Sejak pagi beberapa laki-laki berjubah, berpeci serta memakai sorban mengumandangkan takbir dan menyebut nama Allah dengan pengeras suara yang dipasang di sebuah halaman rumah penduduk. Minggu, 1 Agustus 2010, bukan karena ada acara pengajian tetapi mereka menunggu jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi Timur, Jawa Barat. Mereka menunggu bukan unutk bersilaturahmi tetapi untuk membubarkan ibadah mingguan umat kristen tersebut. Sejak pukul 08.00, satu persatu umat yang terdiri dari kaum perempuan dan anak-anak tersebut mendatangi tempat mereka ibadah yaitu sebidang tanah yang sudah menjadi milik HKBP di Ciketing, RT 03/RW 06, Pondok Indah Timur, Bekasi Timur, Jawa Barat.
Tanpa ragu pendeta Luspida Simanjuntak, STh datang tersenyum dan menyalami satu persatu teman-teman media yang hadir. Perempuan berambut pendek tersebut adalah pendeta yang memimpin jemaat HKBP tiap minggunya. Tak ada keraguan dimata perempuan itu, dengan yakin ia melangkah memasuki lapangan kecil tersebut dan bertemu dengan jemaatnya.
Bahkan langkahnya tak surut ketika tiga orang dari ormas tersebut mengahadangnya dan meminta kartu tanda penduduk (KTP). Alasan mereka “kamu bukan orang Ciketing, kamu orang Batak”. Pendeta Luspida menunjukkan KTP beralamat Ciketing dan menyampaikan bahwa ia dilahirkan disana. Namun mereka balik menyerang “kamu berbahasa batak, bukan betawi”.
Suasana menjadi kian panas ketika puluhan jemaat mulai berdatangan, ormas Islam tersebut mulai mengumpat dengan kata-kata kebun binatang disela-sela takbir yang mereka kumandangkan. Mereka menuntut ibadah hari ini tidak diadakan alasannya masyarakat tidak setuju umat HKBP mendirikan tempat ibadah. Seruan ormas-ormas tersebut tidak menyurutkan semangat umat untuk beribadah. Alasan pendeta Luspida, ini adalah hak kami untuk beribadah dengan cara kami, persoalan rumah ibadah itu fisik atau bangunan yang tak ada kaitannya dengan hak kami beribadah.
Ormas tersebut makin brutal ketika aparat mencoba menghalangi mereka untuk mendekati jemaat HKBP. Kalau saya memperhatikan jumlah ormas tersebut tak lebih dari 300 orang, semnetara aparat yang terdiri dari Brimob, satpol PP dan polisi lebih dari 500 personil. Jadi dengan kekuatan tersebut seharusnya mereka mampu menahan ormas tersebut unutk tidak melakukan anarkisme.
Tetapi yang sangat disayangkan dalam kejadian tersebut, ormas mampu menembus barikade polisi dan bahkan meminjam toa untuk menghalau jemaat HKBP. Saya sempat beberapa kali meminta aparat untuk menghadang massa yang beringas dan menyerang jemaat. Tetapi terbukti massa bisa merangsek maju dan mendorong perempuan serta anak-anak dari tempat mereka berdoa. Bahkan salah seorang umat sempat terinjak saat terjadi dorong-dorongan tersebut.
Jemaat HKBP tak menunjukkan perlawanan, meskipun ibadah mereka berlangsung dalam suasana kacau dan sangat tidak nyaman. Mereka tetap berdoa dalam tekanan dan intimidasi dari ormas Islam yang hadir pada saat itu.
Persolan kekerasan jemaat HKBP dimulai 18 Juli 2010 dan tanggal 25 Juli 2010, ratusan massa FPI Bantar Gebang melakukan Penyerbuan / Penyerangan terhadap Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi pada saat melakukan ibadah minggu di tempat ibadah Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah. Tujuan kedatangan massa FPI tersebut adalah untuk menghentikan dengan paksa kegiatan ibadah minggu Jemaat.
Persoalan pelarangan tersebut menurut kuasa hukum HKBP, Judianto Simanjuntak berawal dari penyegelan rumah ibadah pada tanggal 1 Maret 2010, dengan alasan bukan rumah ibadah tetapi dipakai untuk ibadah. Sebanarnya jemaat HKBP telah lama mengurus perijinan tersebut tetapi sampai saat ini tidak pernah turun ijinnya. Bahkan mereka telah memenuhi syarat untuk mendirikan rumah ibadah adalah minimal 90 tanda tangan masyarakat, bahkan lebih dari itu.
Menanggapi konfilk tersebut jemaat diundang oleh walikota untuk mengadakan dialog, pada tanggal 9 juli 2010 kemudian munculnya kesepakatan unutk memindahkan tempat ibadah di tanah milik HKBP di Ciketing. Tapi persoalan ternyata tidak selesai sampai disana, pada ibadah tanggal 11 juli mereka mendapat penolak dari sejumlah ormas Islam yang menolak daerah mereka didirikan rumah ibadah.
Persoalan menjadi makin panas karena kemudian muncul surat dari Walikota yang muncul pada tanggal 28 Juli untuk memindahkan kegiatan ibadah di gedung serba guna yang beralamat dijalan Charil Anwar kota Bekasi. Letak tempat tersebut sangat jauh dari tempat tinggal jemaat dan belum ada kesepakatan dengan jemaat. Untuk itulah mereka tetap bertahan pada hasil pertemuan pertama dnegan walikota untuk beribadah ditanah milik HKBP di Ciketing.
Betapa sulitnya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan untuk menjalankan ibadah di tanah air ini. Undang-Undang yang memberikan jaminan beribadah ternyata tak dijalankan dengan baik diberbagai wilayah. Terbukti dengan tidak munculnya ijin dari pemerintah setempat untuk mendirikan rumah ibadah. Ibadah adalah hak mendasar dari tiap warga negara yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun. Namun buktinya di Bekasi, umat dipersulit untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.
Bahkan jaminan bahwa negara memfasilitasi kegiatan peribadatan tak juga terwujud. Jangankan memfasilitasi, untuk mengijinkan saja ternyata tak mudah. Negara ini dibangun bukan dari sebuah kelompok tertentu, sumbangsih tiap agama juga ada disana. Kalau saat ini suara orang banyak dianggap yang harus diutamakan, lalu mengabaikan hak yang lain itu bukanlah cita-cita dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada tingkat internasional, kebebasan berkeyakinan dijamin di dalam Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): “Setiap orang berhak atas semua hak…tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama/keyakinan, politik atau pendapat yang berlainan….” Demikian pula Pasal 18 DUHAM yang menyebutkan “Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama; hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan…”
Jaminan tersebut ternyata tak dijalankan dengan baik oleh pemerintah ini. Negara yang membiarkan konflik ini terus berlanjut diberbagai daerah adalah bom waktu yang bisa meledak dimana-mana. Kita tidak menginginkan kekerasan atas nama agama menjadi raja di bumi pertiwi ini. Selayaknya pemerintah segera membenahi kekacaun yang terjadi berkaitan dengan kebebasan beragama, karena ini adalah sumber kedamaian yang dibutuhkan setiap manusia untuk dapat berkomunikasi dengan sang pencipta. “Kami akan tetap beribadah sampai kapanpun” pungkas pendeta Luspida Simanjuntak.