Hengky Suryawan dari Sukarelawan sampai Abdi Agama, Bisnis Kapal
dilaporkan: Setiawan Liu

Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno (1945–1967) dalam satu pidatonya sempat menggelorakan Ganyang Malaysia pada April 1964. Pada sidang Komando Operasi Tertinggi (KOTI) di Istana Merdeka, mengarah pada operasi pengamanan terhadap pelaksanaan program pemerintah pada umumnya, khususnya di bidang konfrontasi terhadap unsur-unsur kolonialisme, imperialisme. Segala manifestasinya serta pengamanan terhadap pelaksanaan program ekonomi yang melatarbelakangi gelora Ganyang Malaysia. Respons pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yakni dimulainya operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak sekitar tahun 1964. “Waktu ikut operasi, ada sekitar 10 orang Tionghoa asal Karimun menjadi sukarelawan. Ke-sepuluhnya (sukarelawan Tionghoa) semuanya dapat tanda kehormatan veteran. Tapi itu (operasi Dwikora) sudah berlangsung 56 tahun yang lalu. Sehingga, hanya tinggal 1-2 orang Veteran (yang masih hidup). Mereka (delapan veteran yang sudah meninggal) lebih tua daripada saya,” kata Hengky.
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Suasana operasi Dwikora, gerilya di perbatasan Malaysia sampai dengan penyusupan senjata dan bahan makanan, para anggota TNI bersatu padu untuk mengalahkan lawan. Pada saat itu, pamor TNI AL sangat dikenal karena kemampuan renang, selam saat penyusupan. Hengky bersama sukarelawan membawa logistik melewati laut, menyusupkan ke Singapura. Di tengah laut, TNI AL menjemputnya. Sehingga ia tidak sampai mendarat. “Kami kan hanya tukang bawa (bahan makanan). Kalau komandan TNI AL perintah kami ke kiri, kami (bergerak) ke kiri, perintah ke kanan, kami gerak ke kanan. Kami bawa logistik untuk tentara dengan kapal kecil, namanya tekong. Istilah ‘tekong’ sama dengan ‘tekong TKI/tenaga kerja Indonesia’ yang berasal dari bahasa Melayu. Kami mengabdi sampai konfrontasi dengan Malaysia selesai. Postur tubuh saya tidak terlalu kecil juga, berat sekitar 50 kg, dan berusia sekitar 18 tahun. Fisik saya bukan sama sekali hambatan untuk menjadi sukarelawan,” kenang Hengky.
56 – 57 tahun berlalu, menjadi sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan tidak resmi selama operasi) tinggal kenangan dan sejak itu ia menggeluti dunia wirausaha khususnya perkapalan. Hengky sangat dikenal sebagai pengusaha perkapalan, tambang, hingga galangan kapal. Ia pertama kali membeli kapal tahun 1971, dari uang hasil kerja sendiri. Kondisi keluarganya pada saat itu bukan dari orang berada. Ia lahir dari seorang ibu dengan suami nelayan. Hidupnya penuh kerja keras dan perjuangan. Selama kurang lebih 50 tahun, ia membangun usaha galangan kapal dan pelayaran di Kepri dan sudah mengalihkan kepada anak-anaknya.
“Saya menyerahkan urusan kapal kepada anak-anak, (proses) penjualan, pembelian sampai tender ditangani mereka. (pengalihan) sudah lama. Kalau kami tidak lepas (operasional perusahaan) dari sekarang, kapan lagi?. saya lepas pelan-pelan. Karena sebagai orang tua, (tetap) menjadi pemegang saham terbesar,” kata ketua Persatuan Umat Budha Indonesia (Permabudhi) Provinsi Kepri.
Ketentuan orang tua yang notabene dirinya, setelah merintis usahanya selama 50 tahun, ia menilai adakalanya gejolak internal perusahaan. Sehingga ketentuan pemegang saham mayoritas, yakni di atas 51 persen tetap berlaku untuk menjaga kelangsungan usahanya. “Kita tidak boleh lepas full, tapi 51 persen (saham perusahaan) ada pada saya sebagai orang tua. Saya bersyukur, anak-anak saya tidak hidup mewah dan sombong. Mereka tidak mau beli mobil mewah,” kata penggemar olahraga golf.
Selain falsafah keluarga, kewarganegaraan, ia juga mencurahkan waktunya untuk agama, khususnya agama Buddha. Dalam menjalani kehidupan, ada berbagai kesempatan untuk berbuat baik. Adakalanya, seseorang mengabdi untuk Bangsa, Negara, Agama pada tataran yang sama. “Saya membangun Wihara di Tanjungpinang, dan rutin memeriksa (proses pembangunan). Saya juga rutin pergi ke Tibet bersama Guru saya. Tapi karena sekarang masih pandemi covid, kami tidak bisa,” kata Hengky.

Kegiatan sosial lainnya, ia sering memenuhi undangan beberapa perguruan tinggi atau universitas. Selain mengenai kewirausahaan, bisnis, ia juga sering menjadi pembicara untuk mahasiswa jurusan teknik perkapalan, teknologi pangan dan kemaritiman. “Kalau diundang, saya paling senang saat sesi tanya jawab. Biasanya, (seminar) berlangsung dua jam. Suasananya hidup, artinya interaksi mahasiswa dengan pembicara berlangsung intens. Selama presentasi, saya tidak pernah bikin slide (presentasi) banyak-banyak. Saya tidak mau dibayar. Ketika saya diminta menjadi penasehat pak Ismeth Abdullah (Gubernur Kepri Pertama periode 2006 – 2010), saya juga nggak dibayar,” kata Hengky. (sl/IM)















