Ketika ia mengikhlaskan cita-citanya sejak kecil, menjadi pelukis, ia sempat ‘terdampar’ di keilmuan Biologi. Tepatnya ia kuliah pada program studi Biologi, Sekolah Ilmu Teknologi dan Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung. “Sejak kecil, (cita-cita) mau jadi pelukis, tapi nggak boleh,” kata perempuan yang akrab disapa ‘Kiko’.
Tapi semasa di bangku kuliah, ia tetap mengisi waktu luangnya dengan melukis terutama dengan cat air. Ketika teman-temannya merayakan ulang tahun, ia memberi kado berupa lukisan hasil karyanya. Di luar ekspektasi, teman-temannya menyukai lukisannya dan memesan untuk koleksi pribadi. “Sejak saat itu, saya terjun (keartisan) lukis seperti yang diinginkan (sejak masih kecil). Awalnya iseng, mengisi waktu luang. Tepatnya tahun 2014, (kebetulan) saya belum punya alat lukis sendiri. waktu masih kuliah sampai tingkat akhir, mau coba melukis sebagai kado kepada teman-teman yang wisuda dan ulang tahun. Karena responnya lumayan, saya mau teruskan saja,” kata Kiko.
Pameran the 4th IWS ini mengambil tema Wonderful Indonesia, diikuti 176 karya dari 176 peserta yang berasal dari 31 negara di dunia. Kendatipun lukisannya terjual, tetapi hal tersebut bukan semata-mata karena mengejar target materi. Bagaimanapun juga, dunia keartisan tidak selalu dibayang-bayangi persaingan antara artis. Begitu pula mengenai harga lukisan yang terjual selama pameran. Kalau ada pengunjung yang tertarik untuk membeli, biasanya artisnya berkomunikasi dengan penyelenggara. “Masing-masing artis tidak ada yang tahu (harga jual satu lukisan karyanya), (harga) tidak bisa dibandingkan. Harga murni dari penilaian artis terhadap karyanya. Di luar juri dan artis yang diundang, tidak ada gap. Lingkaran (aktivitas) artis, itu-itu saja. Artinya, kami justru saling berbagi ilmu, ikut workshop, belajar bersama. Mungkin style, teknik lukisnya saja yang berbeda satu sama lain,” kata Kiko. (sl/IM)