Penambahan kuota tangkapan bluefin tuna (tuna sirip biru) dengan operasi alat tangkap meningkat. Hal ini terbalik 180 derajat dengan capaian negara-negara anggota RFMO lainnya. Mereka mengalami penurunan kuota tangkapannya. Di sisi lain, KKP melihat perlunya pengurangan tangkapan, mengingat ada kelebihan 200 ton. Tangkapan surplus tersebut berasal dari kapal-kapal kecil yang tidak mendapat izin kegiatan penangkapan. “Terutama di wilayah perairan Bali. Satu ekor (tuna tangkapan) bisa dijual seharga (mobil Toyota) Innova (Rp 100 juta).Walaupun tidak dapat izin, tapi unexpected by catch.”
Melihat hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP merasa perlu untuk mendaftarkan perizinannya. Kapal-kapal kecil tersebut dengan kapasitas timpang dengan bobot ikan. “Tuna (tangkapan) bisa lebih besar daripada kapalnya.”
Konsekuensi kapal yang tidak terdaftar, ikan tangkapan dijual di pasar gelap. Sebagian nelayan juga sering menjual kepada pemilik kapal yang memiliki izin. Harganya yang diduga tinggi (mahal), tetapi menjadi rendah (murah). “Harganya bukan menjadi harga emas, tapi loyang.”
Upaya mendaftarkan kapal-kapal kecil tersebut juga terkait dengan penambahan/pengurangan kuota. Ada kemungkinan, kuota tangkapan kapal-kapal Indonesia menjadi nol. Selain itu, ada ketentuan si pemilik kapal dikenakan denda. Hal ini berlaku di negara-negara maju. Sementara Indonesia tidak menerapkan ketentuan pembayaran denda untuk kasus kapal-kapal kecil tersebut. “Sehingga ketika ada pertemuan di Adelaide (Australia), usulan Indonesia diterima. (Usulan) pengalihan ketentuan denda bagi kapal-kapal yang melakukan unexpected by catch.”