Presiden Joko Widodo kembali menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam aturan ini, pemerintah memutuskan menaikkan iuran untuk kelas I dan II, sementara iuran kelas III akan naik pada 2021.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir pada 2 Januari 2020.
Dalam Pasal 34 di Perpres yang baru diterbitkan Jokowi, iuran BPJS Kesehatan kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta BP. Sementara iuran BPJS Kesehatan kelas II sebesar Rp100.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP.
Sedangkan, iuran untuk kelas III untuk tahun ini sebesar Rp25.500 per orang per bulan dibayar oleh peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta BP. Sementara untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35.000.
“Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020,” bunyi Pasal 34 ayat 6.
Dengan demikian, untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP kelas I sebesar Rp160.000, kelas II sebesar Rp110.000, dan kelas III sebesar Rp42.000. Sementara untuk April, Mei, dan Juni 2020, kelas I sebesar Rp80.000, kelas II sebesar Rp51.000, dan kelas III sebesar Rp25.500.
“Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh Peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran Iuran dengan pembayaran iuran bulan berikutnya,” bunyi Pasal 34 ayat 9.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah juga menaikkan denda yang dikenakan apabila penerima manfaat terlambat melakukan pembayaran. Tahun ini denda dikenakan sebesar 2,5 persen dari total tunggakan, sementara tahun depan naik menjadi 5 persen.
“Ada hal lain yang memberatkan peserta, salah satunya adalah denda naik menjadi 5 persen di 2021, yang awalnya 2,5 persen,” ujar Timboel saat berbincang dengan merdeka.com.
Keputusan pemerintah ini pun kembali menuai polemik di masyarakat. Berikut merdeka.com akan merangkum sejumlah pro dan kontranya.
1. BPJS Kesehatan: Iuran Naik Agar Pembiayaan Berjalan dengan Baik
Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, pemerintah telah menerbitkan kebijakan baru yang mengatur besaran iuran JKN-KIS yang baru. Langkah ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan putusan Mahkamah Agung.
“Perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI, khususnya dari para Anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III,” ujar Iqbal kepada merdeka.com, Jakarta, Rabu (13/5).
Iqbal mengatakan, dalam masa pandemi Virus Corona saat ini pihaknya berpikir positif pembayaran iuran akan tetap berjalan dengan baik. Sebab, kenaikan iuran tersebut merupakan salah satu upaya untuk menjaga agar pembiayaan JKN-KIS bisa berjalan dengan baik.
“(Pembayaran akan lancar di tengah pandemi Virus Corona?) Kita berpikir positif saja. Bahwa ini bagian dari solusi untuk mengatur supaya pembiayaan JKN-KIS bisa berjalan dengan lebih baik. Kepesertaan JKN kan tak cuma mandiri,” paparnya.
2. Kenaikan Iuran Demi Operasional BPJS Terus Berjalan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasan pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Menurutnya, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.
“Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan,” jelas Airlangga dalam video conference usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Rabu (13/5).
Meski iuran dinaikkan, Airlangga memastikan pemerintah tetap memberikan subsidi. Dia mengatakan subsidi dan iuran tetap diperlukan agar operasional BPJS Kesehatan dapat terus berjalan.
“Nah ini yang tetap diberikan subsidi. Sedangkan yang lain tentu menjadi iuran yang diharapkan bisa menjalankan keberlanjutan daripada operasi BPJS Kesehatan,” tutur dia.
3. Langkah Alternatif Tambal Defisit Tanpa Iuran Naik
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, seharusnya iuran BPJS Kesehatan tak perlu naik apalagi di masa pandemi Virus Corona saat ini. Menurutnya, BPJS seharusnya bisa menutup beban tahun ini dengan iuran lama bahkan bisa memperoleh surplus.
“Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan,” ujarnya kepada Merdeka.com, Jakarta.
Dalam perhitungannya, BPJS tahun ini bisa surplus apabila disiplin dalam melakukan berbagai tindakan antisipasi pembengkakan tagihan. Dari sisi beban biaya, tahun lalu beban biaya mencapai Rp 108 triliun.
