Polwan yang Terbiasa dengan Kekerasan, Kejahatan
dilaporkan: Setiawan Liu

Ketika Redaksi sedang mewawancarai Polwan (Polisi wanita) kelahiran 2 September 1982, sekali-sekali terdengar suara tahanan. Selain, ada beberapa anggota keluarga yang datang mengunjungi tahanan. Ruang tahanan dengan tembok massive dan hanya ada jalusi berkawat. Beberapa tahanan memelototi setiap orang yang lewat, termasuk Redaksi dan Polwan Yolla. Beberapa menyapa, tapi kami tidak menghiraukan. ‘mba Yolla… mba Yolla … itu siapa?’ teriak salah seorang tahanan. Lalu Redaksi sempat memperhatikan jalusi pada tembok yang membatasi ruang tahanan dengan ruangan petugas dan personel Polsek. Sehingga mereka bertanya bersahut-sahutan. ‘Om sedang cari siapa?.’ bahkan ada juga yang ngobrol dengan anggota keluarganya yang mengunjungi dan membawa makanan. Kasusnya mulai dari perampokan, penipuan, narkoba, dan lain sebagainya. Tahanan tersebut masih bisa berkomunikasi dengan anggota keluarganya melalui jalusi. “Ruangan tahanan sumpek dan padat, saya sudah terbiasa karena sudah lama (bertugas). Saya bawa tahanan, mereka sudah bunuh orang, tapi ketika digiring, (yang bersangkutan) tidak sekejam itu. Karena ia sudah mengakui kesalahan, dan menyesal. Suasana tahanan di Polsek, Polres tentunya tidak bisa disamakan dengan yang ada di negara maju seperti di Amerika. Upaya mengurangi kepadatan dalam penjara, humanisasi pada kunjungan keluarga, termasuk kunjungan suami-istri, dan lain sebagainya belum maksimal disini,” katanya.
Sehingga, baginya Polisi juga terus belajar dan belajar untuk meningkatkan profesionalisme serta tetap independen. Selama 17 tahun mengabdi, tepatnya sejak 2004 ketika memasuki Sekolah Polwan di Ciputat Jakarta Selatan, ia mengaku terus terdorong untuk belajar. Pendidikan formal S1 (strata satu), ia mengikuti program studi Teknologi Informasi (TI) Universitas Mercu Buana Jakarta Barat. “Skripsi saya mengenai TI tentang game kaitan dengan desain baju dinas Polri. Karena Polri kan terdiri dari beberapa satuan organisasi termasuk Korps Brimob, Polair (Polisi Air dan Udara) dan lain sebagainya,” kata pemilik nama Tionghoa ‘Chang Mei Xiang’.
Lalu, ia mendapat gelar Magister Hukum dari Universitas Krisnadwipayana. Program S2 (strata dua) dengan tesis mengenai anak narkoba dan rehabilitasi. Anak di bawah umur yang ditangkap karena narkoba di Medan hanya mendapat hukuman tujuh bulan penjara. “Saya tidak setuju. Pada tesis saya, anak tersebut bukan hanya pecandu tapi juga penjual narkoba,” katanya. (sl/IM)
















sekalinya warga Keturunan menjadi salah satu Aparat Negara selalu menonjol atas kemampuannya