Surabaya,
Luapan lumpur Lapindo sudah lima tahun berselang sejak 29 Mei 2006, namun cerita penderitaan korban lumpur belum juga berakhir.
Misalnya, kisah yang dialami Sunami dan suaminya Rohman. Mereka sudah mendapatkan ganti rugi 20 persen, dan kemudian mengontrak di wilayah Gempol yang tak jauh dari luapan lumpur itu.
“Saya hanya terima ganti rugi 20 persen dan uangnya habis untuk suami saya berobat karena sakit, bahkan suami akhirnya meninggal dunia,” ucapnya kepada wartawan di Sidoarjo (24/5).
Namun, ia masih sempat menyisakan uang untuk membuka warung di pinggir jalan. “Sekarang, saya hidup dengan anak semata wayang. Anak laki-laki saya sekarang menjadi tukang kebun di sekolah,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia mengeluhkan rendahnya komitmen pemerintah dalam memperjuangkan nasibnya yang tidak maksimal dalam kurun lima tahun terakhir, padahal pemerintah tinggal “memaksa” Lapindo.
“Pemerintah seharusnya tegas kepada Lapindo untuk memberi ganti rugi kepada orang seperti saya secara sepenuhnya, bukan dengan dicicil, karena sisanya yang jumlah lebih besar itu juga tidak jelas,” katanya.
Masalahnya, penderitaan Sunami itu “berbeda” dengan janji pengusaha nasional dari Kelompok Usaha Bakrie, Aburizal Bakrie (Ical), yang merupakan pemilik PT Lapindo Brantas sebagai salah satu anak perusahaannya.
“Kalau mengikuti ketetapan hukum, saya tidak bersalah, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu korban tanpa melihat apakah saya benar atau salah,” kata Ical saat dialog pada kuliah umum tamu di Aula Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, 27 April 2011.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Golkar itu, lumpur di Porong, Sidoarjo itu merupakan masalah “debatable” (masalah yang diperdebatkan) tentang siapa yang bersalah, karena itu pihaknya mempercayakan masalah pada jalur hukum.
“Tapi, kita tidak menunggu proses hukum, maka kita memikirkan bagaimana upaya untuk menolong orang-orang yang susah, karena itu saya pun membeli tanah dengan harga 10-20 kali lipat dari NJOP, sehingga ada tanah yang harganya mencapai Rp65 miliar, tapi harga rata-rata Rp2 miliar,” ujarnya.
Hingga kini, mantan Menko Kesra dan Menko Perekonomian itu mengaku pihaknya sudah menghabiskan dana sebesar Rp8 triliun dari kantong pribadi untuk pembayaran ganti rugi itu, karena perusahaan (PT Lapindo Brantas) memang tidak mampu membayar, sedangkan kemampuan perusahaan hanya Rp100 miliar.
“Kalau dinyatakan pailit, maka urusan akan selesai, apalagi Mahkamah Agung sudah memutuskan bahwa luapan lumpur itu merupakan bencana alam, tapi ibu saya berpesan agar saya membantu mereka tanpa melihat siapa yang benar,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, dirinya pun mengeluarkan uang dari kantong pribadi. “Ada 11.923 keluarga yang setuju dengan ganti rugi dan hanya 700 keluarga yang belum setuju. Dari jumlah itu, pembayaran ganti rugi masih kurang Rp1,1 triliun,” katanya.
Ia mengatakan ganti rugi yang tersisa itu akan diselesaikan pada tahun ini sebesar Rp400 miliar dan tahun depan (2012) sebesar Rp700 miliar. “Insya-Allah, tahun depan sudah terselesaikan. Semuanya saya lakukan dari kantong pribadi atas perintah ibu,” katanya.
Tentang adanya 45 RT (rukun tetangga) di luar peta terdampak yang meminta ganti rugi dari pemerintah dan tidak dipenuhi, ia menyatakan ganti rugi untuk kawasan di luar peta terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Tapi, saya tahu pemerintah tidak mau membeli tanah dengan harga 20 kali lipat dari NJOP, karena mereka takut ditangkap KPK. Untuk itu, saya kira pemerintah harus meyakinkan KPK bahwa ganti rugi hingga 20 kali lipat dari NJOP itu untuk membantu rakyat,” katanya.
