Jika gubernur Aceh mengesahkan peraturan itu, diduga ini bisa memicu pelanggaran atas hak-hak kaum minoritas, meningkatnya fundamentalis militan di wilayah itu dan menjauhkan investor.
Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki sistem hukum berdasarkan UU sipil Belanda dan peraturan pemerintah Indonesia. Tetapi setelah kompromi dengan separatis pada tahun 2001, provinsi Aceh di Sumatera bagian utara, diperbolehkan
menerapkan hukum Syariah. Sejak perjanjian perdamaian itu dan tsunami mematikan yang menghancurkan sebagian besar Aceh, penerapan hukum Syariah semakin ketat di wilayah itu.
Hakim di Aceh menjatuhkan hukuman cambuk terhadap seorang pelaku kejahatan yang terbukti bersalah baru-baru ini. Laki-laki itu dan lima anggota keluarga lain dicambuk di depan umum sebanyak lima sampai delapan kali karena berjudi di sebuah kedai kopi.
Pencambukan semacam itu semakin sering terjadi belakangan ini di Aceh, bukan hanya karena berjudi, tetapi juga karena minum miras dan melakukan hubungan yang dianggap tidak senonoh. Para pelakunya dapat dicambuk, dipenjara atau diharuskan membayar denda dengan emas.
Polisi-polisi Syariah menarget perempuan yang mengenakan pakaian yang dianggap tidak sopan – seperti berpakaian ketat atau tidak memakai jilbab dengan sepantasnya. Baik perempuan maupun laki-laki dapat ditangkap jika tidak menutupi kakinya.
Para aktivis hak-hak sipil setempat, seperti Ayu Ningsih, mengatakan hukum Syariah tidak dikehendaki atau diperlukan di tempat yang menurutnya sudah “99 persen Islami.”
“Aparat yang menjalankan kebijakan syariah itu yang salah interpretasinya, makanya perempuan menjadi korban,” kata Ayu.
DPRD Aceh baru-baru ini menyetujui hukuman yang lebih keras untuk berbagai pelanggaran yang lebih luas, termasuk seks di luar nikah dan seks sesama jenis. Dan para anggota DPRD Aceh juga memilih untuk menerapkan hukum Syariah bagi 90,000 non-Muslim di Aceh, termasuk warga asing.
Hal itu memicu kekhawatiran bahwa jika gubernur Aceh mengesahkan peraturan itu, maka warga Katolik, misalnya, tidak akan dapat melakukan Misa, karena dalam komuni, orang meneguk sedikit anggur.
Menanggapi hal tersebut, Profesor Yusny Saby dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry mengatakan,“Menurut saya, mereka berhak melakukan Komuni atau apapun yang mereka inginkan. Tidak masalah kalau itu dilakukan di tempat mereka sendiri, di gereja atau di rumah. Tetapi tidak di jalan umum karena itu akan merupakan provokasi.”
Bukan hanya umat Kristen yang semakin merasa terancam di Aceh. Gubernur sebelumnya, pada tahun 2011, menyatakan bahwa beberapa kelompok non-Sunni menganut apa yang disebutnya “ajaran sesat.”
Ada juga kekhawatiran mengenai kemungkinan bahwa meningkatnya fundamentalisme akan menarik militan ke wilayah yang pernah dilanda pemberontakan Islam itu.
Dan itu dapat mencegah investasi ke provinsi yang kaya sumber daya, seperti minyak dan gas lepas pantai, pertambangan, kopi dan karet, serta pantai-pantai Sumatera yang yang masih asli yang dapat menarik jauh lebih banyak wisatawan.
Bilangin DPRD INDONESIA BUKAN NEGARA AGAMA.
Diseluruh Dunia Hukum Formil suatu Negara adalah SATU .Tidak terkecuali NKRI.Tidak bisa ditawar Saudara2 ku dari Tanah Rencong.Harap menghormatinya dan melaksanakan sebagaimana mesti.Agar diketahui INDONESIA yang terkotak kotak,tercerai berai dan lemah,banyak yang menginginkan.Mari kita jaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan se baik2 nya.Merdeka x3
DPRD nya Harus dan Mesti Wajib Sekolah lagi dan banyak belajar, kalau setiap Propinsi di Indonesia Menerapkan Peraturan Agama masing-masing maka apa akan jadinya ini Negara ?? nantinya NKRI = Negara Kehancuran Republik Indonesia, bukan Negara Kesatuan dong !!! gak mikir pakai otak itu DPRD
Keren, Aceh. semoga para pemimpin di NAD diberi ketabahan dan kesabaran dalam menerapkan syariah, hukum yg dibuat manusia pada akhirnya tidak memberikan “keadilan” yang semestinya jika dihubungkan dengan “HAM”.