Menjawab pertanyaan Sdr. Dharma Hutauruk (dharma.hutauruk @gmail.com) tgl 6 Februari 2010 yg di cc kepada saya, mengenai istilah “Cina dan China”, izinkan saya jelaskan hal-hal sbb :
1. Dalam teks pidato pengukuhan sebagai Guru Besar, tgl 15 Oktober 2008 hal. 2, Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami, pada catatan kaki ada dijelaskan bahwa kata “Cina” (Inggris : “China”), (Belanda : China/Chinees), (Jerman : Chinesische), (Perancis : Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “Daerah yang sangat jauh”.
Kata “China” sudah berada di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 th sebelum Masehi.
2. Menurut Prof. Wang Gungwu (dalam sebuah konferensi satu dua tahun
yang lalu, yang saya hadir) pernah menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa sendiri tidak mengenal apalagi menggunakan istilah “Cina/China”.
3. Istilah “Cina” atau yang mirip dengan itu di bawa/diperkenalkan oleh Bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke 17.
4. Mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah itu tanpa konotasi buruk.
Tetapi dengan makin “berhasilnya” pengetrapan politik “Devide et Impera” oleh kolonialisme Belanda, hubungan Tionghoa-penduduk setempat yang dulunya selalu baik, berangsur-angsur memburuk. Dalam sentimen yg emosional, istilah “Cina” sering diucapkan dengan “Aksen” yang penuh rasa kebencian.

6. Pada masa sengit-sengitnya PERANG DINGIN, setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September, dalam seminar ke II AD di Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966 diusulkan mengganti sebutan Tionghoa menjadi “Cina” dengan alasan “Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar dan dalam negeri terhadap sebutan
Hal ini kemudian dituangkan kedalam surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967.
Menurut sumber intern yang mengetahui, sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan ke Negara RRT dan orang-orang Tionghoa Asing. Sedang untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan keturunan Tionghoa itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Tapi karena tingginya emosi/sentimen setelah G30S, menggunakan istilah “Cina” meluber dan membanjiri kesemua orang-orang, termasuk WNI keturunan Tionghoa.
7. Menarik untuk dicatat/diketahui, bahwa dalam buku “KESATRIA BANGSA : Perjalanan Hati dan Karir Seorang Prajurit Laut” tulisan Laksamana Madya SUMITRO hal. 135 ada catatan sebagai berikut :
“Bukankah merupakan perintah Allah SWT pula bahwa janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka lebih baik, dan jangan pula kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk…… (Al Quran surat Al-Hujuurat-11). Sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu pun 
Dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas, dan dengan menyadari dan harus diakui banyak orang yang kini tanpa bermaksud buruk menggunakan istilah “Cina”. tidaklah perlu untuk kita pertentangkan, akan tetapi atas surat edaran Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 
Bagaimana selanjutnya kebijakan masyarakat dalam penggunaan istilah-istilah itu. Tidaklah perlu kita pertentangkan; terserah kepada pengertian dan itikad baik masing-masing pihak dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas.
Sekian, semoga bisa ada manfaatnya.
Eddie Lembong – Yayasan NABIL (Nation Building)
















