Politik uang (money politics) dalam pemilihan legislatif 2004 yang baru lalu
me- nunjukkan peningkatan dari Pemilu 1999. Politik uang terjadi pada hampir
semua tahapan pemilu, baik prakampanye, masa kampanye, minggu tenang,
dan pada hari pencoblosan atau sering disebut serangan fajar. Berdasarkan hasil
pemantauan ICW, Transparency International Indonesia, dan jaringan LSM di 8 kota
besar mencatat sedikitnya ada 114 kasus politik uang pada pemilu legislatif 2004,
mayoritas modus politik uang yang dilakukan dalam bentuk pembagian uang secara
langsung pada massa kampanye, rapat akbar atau deklarasi partai politik (50,87 %),
kegiatan sosial dan pembagian sembako (18,42 %), pembangunan infrastruktur
(7,89 %), kegiatan keagamaan (7,01 %), pemberian hadiah (7,89 %), dan lain-lain
(7,93 persen) dan angka tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Belum lagi yang
tidak terdeteksi seperti praktik indirect vote buying yang sulit dimonitor yang jauh
lebih luas dan lebih besar nilainya.
Seluruh aparatur negara dan sistem harus bersinergi dengan dukungan
masyarakat melawan korupsi, kesuksesan penyelenggaraan pemilu tak bisa hanya
dibebankan kepada komisi pemilihan umum (KPU) atau Bawaslu saja. Masyarakat
juga harus sadar, bahwa menerima sejumlah kompensasi suara dalam pemilihan
umum, dapat memberikan peluang pelestarian korupsi. Perubahan pola tindakan
masyarakat dalam pemilihan umum, sedikit banyak turut berpengaruh terhadap
perubahan pola tindakan para wakil rakyat saat menjabat, karena praktek politik
uang dalam pemilihan umum turut mendorong para wakil rakyat untuk melakukan
korupsi ketika kelak menjabat. Hal ini disebabkan biaya yang mereka keluarkan saat
pemilu atau pemilihan kepala daerah sangatlah besar sehingga selama menjabat
mereka cenderung untuk korupsi untuk mengembalikan modal yang dia keluarkan
selama proses kampanye dan pemilu bukan fokus untuk kesejahteraan rakyat dan
pemenuhan janji politiknya. Untuk itulah masyarakat harus ikut berperan aktif dalam
mencegah hal tersebut dengan cara menolak politik uang.
Suara yang di korupsi sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang korupsi
pula. Bagaimana Negara kita tercinta Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan dan
menjadi negara maju apabila untuk memilih pemimpin nya saja kita masih mau
disogok yang notabene merupakan bibit unggul korupsi. Seluruh aparat negara
yang berwenang diharapkan dapat membentuk suatu sistem pemilihan dimana
setiap calon diwajibkan untuk menandatagani surat perjanjian yang menyatakan
dirinya berjanji tidak akan melakukan korupsi, tidak akan melakukan politik uang,
memastikan penyerapan program pemerintah semaksimal mungkin jika kelak terpilih
dengan sanksi pidana yang berat dan tentunya dibaregi dengan para penegak
hukum yang tegas dan komitmen pada tanggung jawab yang diembannya agar
kebimbangan masyarakat, akan janji-janji palsu, yang biasanya disampaikan oleh
calon wakil rakyat yang menimbulkan niat untuk golput dapat terjawab dan ikut
berpartisipasi dalam memilih pemimpin yang bertanggung jawab, jujur, kompeten
dan membawa perubahan yang jauh lebih baik untuk kemajuan dan kesejahteraan
NKRI.
Walaupun disogok juga belum tentu menang.
sogok menyogok itu sudah biasa, tradisi turunan Bangsa
Sogok menyogok warisan hindia belanda
kok mau saja diberi Warisan Buruk Sogok Menyogok ??? yang jelak kok ditiru ???