Memahami Aksara Mandarin pada Lukisan Pemulung Miskin Kota Jakarta

Selain memulung, kadang ia disuruh warga di komplek perumahan mewah seputar Tomang untuk pembersihan. Misalkan, ada warga yang mau pindah rumah, ia disuruh bantu menyortir barang-barangnya. Sehingga, ia sering dikasih barang-barang elektronik besar seperti exhaust fan, keyboard piano, gitar listrik dan lain sebagainya. “Tapi nggak semuanya bisa dimanfaatkan lagi. Barang rongsokan elektronik biasanya ditimbang per kilo, bukan dijual satuan. (jual satuan) nggak laku karena sudah rusak,” kata kakek dari tiga orang cucu.
Ia lalu memperlihatkan saya lapak barang-barang rongsokan, terutama plastik bekas minuman, kertas bekas, kardus, besi bekas dan lain sebagainya. Dari tumpukan barang-barang bekas atau sampah, mata saya tertegun pada satu lukisan beraksara mandarin. Tetapi aksaranya bukan sekedar aksara, melainkan berwarna-warni serta bermotif burung, ikan, bahkan naga. Salah seorang teman saya menjelaskan bahwa aksara tersebut seperti nama seseorang, yakni Zhou Zhen Ni. “Kalau aksara yang besar, artinya Zhou Zhen Ni, yang mungkin nama pelukisnya. Tapi aksara-aksara yang ukuran kecil sulit terbaca karena size nya terlalu kecil,” kata Denni, alumni fakultas ilmu lingkungan salah satu universitas ternama di Taiwan. Ia juga meyakini bahwa aksara-aksara tersebut bermakna dalam, sastra. Sehingga tidak semua orang bisa menafsirkan artinya. “Tulisan yang kecil, warna hitam tersebut kelihatan jelimet. Saya nggak ngerti,” kata Denni yang tinggal di Jakarta Utara.
Sementara itu, ibu Linty Sastrodihardjo (Lin Zhe Xiu) di Jakarta juga berusaha memahami makna aksara mandarin pada lukisan si pemulung Kali Jeling Tanggul. Menurutnya, aksara tersebut jelas bermakna filosofi kehidupan. Sebagaimana sistem pengaturan periode menurut filosofi Tiongkok kuno yakni 60 tahun setara dengan satu sirkulasi. Masyarakat Tiongkok kuno percaya, bahwa siklus satu periode (60 tahun) selalu ada bencana. “Kalau merunut sejarah Tiongkok, setiap 60 tahun pasti ada bencana. Siklus per 60 tahunan jatuh pada tahun 2020 (kalender internasional), memang terjadi pandemi covid, sebagai bencana nasional Indonesia dan dunia internasional,” kata Linty Sastrodihardjo (76 tahun).
Makna pada lukisan pemulung tersebut diyakini bagian dari Yi Jing (Kitab Perubahan atau Klasik Perubahan ). Yi Jing adalah filosofi Tiongkok kuno berupa ramalan teks yang notabene klasik tertua. “Filosofi Yi Jing, Khong Hucu mengisyaratkan hubungan manusia dengan bumi, alam semesta. Mungkin hal ini juga mengena pada pandemi dan orientasi kehidupan masyarakat modern. Saya juga tidak berani mengelaborasi lebih detail mengenai Yi Jing kaitan dengan aksara pada lukisan pemulung tersebut,” kata ibu dari delapan cucu, kelahiran Semarang Jawa Tengah. (sl/IM)















