan,” kata Anton.
Sosiolog Universitas Indonesia yang juga berdarah Maluku, Tamrin Amal Tomagola, juga berpendapat kerusuhan sehari ini masih cara provokasi lama. “Selalu dilakukan di sekitar Idul Fitri,” kata Tamrin saat dihubungi VIVAnews.com, Senin 12 September 2011.
Ini mirip dengan kerusuhan yang meletup tahun 1999 lalu. “Saat itu, dimulai penyebaran isu, dulu lewat telepon umum,” kata dia. Saat ini, tambah dia, kondisi sudah terkendali. “Ini hanya di Kota Ambon, itupun tidak seluruhnya.”
Tamrin menduga, yang jadi sasaran provokasi adalah kelompok muslim. Namun, itu tidak terjadi. “Akar rumput tidak terprovokasi. Ada pemuda muslim terjebak di wilayah Kristen diantar pulang. Begitupun sebaliknya. Mereka sadar yang dulu diadu domba.”
Ia mengharapkan, masyarakat tidak mudah terpancing isu provokatif dan saling melindungi. Polisi juga diminta membenahi diri, tidak berbasis di kantor tapi di komunitas. Polisi seharusnya juga menekankan pencegahan dini dengan polisi komunitas dan penajaman intelijen poisi di lapangan. “Pendekatan kepolisian terlalu pendekatan TKP,” kata Tamrin.
Meski terlambat, polisi berhasil melacak asal pesan singkat atau SMS yang menyulut kerusuhan itu. “Nomor yang kirim SMS itu sudah terlacak,” kata Anton.
Tiga Orang Tewas
Namun, provokasi terlanjur menjadi kenyataan. Kerusuhan sehari itu membuat tiga orang meninggal dunia. “Satu orang (meninggal) di Rumah Sakit Alfatah dan dua orang di Rumah Sakit Umum,” kata Anton Bachrul Alam.