“Kalau pun naik 10 persen di 2020 maka beban biaya jadi Rp118,8 Triliun. Ditambah utang BPJS ke rumah sakit-rumah sakit di 2019 yaitu Rp15 Triliun. Jadi total Rp133,3 Triliun. Ini ditambah biaya operasional BPJS Kesehatan sekitar Rp5 Triliun,” jelasnya.
Dari analisa biaya tersebut, dia melanjutkan, seharusnya BPJS Kesehatan bisa surplus di 2020 sebesar Rp1,7 Triliun. Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di rumah sakit dan mengawasi puskesmas serta klinik yang suka merujuk pasien ke rumah sakit sehingga biaya muncul di rumah sakit.
“Belum lagi kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yg satu bulan nilainya Rp3,4 Triliun. Bila Pemerintah menerapkan PP 86 tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik maka utang iuran bisa didapat lebih besar sehingga menjadi pendapatan riil BPJS Kesehatan,” paparnya.
Timboel melanjutkan, langkah lain yang harus diambil adalah melakukan cleansing data PBI (Penerima Bantuan Iuran). Sebab, selama ini banyak kerancuan kepesertaan yang membuat peserta di kelas 1 dan 2 banyak yang masuk ke kelas 3 agar mendapat iuran yang lebih murah.
“Bila memang penghuni kelas 3 mandiri miskin ya masukkan saja ke PBI, sementara yang mampu, bayar sendiri tanpa subsidi. Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Pepres Nomor 64 ini. Kalau Pemerintah mau seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perppu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tersebut,” tandasnya.
4. Layanan BPJS Kesehatan Dinilai Menurun Saat Corona
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kualitas layanan BPJS Kesehatan justru menurun di tengah pandemi Virus Corona. Hal tersebut terlihat dari banyaknya keluhan masyarakat.
“Kalau bicara pelayanan BPJS, di era Covid-19 ini justru pelayanan BPJS malah cenderung menurun,” ujar Timboel kepada merdeka.com, Jakarta.
Timboel mencontohkan, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test Covid-19, dan pasien diminta bayar Rp750.000 untuk test Covid-19 tersebut. Padahal dengan sangat jelas di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 disebutkan pasien JKN tidak boleh diminta tambahan biaya lagi.
“Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp750.000 jadi pulang, yang seharusnya dirawat di rumah sakit. Si pasien meninggal di rumah. Masih banyak kasus lainnya yang tidak bisa jabarkan satu per satu,” jelasnya.
Dia menambahkan, rencana kenaikan Iuran BPJS Kesehatan menambah beban pikiran masyarakat di tengah layanan yang kurang optimal bersamaan dengan pandemi Virus Corona. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan seluruh elemen masyarakat merasakan dampak penyebaran Virus Corona.
“Dalam kondisi pandemi seperti ini kan sudah sangat jelas dan kasat mata kalau daya beli masyarakat termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal sulit bekerja seperti biasa karena Covid-19 ini,” tandasnya.
5. Kenaikan Iuran Tak Tepat Saat Masih Ada Corona
Pengamat ekonomi sekaligus dosen Perbanas, Piter Abdullah menilai, kenaikan iuran ini tidak tepat karena saat ini masyarakat tengah dihadapkan pada masalah akibat virus corona.
“Memang disayangkan kebijakan ini diambil pemerintah di tengah kegalauan masyarakat akibat wabah covid-19. Tidak tepat waktunya,” tegas dia kepada Merdeka.com.
Dia menjelaskan, kebijakan pemerintah terkait kenaikan iuran ini menjadi tidak jelas arahnya. Sebab, di satu sisi langkah ini untuk membantu peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, namun di sisi lain justru menambah beban ekonomi masyarakat yang tengah sulit akibat wabah corona.
Selain itu, keputusan pemerintah ini diambil untuk mencoba peruntungan pasca Mahkamah Agung (MA) menggugurkan kenaikan iuran bpjs pada Maret 2020 lalu. Sehingga, pada tahun 2021, akan diterapkan perbaikan secara menyeluruh dari ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN.
Meski begitu, peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) serta Bukan Pekerja (BP) kelas I dan II bisa pindah kelas. Sebab, iuran yang naik hanya untuk PBPU dan BP. “Namun mereka bisa pindah kelas. Jadi kalau mereka keberatan mereka bisa pindah kelas,” tandasnya.( Mdk / IM )