Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia (Bagian 1 dari 5)
Oleh : Benny G.Setiono
Peristiwa 13-14 Mei 1998 yang
telah meluluh-lantakkan ribuan ruko, toko, rumah tinggal, pusat
pertokoan, bengkel, apartemen, supermarket, kendaraan bermotor
baik roda empat maupun roda dua, bahkan juga perkosaan terhadap
perempuan-perempuan Tionghoa di Jakarta dan Solo merupakan
puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis Tionghoa di
Indonesia.
Selama pemerintahan rejim
Orde Baru secara terus-menerus terjadi kerusuhan anarkis anti
Tionghoa, namun kerusuhan Mei adalah puncak dari aksi kerusuhan
tersebut. Banyak orang sebelumnya berpendapat bahwa kerusuhan
anti Tionghoa tidak mungkin terjadi di Jakarta, tetapi ternyata
menjelang keruntuhan rejim Orde Baru, puncak kerusuhan tersebut
justeru dibiarkan berlangsung aparat keamanan di ibukota.
Dengan kasat mata seluruh dunia dapat menyaksikan bagaimana
kerusuhan yang berlangsung selama dua hari penuh, dibiarkan
aparat keamanan tanpa melakukan suatu tindakan apapun. Jadi
terbukti apa yang selama ini dikuatirkan, etnis Tionghoa memang
dijadikan bumper dan tumbal keruntuhan rejim Orde Baru pimpinan
Presiden Soeharto.
Sungguh menyedihkan sekali
melihat etnis Tionghoa demikian tidak berdaya menghadapi segala
penindasan terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan hanya
menyelamatkan diri untuk sementara waktu ke luar negeri, atau ke
Bali dan Kalimantan Barat bagi mereka yang masih mempunyai uang,
bagi yang tidak mempunyai uang sudah tentu hanya bisa pasrah
atas semua kekerasan dan penderitaan yang menimpa dirinya
tersebut.
Etnis Tionghoa yang semasa
pemerintahan rejim Orde Baru tampak seolah-olah demikian
“gagahnya” ternyata hanya dalam waktu sekejap dapat dibuat
tidak berdaya. Ini yang tidak pernah disadari oleh kebanyakan
etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka selama ini terlampau
dinina-bobokan, seolah-olah rejim Orde Baru adalah adalah
segala-galanya, yang memberikan kemakmuran dan keamanan atas
dirinya. Mereka selalu berusaha menghindari wilayah politik,
seolah-olah politik adalah sesuatu yang sangat menakutkan.
Mereka tidak menyadari bahwa tanpa turut bermain di wilayah
politik, sebesar apapun kekuatan mereka di bidang ekonomi akan
dengan mudah dibuat tidak berdaya. Memang oleh rejim Orde Baru
peluang etnis Tionghoa untuk terjun ke wilayah politik sangat
dibatasi, terutama dengan melekatkan stigma “Baperki” yang
hasilnya terbukti sungguh-sungguh sangat ampuh. Sebaliknya
segelintir etnis Tionghoa “dirayu” agar mau menjadi kroni dalam
melakukan KKN yang sangat menyengsarakan rakyat, yang akibatnya
kita tanggung sampai saat ini.
Sebagai perantau yang mencari
kehidupan baru di Indonesia, selama ratusan tahun etnis Tionghoa
selalu menjadi pelengkap penderita, walaupun kedatangan etnis
Tionghoa di negara-negara yang menjadi pilihannya semata-mata
bertujuan mencari kehidupan baru atau memajukan perdagangan
tanpa sedikitpun melakukan kekerasan, apalagi dengan
tujuan-tujuan untuk menjajah seperti yang dilakukan
bangsa-bangsa kulit putih.
Dari sejarah kita
memperlajari bahwa jauh sebelum kedatangan orang kulit putih,
telah berdiri pemukiman-pemukiman etnis Tionghoa di sepanjang
pesisir utara pulau Jawa. Demikian juga di Sumatera Selatan (sekitar
Palembang) dan pantai barat Kalimantan (sekitar Singkawang dan
Pontianak). Mereka hidup damai dengan penduduk setempat dan
mengajarkan cara-cara bercocok tanam dan pertukangan yang sudah
tentu sangat membantu penduduk setempat. Di samping melakukan
pengumpulan hasil-hasil pertanian mereka juga melakukan
perdagangan eceran, pertukangan, industri kecil seperti industri
tahu, gula, alcohol dsbnya. Mereka juga turut menyebarkan agama
Islam di sepanjang pesisir pulau Jawa, yang dapat kita buktikan
apabila kita mengunjungi mesjid-mesjid dan makam-makam para
Walisongo.[1]
Namun kedatangan orang kulit
putih terutama Belanda yang mempunyai niat untuk menguasai
kepulauan Nusantara merusak hubungan baik etnis Tionghoa dengan
penduduk setempat terutama dengan etnis Jawa.
