Oleh: Anwar Nasution[1]
1.Meniru RRT dan India
Sebagai Ketua Umum PDI-P, Presiden RI ke-5 Megawati Sukarnoputri telah membuat keputusan brilian untuk mencalonkan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) menjadi calon Presiden RI dalam Pemilu tahun 2014. Keputusan itu disebut brilian karena dilihat dari latar belakang perjalanan karirnya, hanya Jokowi diantara para calon Presiden RI tahun 2014 yang nampaknya akan mampu memanfaatkan kerjasama ekonomi regional dan global bagi kepentingan nasional kita. Keputusan itu hampir serupa dengan keputusan Sonia Gandhi, Ketua Partai Congress di India, empat belas tahun yl. untuk menunjuk Dr Manmohan Singh, seorang teknokrat kawakan yang bukan keluarganya, menjadi Perdana Menteri. Seperti halnya dengan keluarga Sukarno di PDI-P, kendali politik keluarga Gandhi tidak terganggu karena Sonia tetap menjadi ketua sedangkan anak-anaknya menjadi anggota pengurus Partai Congress.
Menurut jadwal, KEA (Komunitas Ekonomi ASEAN-ASEAN Economic Community) akan mulai berlaku pada tahun 2015. Setelah itu akan ada RCEP (Regional Comprehenship Economic Partnership) dan TPP (Trans Pacific Partnership) yang mencakup negara yang lebih banyak dan liberalisasi yang lebih luas. Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan UGM, Gubernur Jokowi adalah merupakan pengusaha mebel yang berorientasi pada pasar ekspor. Setelah itu, beliau menjadi Walikota Solo yang merupakan salah satu daerah yang memiliki penduduk terpadat di Indonesia. Dengan demikian, selain menaruh perhatian pada upaya peningkatan daya saing ekonomi nasional, ia diharapkan juga menaruh perhatian pada penciptaan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan maupun pemerataan pendapatan dan keluarga berencana.
Berbeda dengan pada umumnya pengusaha Indonesia, Jokowi bukanlah seorang pengusaha yang menjadi kaya karena memangsa rente tergantung pada ijin dan kemudahan serta pengadaan negara, korupsi, kolusi maupun nepotisme. Sebagai eksportir mebel dari Solo, yang tidak mendapatkan fasilitas apa-apa dari Pemerintah, Jokowi sudah memiliki pengalaman bagaimana caranya melakukan penetrasi pasar internasional. Untuk dapat bersaing di pasar dunia. beliau merasakan akan pentingnya desain dan kualitas produk maupun perbaikan iklim berusaha dan penyederhanaan sistem perijinan untuk menekan biaya. Ia menyadari akan pentingnya pembangunan infrastruktur guna memperlancar produksi, melakukan komunikasi dengan pemasok kayu maupun pembeli produknya di luar negeri serta pentingnya perbaikan angkutan darat dari Solo menuju pelabuhan Semarang yang tadinya memakan waktu lama dan penuh dengan pungutan liar di sepanjang jalan. Dengan perkataan lain, Jokowi sudah punya pengalaman pahit akan buruknya pengaruh korupsi, kurangnya infrastruktur, mahalnya biaya logistik dan ketidak pastian iklim usaha pada upaya peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja.
Indonesia dibawah Jokowi akan lebih maju jika ia dapat meniru strategi pembangunan Deng Xiaoping dari RRT dan Manmohan Singh dari India. Strategi itu adalah meniadakan faktor penghambat peningkatan ekspor industri manufaktur yang disebut diatas. Strategi itu akan mengundang partisipasi modal swasta asing dalam GSC-Global Supply Chains atau IPN-International Production Networks untuk meningkatkan investasi, lapangan kerja, alih teknologi dan ekspor hasil industri manufatur ke seluruh dunia. Strategi itu akan mengahiri ketergantungan ekonomi kita pada ekspor komoditi primer hasil tambang dan pertanian dan perikanan utamanya ke RRT dan India yang terjadi sejak krisis 1997. Disamping itu, ekonomi kita pun tergantung pada ekspor TKI, tanpa keterampilan dan dengan pendidikan rendah, ke seluruh pelosok dunia. Terbukanya lapangan kerja di dalam negeri, akan mengurangi keperluan bagi TKI untuk mencari pekerjaan sebagai buruh kasar ke luar negeri. Dalam GSC atau IPN, perusahaan multinasional melakukan spesialisasi vertikal, memprodusir suku cadang dan komponen industri manufaktur di negara yang berbeda dan merakitnya menjadi produk jadi di negara lain.