Dana talangan
Perbedaan pernyataan Ical dan Sunami agaknya menimbulkan pertanyaan tentang penderitaan Sunami yang tidak “klop” dengan janji Ical yang merasa sudah membereskan ganti rugi untuk 11.923 keluarga dan hanya 700 keluarga yang belum setuju pembayaran ganti rugi.
Apalagi, Ical berjanji ganti rugi yang hanya kurang Rp1,1 triliun dan tahun ini (2011) akan dibayarkan sebesar Rp400 miliar dan tahun depan (2012) sebesar Rp700 miliar.
Apakah Sunami tergolong korban yang akan diselesaikan tahun ini (2011) atau tahun depan
PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang selama ini bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo mencatat pembayaran ganti rugi cicilan 20 persen sampai Mei 2011 sudah mencapai 13.146 berkas dengan nilai nominal Rp725 miliar.
Untuk pembayaran ganti rugi cicilan 80 persen telah mencapai 12.967 berkas dengan nilai nominal Rp2 triliun dengan 8.433 dari 12.967 berkas itu sudah dibayar lunas (71,19 persen lunas).
Selain itu, MLJ mencatat masih ada 80 berkas permohonan ganti rugi yang belum diproses sama sekali hingga Mei 2011, karena berbagai alasan, di antaranya belum ada titik temu harga dan belum ada kelengkapan dokumen.
Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BP BPLS) melaporkan 62 dari 80 berkas masih belum ada titik temu antara pemilik lahan yang mematok harga Rp1 juta per meter persegi dan MLJ bersikeras ingin membayar sesuai harga tanah sawah senilai Rp120 ribu per meter persegi, sesuai dengan fakta penggunaan lahan.
Lima berkas belum dapat dituntaskan proses verifikasinya karena pemilik tanah belum melengkapi persyaratan untuk pengesahan ikatan jual beli, sedangkan tiga berkas lainnya belum bisa diproses karena menjalani proses hukum di kepolisian.
Fakta lain juga ada yakni pemerintah terpaksa menalangi dana ganti rugi senilai Rp1,4 triliun untuk penyelesaian ganti rugi bagi warga pada empat desa tahap pertama (Siring, Kedung Bendo, Jatirejo, dan Reno Kenongo).
“Dari dana talangan Rp1,4 triliun itu, Rp452 miliar dibayarkan pada bulan Mei 2011 dan sisanya senilai Rp900 miliar akan tuntas dibayarkan pada bulan Mei 2012,” kata Gubernur Jatim Soekarwo.
Jadi, ganti rugi yang masih kurang Rp1,1 triliun (menurut Ical) atau Rp1,4 triliun (menurut Gubernur Soekarwo) yang akan dibayarkan pada Mei 2011 dan Mei 2012 merupakan dana talangan atau kantong pribadi?
Dana talangan itu diakui Wakil Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Mundzir Dwi Ilmiawan.
“Dari tunggakan sebesar Rp1,1 triliun itu, sekitar Rp400 miliar di antaranya harus dilunasi MLJ paling lambat 29 Mei 2011, sedang sisanya senilai Rp700 miliar dapat dilakukan hingga akhir Mei 2012,” katanya (26/4).
Menurut Bendahara DPC PDIP Sidoarjo itu, nominal itu merupakan acuan Pansus untuk melihat keseriusan MLJ dalam menyelesaikan kewajibannya kepada warga, apalagi masih ada 28,81 persen korban lumpur yang tidak jelas nasibnya (71,19 persen korban lumpur terselesaikan).
“Kalau Rp400 miliar tidak dilunasi, maka kami meminta kepada pemerintah pusat agar tanggungan MLJ di-’take over’ (ambil alih) pemerintah, lalu pemerintah yang akan menagih kepada MLJ,” katanya.
Agaknya, lima tahun (2006-2011) belum cukup untuk menuntaskan ganti rugi bagi korban lumpur, seperti Sunami yang ditinggal suaminya “menghadap” Sang Khalik, bahkan nasib nahas mereka “sepanjang” luapan lumpur yang belum diketahui akhirnya, kendati pemerintah dapat saja membantu mereka dengan dana talangan