Pada awalnya orang-orang
Belanda menggunakan etnis Tionghoa untuk membantu membangun kota
Batavia. Ketika pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen diangkat
menjadi Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda dan bermaksud
memindahkan kantor dagangnya dari Maluku ke Jayakarta, ia merayu
Souw Beng Kong pemimpin komunitas Tionghoa di Banten untuk
memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Jayakarta
yang kemudian diubah namanya menjadi Batavia. Kepada bawahannya
Coen berkata : “Siapa pun yang berniat membangun dan memperluas
pengaruh Belanda harus bekerja- sama dengan orang-orang Tionghoa,
karena mereka bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja“. Dalam
laporannya kepada Heeren XVII di Belanda ia menyatakan : “ Tak
seorang pun di dunia yang mengabdi kepada kita dengan lebih
baik selain orang Tionghoa, terlampau banyak dari mereka yang
tidak dapat dibawa ke Batavia “.[2]
Sebagai balas jasa, Souw Beng
Kong diberi pangkat Kapitan Tionghoa ( Kapitein der Chinezen)
yang pertama di Hindia Belanda. Inilah untuk pertama kali
seorang tokoh etnis Tionghoa berhasil dirayu Belanda untuk
bekerja sama dengan mereka dan memisahkannya dengan penduduk
setempat.
Dengan pangkat tituler
tersebut Souw Beng Kong ditugaskan untuk mengatur dan
mengendalikan komunitas Tionghoa di Batavia agar patuh kepada
setiap peraturan yang dibuat VOC. Coen segera memerintahkan agar
Souw Beng Kong membangun kota dan memajukan perdagangan Batavia
dengan mengalihkan jung-jung dari Tiongkok untuk merapat di
bandar Batavia. Ia melakukan monopoli perdagangan dengan
memblokade pelabuhan Banten dan melarang pedagang Tionghoa
memasuki Banten. Akibatnya pelabuhan Banten menjadi sepi dan
hubungan etnis Tionghoa dengan Sultan Banten menjadi renggang
dan kurang harmonis.
Pada masa pemerintahannya di
samping membujuk dan mengusahakan pindahnya etnis Tionghoa dari
Banten, Coen banyak mendatangkan tenaga dari daratan Tiongkok
untuk dijadikan kuli, tukang dan pedagang eceran demi memajukan
koloni dan perdagangannya. Pelaut Belanda tidak segan-segan
merompaki jung-jung Tionghoa secara terang-terangan dan menahan
awak kapalnya untuk bekerja di Batavia. Pad tahun 1622
kapal-kapal Belanda menculik pria, wanita dan anak-anak di
pantai Tiongkok Selatan dan menyiksa para tawanan tersebut
dengan sangat kejam di kepulauan Pescadores. Banyak yang
meninggal sebelum tiba di Batavia dan kalau ingin bebas mereka
harus bekerja keras terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang
tebusan.
Pada masa inilah terjadi
gelombang kedatangan etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa
yang pada umumnya berasal dari provinsi Fujian. Jumlah etnis
Tionghoa naik dengan pesat, dari 3.101 orang pada tahun 1682
menjadi 10.574 orang pada tahun 1739.[3] Pada tahun 1740
terdapat 2.500 rumah etnis Tionghoa di dalam tembok kota
Batavia, sedangkan seluruh jumlah etnis Tionghoa termasuk yang
berada di luar tembok kota diperkirakan berjumlah tidak kurang
dari 15.000 orang. Jumlah tersebut merupakan 17 % dari
keseluruhan jumlah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan
jumlah etnis Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar, karena
berdasarkan sensus tahun 1778, 26 % jumlah penduduk yang berada
di luar tembok kota adalah etnis Tionghoa. Sedangkan pada masa
pemerintahan Inggris (1811-1816) jumlah etnis Tionghoa merupakan
24 % dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di
luar tembok kota.
Mereka pada umumnya bekerja
di perkebunan-perkebunan tebu atau pabrik gula dan
perusahaan-perusahaan perkayuan yang diusahakan orang-orang
Tionghoa di pinggiran kota Batavia yang tanahnya disewa dari
pemerintah. Namun berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang
tinggal di dalam kota yang dapat dikendalikan melalui
pemimpinnya, orang-orang Tionghoa di luar kota atau pedesaan ini
menjadi sulit dikontrol karena berada di luar sistim institusi.
Mereka tidak diatur ke dalam organisasi-organisasi Tionghoa di
dalam kota dan berada di luar jangkauan, sehingga tidak pernah
ada perundingan dengan mereka. Banyak dari mereka yang sukar
mendapatkan pekerjaan dan menjadi penganggur.
Akibatnya penguasa Belanda
merasa jumlah orang Tionghoa di Batavia terlampau banyak, yang
dikuatirkan menimbulkan ekses yang buruk, sehingga pada awal
abad ke- 18 kedatangan orang Tionghoa mulai dibatasi, malahan
selama lima belas tahun jung-jung dari Tiongkok dilarang
berlabuh di Batavia.
- Bagian
1 |
2 |
3 |
4 |
5 - |