Cina atau Tionghoa ?
Mengikis diskriminasi.
Pramoedya |
Perjuangan mengikis diskriminasi terhadap
Tionghoa di Indonesia belum banyak menghasilkan, contohnya
masalah SBKRI, Masalah Acun di Garut, masalah kuburan Ku Tiongdi
Cirebon, belum lagi masalah pendaftaran masuk universitas, dan
penerimaan dan kenaikan pangkat di jajaran pegawai negeri sipil
maupun TNI dan Polri, dan masih banyak lagi. Perjuangan semacam
ini sangatlah sulit, padahal kalau Tionghoa tidak didiskriminasi
dipercayai Indonesia akan semakin makmur secara merata. (bukan
hanya yang makmur para penguasa saja). Kalau mau jujur Tionghoa
sangat berat untuk menembus masalah ini. Kwik Kian Gie saja
tidak bisa mengubah banyak. Kalau Tionghoa masih sulit
memperjuangkan keluar, bagaimana kalau Tionghoa memperjuangkan
penyebutan Tionghoa pada diri Tionghoa sendiri dulu? . Kalau
dirinya sendiri tak sanggup memberikan legitimasi sendiri ,
bagaimana Tionghoa mengharap legitimasi dari yang lain. Masalah
"Cina-Tionghoa" bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak
di ucap atau ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan
kebenaran sejarah atas perjuangan Tionghoa dalam pembentukan
Republik Indonesia yang hampir terapus selama hampir 40 tahun.
Stigma Cina hanya cari duit, tak mau peduli dan ber-KKN di
Indonesia harus dicabut, demi kemajuan NKRI.
Perjuangan mengikis diskriminasi
Tionghoa boleh meniru cara Mahatma Gandhi
yaitu lewat puasa, karena berpuasa tidak
ada yang bisa melarang. Demikian pula kalau menyebut diri kita
Tionghoa orang lain juga tidak bisa melarang.
Frits Hong |
Dr. Frits Hong sebagai ketua ICAA
konsisten dengan pendapatnya; Beliau selalu berkilah; Kalau
sudah tahu kita tidak mau dipanggil sebagai "Cina" mengapa tidak
menggunakan kata "Tionghoa"? Sepanjang ini kita gunakan Tionghoa
untuk orangnya dan budayanya, Tiongkok atau RRT (Republik Rakyat
Tiongkok) untuk tempatnya, dan Mandarin atau Tionghoa sebagai
bahasanya.
Menurut bos Duarte Inn ini, kasus ini tidak
ada bedanya dengan istilah "nigger" orang-orang hitam di Amerika
tidak suka bila dipanggil 'nigger' atau 'negro' Dalam kasus 'Cina-Tionghoa'
diperberat dengan manuver penutupan sejarah perjuagan Tionghoa
dalam kemerdekaan RI. Bangsa yang besar tidak menutup-nutupi
sejarahnya, sebab sejarah adalah penuntun kami untuk suatu
kemajuan dengan mempelajari kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Maafkan sebelumnya kalau ada tulisan saya
ini yang salah atau kurang sempurna, karena saya bukan seorang
sejarahwan macam Ong Hok Ham, sedangkan Leo Suryadinata saja
masih banyak yang dikoreksi tulisannya. Jadi harap bisa di
sempurnakan kalau ada yang kurang. Sebab pengetahuan saya hanya
berasal dari baca kiri kanan, wawancara dengan para tokoh
masyarakat antara lain; Brigjen (purn) Teddy Jusuf (PSMTI),
Benny Setiono (INTI), Pramoedya Ananta Toer, Tan Swie Ling (Sinergi),
Eddy Sadeli S.H. (Pengacara), Tan Yoe Hok (PBSI), Henry Wen (keponakan
dari Tony Wen), Siauw Tiong Djien (CARI), Rebecca (Fresno), John
Oey (ICANet),Drs. LT. Susanto (DPR/MPR), Alm.
Ir. Pius Chan (CHI-LA), Dr. Frits Hong (ICAA),
Jusni Hilwan (CCEVI), Iwan Suwandi (Van Forum), dan mendengarkan
cerita dari orang tua saya tentang perjuangan kakek
saya (Dr. YL. Chen /Tan Lung Kit) yang ikut
berpartisipasi di THHK dan turut berjuang dengan Dr. Sun Yat Sen
di daratan Tiongkok saat revolusi (1909-1911). Dalam rangka
diskusi "Cina-Tionghoa" ini, Indonesia Media membuka Polling
untuk kedua istilah ini, bagi yang tertarik untuk mengikutinya
silahkan masuk di www.indonesiamedia.com dan klik di kolom kiri.
Kami berusaha mengfasilitasi polling ini agar didapat hasil yang
se objective mungkin, maka untuk itu bagi peserta yang pernah
vote, tidak diperkenankan
mengulanginya. Terimakasih atas partisipasi
anda.
Dr.Irawan.
- Ke Halaman - 1
| 2 |
3 | 4 | |