
Pertama, tentu untuk mengakui KESALAHAN apa yang diperjuangkan selama hidupnyanya itu, diperlukan satu keberanian yang cukup besar. Dan dia belum ada keberanian itu. Kedua, ada kekuatan yang cukup besar, entah jenderal siapa yang berkeras membenarkan dijalankannya konsep asimilasi selama 32 tahun Soeharto berkuasa itu. Jadi bagaimanapun juga tidak boleh/bisa dikatakan salah, apalagi oleh konseptornya!
Lha, LPKB dalam perkembangkan lebih lanjut, juga terjadi perpecahkan dengan pemikiran Junus Jahya yang lebih radikal dan ektrim, menghendaki asmilasi-total, ganti Agama, menjadi Islam. Bahkan kalau kita perhatikan, dalam masalah ganti-nama saja diantara gembong LPKB juga tidak bisa konsekwen, harus ganti-nama untuk menghilangkan yang berbau TIonghoa. Bukankah seperti Ong Hok Ham masih tetap pertahankan nama aslinya, hanya dijadikan satu menjadi Onghokham saja.
Jadi, memang masalah menggunakan nama apa, kawin dengan siapa dan percaya pada Agama apa saja, itu diserahkan saja pada masing-masing orang. Sepenuhnya masalah pribadi seseorang yang tidak harus direcoki oleh satu organisasi apalagi dijadikan ketentuan/kebijaksanaan Pemerintah, harus begini atau begitu. Tidak seharusnya dianjur-anjurkan orang harus ganti-nama, harus kawin silang lalau ganti-Agama mayoritas dan menjadi lebih konyol, diembel-embeli sebagai pernyataan KESETIAAN pada RI, menunjukkan jiwa nasionalis, patriotis seseorang. Sungguh edaan! Seolah-olah kalau tidak ganti-nama, kalau tidak laksanakan kawin silang kalau tidak menjadi Islam, seseorang menjadi tidak SETIA pada RI, tidak nasionalis dan tidak patriotik. Padahal jelas jemelas, berapa banyak Tionghoa telah ikut dalam perjuangan kemerdekaan dan mengorbankan jiwanya, dan, … jelas mereka tetap gunakan nama asli-Tionghoa, tidak ganti-nama! Sebaliknya, di masa pembangunan Soeharto setelah laksanakan konsep asimilasi, kita juga bisa melihat begitu banyaknya pencoleng kekayaan negara, ternyata tidak hanya orang Tionghoa yang sudah ganti-nama tapi juga pejabat-pejabat tinggi yang dikatakan pribumi itu! Karena SETIA pada RI, jiwa nasionalisme dan patriotisme hanya ditentukan oleh tindakan, langkah konkrit orang itu, sekali-kali tidak ditentukan oleh nama yang disandang!
Itulaah perjalanan sejarah bangsa ini yang jelas terlihat bagi setiap orang yang berani dan mau melihat kenyataan yang terjadi. Dan saya percaya, bagi konseptor Asimilasi, tokoh-tokoh LPKB yang jujur juga akan menyadari sendiri apa dan dimana kesalahannya, cepat atau lambat. Sekalipun mereka belum berani dengan jelas mengakui kesalahan, juga tidak perlu dimusuhi terus setelah mereka menyadari langkah kedepan lebih baik berpegang pada BHINEKA TUNGGAL IKA, pluralisme atau multikulturalisme saja. Dengan demikian, kita sudah bisa melangkah bersama. Artinya memperbolehkan setiap orang pertahankan adat-istiadat Tionghoa, Arab, Batak, Menado, Sunda, … untuk hidup harmonis dalam masyarakat majemuk di Nusantara ini, bersama-sama, bergotong-royong membangun masyarakat adil dan makmur. Jadi tidak lagi bertahan pada konsep asimilasi yang perlu menganjurkan orang menghilangkan ke-Tionghoa-an yang ada untuk bisa bersatu dengan Bangsa ini.















