Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia (Bagian 5 dari 5)
Oleh : Benny G.Setiono
Kebangkitan
Etnis Tionghoa di Masa Reformasi.
Setelah rejim Presiden
Soeharto jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran di
sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka sangat
lemah dan menyedihkan. Kesadaran ini membangkitkan keberanian
mereka untuk menolak kesewenang-wenangan yang menimpa diri
mereka dan membela keadilan. Dengan segera berbagai organisasi
dideklarasikan oleh orang-orang peranakan yang merasa peduli
kepada keadaan tersebut, antara lain Partai Reformasi Tionghoa
Indonesia (Parti), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI),
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, Simpatik, Gandi, PSMTI,
INTI dllnya. Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian,
tabloid dan majalah antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar,
Nurani, Sinergi, Suara Baru dllnya bermunculan.
Namun dengan berjalannya
waktu ternyata beberapa organisasi tersebut berguguran dan
beberapa media cetak telah hilang dari peredaran. Masalah utama
yang dihadapi organisasi-orrgansasi tersebut adalah masalah
klasik, tidak adanya program yang jelas, semangat yang mengendur
dan terjadinya perpecahan di kalangan pemimpinnya. Masalah yang
dihadapi media cetak yang pada umumnya dikelola golongan
peranakan adalah masalah finansial dan SDM. Hampir tidak ada
dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup
media-media cetak tersebut.
Berbeda dengan
organisasi-organisasi peranakan, organisasi-organisasi di
kalangan totok malahan tumbuh dengan subur.
Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal
kampung halaman, suku (clan), marga, alumni sekolah dsbnya.
Program mereka pada umumnya tidak jelas dan pada umumnya
berorientasi ke daratan Tiongkok. Bahasa yang digunakan bahasa
Tionghoa karena pada umumnya para pemimpin
organisasi-organisasi tersebut kesulitan dalam berbahasa
Indonesia. Organisasi-organisasi ini seperti
organisasi-organisasi Tionghoa perantauan di manapun, pada
umumnya sangat paternalistik dan para pemimpinnya diangkat
berdasarkan senioritas dan keberhasilan dalam bisnis. Kelebihan
organisasi-organisasi ini adalah dukungan dana yang kuat dari
para pemimpinnya. Namun perpecahan juga muncul di antara para
pemimpinnya, terutama di kalangan suku Hakka yang menyebabkan
saat ini berdiri tiga buah organisasi suku Hakka yang berbeda.
Kegiatan utama organisasi-organisasi ini adalah menyelenggarakan
pertemuan/resepsi di antara para anggotanya tanpa tujuan yang
jelas.
Selaras dengan munculnya
organisasi-organisasi totok tersebut, berbagai penerbitan dalam
bahasa Tionghoa baik harian maupun majalah bermunculan. Walaupun
tiras setiap harian dan majalah tersebut tidak besar karena
pembacanya yang sangat terbatas, namun karena didukung dana oleh
para pemiliknya maka sampai saat ini penerbitan-penerbitan ini
masih dapat bertahan. Pada umumnya media-media cetak tersebut
digunakan untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan para
tokohnya.
Di bidang media elektronik,
dengan cepat Metro TV merebut peluang pasar di kalangan totok
dengan menyelenggarakan acara Metro Xinwen dalam bahasa Tionghoa.
Demikian juga dengan stasion radio komersiil Cakrawala yang
menyiarkan acara-acara dalam bahasa Tionghoa. Namun karena
kurang didukung oleh SDM yang memadai tampaknya kedua stasion
media elektronik tersebut dalam perkembangannya juga mengalami
kendala.
Hasil-hasil apakah yang
diperoleh dengan berdirinya organisasi-organisasi yang
menghimpun etnis Tionghoa baik peranakan maupun totok ? Walaupun
sangat lamban, kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat,
namun trauma masih lalu dan stigma Baperki masih menghantui
sebagian besar etnis Tionghoa sehingga mereka selalu berusaha
menghindari wilayah politik. Di samping itu perjuangan
organisasi-organisasi peranakan dalam membela hak-hak etnis
Tionghoa dan menuntut penghapusan peraturan-peraturan yang
diskriminatif telah banyak menunjukkan kemajuan. Dihapusnya
segala peraturan-perauran yang bersifat rasis dan diskriminatif
oleh Presiden Wahid maupun Tahun Baru Imlek yang dijadikan hari
libur nasional oleh Presiden Megawati merupakan suatu kemenangan
yang diperjuangkan oleh seluruh organisasi Tionghoa tersebut.
Di samping hasil-hasil
tersebut masih banyak kelemahan dan kendala yang dihadapi
organisasi-organisasi etnis Tionghoa antara lain, masih
langkanya pemimpin dan SDM yang dibutuhkan untuk memimpin dan
menggerakkan roda organisasi. Pada umumnya pemimpin/pengurus dan
anggota organisasi-organisasi etnis Tionghoa telah berusia
lanjut. Untuk mengatasinya para tokoh-tokoh Tionghoa harus
dengan legowo mau melakukan peremajaan kader-kader yang akan
memimpin organisasi-organisasi tersebut.
Kalau ingin bertahan
organisasi-organisasi Tionghoa harus dijadikan organisasi modern
yang mempunyai program yang jelas dan berorientasi ke bumi
Indonesia sesuai dengan semboyan luo di sheng gen sehingga
menarik generasi muda untuk bergabung ke dalamnya.
Organisasi-organisasi Tionghoa harus berani memperingatkan dan
menindak anggotanya yang berprilaku tidak pantas di masyarakat
agar pengalaman buruk di masa lalu tidak terulang lagi.
Organisasi-organisasi Tionghoa harus mau membuka diri dan
melakukan kerjasama dan menggalang persahabatan dengan
organsisasi-organisasi di luar kalangannya agar tidak dituduh
eksklusif.
Harian-harian berbahasa
Tionghoa harus dimerger agar dapat tumbuh dengan sehat dan
membawa manfaat bagi kita semua. Setelah mempunyai bekal yang
cukup diharapkan para kader Tionghoa mau menceburkan diri ke
dalam partai-partai politik yang dapat menampung aspirasi etnis
Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara.
Yang terakhir demi
kepentingan jangka panjang, organisasi-organisasi Tionghoa harus
menjaga jarak dalam berhubungan dengan pemerintahan negara
asalnya. Pengalaman masa lalu telah mengajar kita bahwa hubungan
antar negara setiap saat bisa mengalami pasang surut, namun
etnis Tionghoa di sini yang akan menanggung getahnya, karena
tidak pernah ada “perlindungan” yang kita peroleh dari negara
leluhur kita.
- Bagian
1 |
2 |
3 |
4 | 5 - |