Sebanyak 304 dari 524 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Artinya, sebanyak 58 persen pejabat daerah di seluruh Indonesia korupsi.
Modus korupsi yang mereka lakukan bermacam-macam.
Menurut anggota DPD RI dari Provinsi Riau, Intsiawati Ayus, ada berbagai modus korupsi yang dilakukan kepala daerah. Yang paling banyak adalah korupsi pengeluaran surat izin usaha.
Khusus Provinsi Riau, kata dia, korupsi paling tinggi terjadi di sektor kehutanan, kemudian perkebunan dan terakhir pertambangan. Modus yang mereka lakukan adalah mengeluarkan izin.
“Kalau mau pilkada, banyak kepala daerah mengeluarkan surat ini kuasa pertambangan (kape),” kata senator asal Riau tersebut.
Alhasil, kata Intsiawati, di Riau, hampir seluruh jajaran birokrat terlibat korupsi, mulai dari gubernur, bupati, dan kepala desa.
“Hanya camat saja yang belum ada di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Gubernur sudah ada, empat bupati di Riau juga masuk ke LP dan sejumlah kepala desa,” katanya.
Yang lebih mencengangkan, kata dia, surat izin yang dikeluarkan tumpang tindih. Luas lahannya yang diizinkan beroperasi lebih besar dari total luas lahan Kabupaten Pelalawan itu sendiri. “Jadi rumah-rumah penduduk masuk juga,” kata Intsiawati.
Intsiawati pun menilai, kejahatan di sumber daya alam (SDA) ini sudah masuk kejahatan luar biasa, sehingga harusnya penanganannya juga luar biasa. Tetapi ironisnya, aturan yang ada saat ini, masih biasa-biasa saja.
Sementara itu, Boni Hargens menjelaskan, berbagai persoalan korupsi di daerah terjadi karena sisten bosisme.
“Penguasaan politik di tingkat lokal hanya dimenangkan oleh segelintir orang. Ini sistem bosisme,” kata Boni.
Lebih lanjut Bos-isme ini bisa terdiri dari orang parpol, konglomerat, birokrat, elite, tokoh masyarakat, bahkan preman.
“Korupsi politik di daerah subur karena akar sistem bosisme lokal ini. Jadi musuh demokrasi lokal ini sistem bosisme,” katanya.
Menurut Boni, untuk memutus mata rantai bosisme ini, sebetulnya tidak rumit yakni cukup memahami segelintir orang itu saja.