Sebuah Minibus memasuki halaman gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar pukul 12.45 WIB, mobil berkelir hitam itu datang. Turun dari kursi penumpang, sosok Menteri Sosial Tri Rismaharini menampakan diri.
Siang itu dia tengah bertandang. Mengenakan batik dipadu jilbab merah, Risma terburu-buru masuk ke markas Komisi Antirasuah. Ada agenda khusus hari itu. Dia ingin melaporkan adanya data ganda penerima bantuan sosial.
Pertemuan itu membahas soal persoalan data bantuan sosial (bansos). Kepada KPK, Risma memberi tahu bahwa kementerian yang dipimpinnya terus berupaya melakukan pemutakhiran dan perbaikan data bansos. Salah satunya dengan menonaktifkan data ganda penerima bansos.
Mantan wali kota Surabaya itu mengatakan ada sekitar 21 juta data ganda yang sudah ‘ditidurkan’ alias dinonaktifkan. Langkah tersebut kemudian diikuti dengan permintaan kepada pemerintah daerah untuk memperbarui data penerima bansos. “Kami meminta daerah-daerah untuk melakukan usulan tambahan untuk bisa kami tampung dan kami berikan bantuan,” ujar Risma.
Langkah Risma melapor ke KPK menuai beragam tanggapan. Termasuk Komisi VIII selaku rekan kerja Kemensos. Ketua Komisi VIII Yandri Susanto meminta Risma menjelaskan secara gamblang terkait 21 juta data ganda yang dinonaktifkan.
“21 juta itu basisnya apa? Itu yang belum tahu dan Bu Risma belum menyampaikan itu ke publik,” ungkapnya kepada merdeka.com.
Masalah data memang kerap menjadi perhatian Komisi VIII DPR kepada Kemensos. Bahkan sebelum Risma mulai bertugas. Apalagi DPR menemukan ada kejadian bansos salah sasaran karena data tidak akurat. Sehingga masyarakat tidak berhak akhirnya turut menikmati bansos.
Dia pun mempertanyakan koordinasi antara Risma dan pemerintah daerah. Diharapkan keputusan yang dilakukan Risma tersebut sudah dibicarakan dengan Pemda selalu pengusul data penerima bansos. Jangan sampai penonaktifan data yang dilakukan Kemensos berdampak pada hilangnya hak masyarakat yang benar-benar membutuhkan untuk menerima Bansos. “Apakah sebombastis itu? Kan banyak itu 21 juta,” ujar dia.
Penonaktifan data ganda tersebut merupakan langkah Kemensos dalam memastikan bansos yang disalurkan tepat sasaran. Salah satu faktor penyebab terjadinya data ganda, karena kurang akuratnya pendataan di lapangan.
Salah satu masalahnya adalah banyak penduduk berpindah. Sehingga ketika terdaftar sebagai penerima bantuan sosial di satu tempat maka orang tersebut biasanya kembali didaftarkan lagi sebagai penerima bansos.
“Misalnya si A saat pembuatan KTP awal di lokasinya di mana, kemudian lokasinya di mana. Kadang kan pindah-pindah lokasi tidak terlaporkan. Kira-kira seperti itu,” ungkapnya Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan Kementerian Sosial (Kemensos) Herman Koswara kepada merdeka.com, Senin kemarin.
Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi. Karena membuat orang bersangkutan kemudian terdaftar sebagai penerima bansos di beberapa wilayah sekaligus. Makanya nanti akan diverifikasi yang jelas. Misalnya nama Ulan itu betul-betul hanya ada di satu wilayah. Dengan NIK yang sama.” kata dia menambahkan.
Data penerima bansos dikumpulkan Kemensos dari usulan yang diajukan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini Dinas Sosial daerah. Tiap daerah sudah dibekali dengan sejumlah kriteria penerima bansos. Dengan kriteria itulah Pemda melakukan verifikasi data penerima bansos.
Tentu diharapkan bahwa data yang diusulkan daerah tersebut benar-benar terjamin validitasnya. Ini agar tidak timbul masalah di kemudian hari. “Kalau sudah terverifikasi bagus, nanti disampaikan ke pusat, saya pikir pusat tidak akan mempersoalkan ketika datanya valid,” ujar dia.
Hindari Penyimpangan
Pada tahun 2021 Kementerian Sosial telah menyiapkan anggaran untuk berbagai program bantuan sosial. Anggaran yang disiapkan untuk program bantuan tunai PKH sebesar Rp28,71 triliun. Program ini menjangkau 10 juta KPM.
