Pada hari lain, ketika aku sendirian dan Maya tak ikut, aku mencari Sirima
sampai Gare de L*Est, stasiun yang keretanya menuju ke Timur seperti ke
Jerman dan lain-lain. Ternyata mereka berdua ada di sana. Dan aku langsung
memeluk Sirima dan mencium pipinya, yang ketika itu sedang istirahat
sedangkan Mouk memainkan gitarnya.
“Mana Maya”, katanya.
“Dia tidak ikut, ada keperluan lain”.
“Siapa sih sebenarnya dia itu?”
“Kan dulu sudah kukatakan, dia keluargaku. Dia memanggilku kakek”.
“Kok nggak mirip keluarga, sangat lain rupanya”.
“Ya, bukannya keluarga langsung”.
“Nah, itu sudah kusangka”, katanya.
“Lain kali kau cerita yang panjang ya, aku mau dengar”, katanya lagi.
Dan aku menanyakan keadaan kehidupan mereka berdua Mouk, bagaimana, dan apa
rencana selanjutnya. Tampaknya mereka memang hidup-bersama, kumpul-kebo.
Sampai ke masalah ini, lalu agak
lama Sirima diam. Dan tampak airmukanya redup dan melihat ke kejauhan.
Tampak matanya agak merah, dan ada butiran berkilat bagaikan permata,
airmatanya akan segera menggenang. Cepat-cepat dia menghapusnya dengan
saputangan. Dan tiba-tiba saja dia menjatuhkan kepalanya ke dadaku. Pelan
sekali dia mengatakan:
“Tak tahu jadinya bagaimana kehidupanku ini di bawah kekuasaan Mouk ini.
Dia sangat pencemburu, dan aku terlalu banyak tidak boleh ini, tidak boleh
itu”, katanya sambil sedikit terisak. Sebenarnya aku sudah sangat kuatir,
sebab bagaimana sekiranya Mouk melihat kejadian ini, untung saja lagu yang
dia mainkan tidak akan segera berhenti karena sudah habis. Dan kami masih
sempat sedikit ngobrol dengan Mouk, sedangkan airmata dan wajah Sirima
sudah tidak sekusut tadi lagi. Dan ketika aku minta diri buat pulang,
Sirima bagaikan tidak begitu rela :
“Kau tidak sama-sama kami pulangnya? Okey lah, salam hangat kepada Maya
yang katamu itu cucu kamu itu ya”, kata Rima sambil masih sempat mencubitku
di tangan ketika salaman.
Sudah itu lama kami tak bertemu. Aku mencari Sirima dan Mouk ke mana-mana
dan tak ketemu. Kutanyakan kepada temannya yang kira-kira kenal mereka,
tetapi itupun tidak berhasil. Banyak sekali
orang-orang penggemar suara Sirima yang juga mencari Sirima, ke mana dan di
mana mereka?! Dan aku sangat ngotot mencari Sirima dan Mouk. Terasa aku
sangat merindukan Sirima dan juga barangkali Mouk. Kutanyakan ke mana-mana,
bahkan kucari temannya yang sama-sama orang Laos juga. Bahkan kenapa aku
sudah begitu gila, kutanyakan kepada polisi di situ yang berpos di Chatelet
Les Halles. Dan betapa aku kaget dan shock-nya mendengar penjelasan bagian
kepolisian, setelah mereka menanyakan siapa indentitasku, bahwa Sirima mati
terbunuh oleh Mouk sendiri! Dan Mouk ada di penjara, karena
dengan sukarela menyerahkan diri kepada polisi. Terasa badanku lemas, dan
berkeringat dingin sekurjur tubuh. Sudah tak tentu rasa, dan puyeng.
Kuusahakan agar bisa menguasai diri. Dan sesampainya di rumah, aku minum
air-dingin dan menenangkan diri. Inikah akhirnya perkenalanku dengan Sirima
dan Mouk? Perkenalan yang bagaikan tadinya sebagai kecambah yang mau
tumbuh, tetapi tiba-tiba layu dan
mati oleh angin-sakal atau racun-berbisa. Tak dapat aku mengerti bagaimana
maka terjadi hal-hal demi-
kian. Sudah tercium memang bahwa Mouk itu sangat pencemburu, dan suka mukul
Sirima, tetapi akan terjadi pembunuhan, samasekali di luar perhitungan
akal-sehat. Namun tetap saja terjadi. Tadinya ada maksudku mau mengunjungi
Mouk di penjara, tetapi setelah dipikir-pikir panjang, baiklah ditunggu
saja,
kapan ada waktu yang baik, atau tunggu sampai dia keluar penjara. Tetapi
berapa lama, berapa tahun la-
gi? Pembunuhan hukumannya bisa puluhan tahun, atau bisa seumur-hidup,
tergantung perkaranya bagai-
mana.
Dan sukurlah, Mouk “hanya” dihukum tujuh tahun. Dia berkelakuan baik,
samasekali tidak mempersukar pengadilan dan selama di penjara kelakuannya
terpuji sangat. Pengampunan ini semoga saja menjadi pelajaran yang sangat
mencengkam dirinya sepanjang hidupnya. Dan betapa akan halnya Sirima,
biduan yang sebenarnya haridepannya sangat gemilang, sayangnya nasib saja
yang cukup buruk. Suaranya yang begitu bagus, merdu, dan orangnya yang
selalu tersenyum ramah, dan kalau dengan rambut ekor-kuda seperti pernah
kulihat ketika kami saling janji itu, betapa cantiknya dan sportifnya dia.
Dan sangat lama Maya yang dari Jakarta menilpunku menanyakan keadaan
Sirima, tidak percaya akan ceritaku. Dia me-
ngucap berkali-kali kata Innalillahi waillahiroi jiun dan kagetnya bukan
main. Lama sekali aku meyakinkan
Maya, bahwa memang Sirima dibunuh oleh temannya sendiri, Mouk.
Dan inilah keanehan dunia, aku masih sempat bertemu Mouk, dan kami ngobrol
lagi di tempat yang dulu mereka saling kerjasama dalam “pengamenannya”.
Semula dia sangat sedih bertemu denganku, sebab biasanya dulu itu kalau
kami bertemu selalu bertiga dengan Sirima, kini hanya berdua saja. Dan Mouk
tetap masih main musik gitar-listrik dan tetap menyanyi sebagaimana sebelum
kenal dengan Sirima dulu itu. Begitu setiap kali aku mendengar
gitar-listrik Mouk, langsung saja aku teringat Sirima yang sebenarnya dia
sudah dengan pelan-pelan masuk ruang relung hatiku yang sangat jauh dan
dalam.-