2. Program kerja Presiden baru
Untuk mewujudkan strategi baru pembangunan itu, diperlukan beberapa langkah kebijakan. Langkah pertama adalah agar Jokowi dapat memilih Wapres yang sejalan dengan cita-citanya melakukan penetrasi pasar dunia secara halal dantoyyiban. Sekali-kali ia jangan memilih pemangsa rente yang akan menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya sendiri. Orang yang menjadi kaya karena menjadi pemangsa rente akan terus menerus menjadi pemangsa rente tiada henti hentinya hingga akhir hayatnya. Belajar dari pemerintahan Presiden SBY dan Taksin di Thailand, para pemangsa rente yang ada di badan legislatip dan eksekutip yang korup tersebut menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri dari rente, pengadaan pemerintah, kontrol APBN, pembuatan undang-undang, pemilihan personalia pejabat negara, perijinan usaha maupun pembelian saham perusahaan asing dengan harga murah.
Hal kedua yang perlu dilakukan oleh Presiden baru adalah memilih personalia anggota kabinetnya dan para penasehatnya. Juga hendaknya memilih orang yang memiliki integritas, pendidikan dan pengalaman yang mampu melakukan penetrasi pasar dunia itu dan menekan ongkos produksi dalam negeri. Jangan terulang lagi seperti inner circle nya SBY, Watimpres nya maupun anggota KEN-Komite Ekonomi Nasional nya yang tidak jelas kualifikasi dan kontribusinya maupun berurusan dengan KPK. Kalaupun diusulkan oleh partai peserta koalisi namun calon Menteri dan penasehat Presiden tersebut hendaknya memenuhi standar minimum kualifikasi yang ditentukan oleh Presiden. Integritas sangat penting sehingga jangan lagi dipakai orang yang sudah cacat namanya, apalagi yang telah pernah bermukim di rumah tahanan KPK.
Ketiga, memperbaiki kelembagaan dan sistem hukum. Dalam 10 tahun terakhir, kita hidup seperti dalam film Hollywood, the Godfather. Karena sistem hukum tidak jalan masyarakat (termasuk bank-bank asing) terpaksa beralih pada penggunaan preman dan debt collectors untuk melindungi hak milik individu, memaksakan kontrak perjanjian serta mencairkan agunan kredit (collateral). Sementara itu, sogok menyogok adalah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, biaya transaksi pasar sangat tinggi di Indonesia. Kegagalan pasar terus menerus terjadi karena buruknya implementasi aturan prudensial, seperti kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008) yang merongrong keuangan negara. Kegagalan sektor publik pun merajalela sebagaimana tercermin dari maraknya korupsi anggaran negara dan tidak mampunya BUMN serta BUMD bersaing di pasar regional dan global. Peningkatan efisiensi bank-bank negara sekaligus akan menurunkan tingkat suku bunga kredit bank.
Hal keempat yang perlu dilakukan adalah untuk memperbaiki iklim usaha dan menyederhanakan ijin usaha. Hal kelima, membangun sistem logistik nasional termasuk infrastruktur ekonomi berupa pembangkit tenaga listrik, transportasi darat, laut dan udara maupun komunikasi dan e-mail. Pelayanan dipelabuhan dan bea cukai juga perlu ditingkatkan untuk menekan biaya logistik. Dengan pengawasan Departemen Keuangan, beberapa Pemda perlu diberikan kesempatan menjual obligasi guna membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan raya maupun pembangkit tenaga listrik. Pembangunan sistem logistik nasional sekaligus diperlukan untuk menguatkan NKRI dan membangun kesatuan pasar nasional yang masih terpecah belah sekarang ini.
Hal keenam yang perlu dilakukan adalah membangun kawasan industri padat karya di sepanjang Pulau Jawa, pantai Timur Sumatera dan di sepanjang Selat Makassar yang sangat strategis bagi perdagangan dunia. Industri itu dapat berupa industri manufaktur maupun pengolahan sumber daya alam yang pada saat ini dapat dikelola oleh TKI. Kawasan industri itu setidaknya harus dapat bersaing dengan industri yang sama di Malaysia dan sekaligus merangsang perpindahan penduduk dari Pulau Jawa yang sangat padat ke kawasan industri baru itu.
Hal ketujuh yang harus dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan. Sekolah teknik perlu diprioritaskan, mulai dari tingkat STM dan Politeknik. Hanya dengan menciptakan lapangan kerja yang menghasilkan pendapatan yang lebih baik kemiskinan dapat dientaskan dan bukan sekedar membagi Raskin dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini.
Hal kedelapan yang perlu dilakukan adalah peningkatan mobilisasi tabungan nasional untuk membelanjai keperluan pembangunan infrastruktur tersebut. Untuk itu, administrasi perpajakan perlu diperbaiki dan Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dibangun kembali. Untuk membina, mengawasi serta menyediakan keperluan likuiditasnya, koperasi perlu dikaitkan dengan sistem perbankan. Sementara itu, devisa hasil ekspor yang diparkir di Singapura perlu diupayakan agar dibawa kembali ke Indonesia untuk meningkatkan tabungan nasional dan menguatkan cadangan devisa. Pembangunan kembali BTP dan koperasi sekaligus mengenalkan produk lembaga keuangan formal kepada masyarakat miskin (financial inclusion). Jika perlu, aturan mengenai utang negara perlu diperlonggar agar dimungkin pembangunan infrastruktur yang diperlukan.
Jakarta, 14.4.2014