Untuk Program Sembako/BPNT target penerimanya 18,8 juta KPM dengan anggaran Rp45,12 triliun. Sementara untuk program Bantuan Sosial Tunai (BST) disiapkan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk 10 juta KPM.
Kemensos memastikan akan terus berupaya agar bantuan sosial yang disalurkan tepat sasaran. Perbaikan dan validasi data merupakan langkah penting yang harus dijalankan. “Tujuan validasi data itu meminimalisir margin error dan untuk lebih akuntabel,” Herman mengungkapkan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding menjelaskan, kedatangan Risma merupakan tindak lanjut atas rekomendasi KPK atas kajian pengelolaan bansos. Salah satu rekomendasi KPK kepada Kemensos terkait perbaikan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Termasuk untuk mengintegrasikan data pada dua Direktorat Jenderal di Kemensos yang KPK temukan berbeda.
Sejauh ini KPK menemukan perbedaan data antara Ditjen Perlindungan dan Pelayanan Sosial dan Ditjen Fakir Miskin Kemensos. Selain kedua Ditjen tersebut, Pusdatin Kemensos juga mengelola data. Berbagai informasi ini yang kemudian KPK minta untk segera dilakukan integrasi.
“KPK minta untuk dilakukan integrasi untuk mencegah data ganda demi menghindari penyimpangan dan meningkatkan ketepatan sasaran dalam penyaluran bansos,” kata Ipi.
Melalui program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang berlangsung sejak 2018, KPK juga telah mendorong untuk dilakukan pemadanan DTKS berbasiskan NIK. Sehingga ketika Risma berkunjung dan langsung menyampaikan bahwa Kemensos menemukan sekitar 21 juta data ganda.
Laporan Risma ke KPK merupakan bagian dari upaya Kemensos menggandeng berbagai pihak berkepentingan dalam urusan data penerima bansos. Ini dikarenakan perbaikan data penerima bansos bukan hanya tanggung jawab Kemensos saja.
Tentu wajar jika publik punya banyak perspektif terkait kunjungan ke KPK. Apalagi kementerian dipimpin Risma baru saja tersandung kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Bahkan salah seorang tersangka merupakan kolega Risma di PDIP sekaligus mantan mensos, Juliari Batubara.
“Jangan sampai nanti seolah-olah kegagalan data adalah kegagalan Kementerian Sosial. Padahal sebetulnya permasalahan data adalah sinergitas para pihak,” ujar Herman.
Kunjungan Risma ke KPK, menurut Herman, merupakan bukti keseriusan Risma dalam menyelesaikan persoalan data yang terjadi selama ini. “Harus menjadi sebuah kejujuran kolektif bahwa kita sudah tidak saatnya lagi bermain-main dengan persoalan data,” imbuh dia.
Herman pun menegaskan bahwa adanya 21 juta data yang dinonaktifkan tidak akan berpengaruh pada penganggaran dan penyaluran bansos. “Tidak berpengaruh lah. Karena jumlah (anggaran) akan mengikuti data. ‘Nanti kalau datanya berkurang, bagaimana ini?’ Kan kita sesuai dengan data.”
Dia pun meminta para penerima bansos untuk tak perlu was-was. Bahwa pemutakhiran data yang sedang dilakukan akan memangkas hak mereka menerima bantuan sosial.
“Saya pikir tidak akan ada yang dirugikan dengan perbaikan data itu kalau memang mereka betul-betul nanti datanya terverifikasi. Pemerintah pasti tetap melayani. Penerima bansos apapun akan tetap menerima kalau memang datanya sudah terverifikasi,” kata dia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina, menyebut masalah data ganda di Kemensos sebenarnya sudah isu lama. Ini juga menjadi janji politik Risma yang mengaku akan memperbaiki dan memperbarui data itu.
Selain kemensos, peran besar pemerintah kabupaten dan kota penting untuk diawasi. Apalagi Risma dan timnya di kemensos menyebut persoalan utama lebih adalah kedisiplinan pemerintah daerah kabupaten dan kota yang tidak semuanya dislipin memperbarui data. Langkah ini sebenarnya telah diatur dalam Permensos No 5 Tahun 2019 jo Permensos No 11 Tahun 2019 tentang DTKS, verifikasi dan validasi DTKS secara berkala paling sedikit dilakukan 1 tahun sekali oleh pemerintah kabupaten ataupun kota.
“Padahal kita tahu bahwa anggaran ini juga terbatas, dalam artian tidak semua warga yang butuh mendapatkan bansos, sehingga perlu betul-betul salurkan kepada pihak yang paling membutuhkan,” ungkap Almas menerangkan ( MDk / IM )