Tionghoa Indonesia di Belanda: Dari Diundang sampai Ilegal – Bagian ke-2 Tamat


Joss Wibisono_penulis

Klinik nyeri

Setibanya di Belanda pada tahun 1971, The Gwan Tjaij menjalani pendidikan spesialisasi di Amsterdam,
pada profesor Buruma. Ia merasa beruntung sekali, karena profesor Buruma ini adalah salah satu guru
besar paling terkenal waktu itu dan dia banyak berhubungan dengan Indonesia. “Umpamanya hyper
pression tank yang sekarang masih ada pada Angkatan Laut di Surabaya, itu adalah ciptaan dia,” tutur
The dengan bangga. Dan salah satu murid Buruma, profesor Ludin sangat disenangi. Jadi waktu melamar,
The Gwan Tjaij langsung diterima. Karena dia sudah tahu kualitasnya.

Pendidikan spesialisasi itu dijalaninya selama enam tahun, sampai tahun 1977. “Itu normal sebagai ahli
bedah,” tuturnya. “Setelah lulus sebagai ahli bedah umum, saya masih meneruskan sebagai ahli bedah
vaskular, pembuluh darah dan juga paru-paru”. Ia butuh waktu dua tahun lagi. Zaman itu masih belum
pendidikan formal, sekarang sudah formal.

“Jadi saya ikut latihan di dalam rumah sakit. Karena saya tahun 1977 sampai 1982 masih menjadi staf
Wilhelmina Gasthuis, pada waktu itu kami memperkembangkan bedah transplantasi, bedah vakular dan
bedah paru,” The Gwan Tjaij menjelaskan. Buruma itu adalah satu pionir dalam bidang operasi jantung.
Untuk bidang bedah vaskular, pembunuh darah, The berguru pada profesor Van Dongen, seorang pionir
dalam bidang vaskular. “Jadi itu keberuntungan saya,” tuturnya dengan bangga. Sesudah itu dia pindah
ke wilayah pinggiran, menjadi ahli bedah di kota kecil Bussum, dekat Hilversum, tepatnya di Majella
Ziekenhuis. Karena fusi, rumah sakit itu sekarang menjadi besar, dan kemudian berkembang. Sejak tahun
2005 dia sudah menjalani pensiun.

Walau demikian The Gwan Tjaij tidak benar-benar meninggalkan dunia medis. Ia masih aktif sebagai
wakil ketua perkumpulan dokter-dokter akupuntur Negeri Belanda. Sebetulnya akupuntur ini sudah mulai
diperkenalkan tahun 1992. “Dalam RS kami punya apa yang disebut pain clinic, yaitu poliklinik untuk
nyeri, dan salah satu cara yang dipakai untuk mengatasi nyeri itu adalah akupuntur.” Dari ahli bedah

Prof Buruma

pembuluh darah, dokter The Gwan Tjaij sekarang bergeser menjadi ahli akupuntur

Pelecehan dan penjarahan

Salah satu perkumpulan yang juga aktif digelutinya adalah Akui. Waktu itu, tahun 1998, Yayasan
ini mengurusi orang-orang Tionghoa dari Indonesia yang terus datang ke Belanda. The menjelaskan,
yayasan itu sampai sekarang sebetulnya masih ada, tapi tidak punya aktivitas lagi, maklum sudah tidak
ada korban-korban lagi. Memang waktu itu ada beberapa orang Tionghoa dari Indonesia yang datang ke
Belanda, yang diurusinya bersama beberapa teman lain yang aktif dalam Akui.

Walau demikian, tetap jelas sampai akhir zaman orde baru itu gelombang kedatangan orang Tionghoa
ke Belanda terus berlanjut. The Gwan Tjaij menjelaskan duduk perkaranya. Sebetulnya, kalau mulai dari
pasca G30S, zaman Soeharto, ada gelombang-gelombang datang ke mari, di sebabkan oleh pelecehan
dan penjarahan terhadap etnis Tionghoa. Misalnya waktu pecah Malari tahun 1974. Ini berarti selalu
ada gelombang orang Tionghoa berdatangan ke Belanda. Tapi tidak banyak. Karena setelah tahun 1975
masuk negeri Belanda, itu dipersulit oleh pemerintah Belanda.

Prof Lupin

Tahun 1998 ada beberapa orang Tionghoa datang sebagai pengungsi. Dan ini bisa dikatakan sebagai
gelombang terakhir. Setelah tahun 2000, sampai sekarang, itu banyak yang masuk sebagai pembantu
rumah tangga. “Pembantu yang ilegal sebetulnya,” The Gwan Tjaij berterus terang. Tapi, dia
menambahkan, ini bukan cuma orang Tionghoa, tapi juga banyak orang Indonesia lain.

Pembedaan Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia sekarang sudah tidak lagi. “Di Belanda juga
tidak, sudah lama tidak,” tegas The Gwan Tjaij. Kalau begitu bagaimana dia bisa membedakan mereka
yang legal dari yang ilegal? “Kalangan ilegal ini,” demikian dokter The, “datang ke gereja-gereja kami.
Kami membantu dan memberi pembinaan dan kadang-kadang memberi perawatan kalau ada sakit,
soalnya mereka tidak punya asuransi. Pokoknya kita tampunglah dan coba memberi jalan.” Selain itu,
juga diadakan coaching. Akhir-akhir ini banyak instansi Belanda bergabung dalam LOS, Landelijk
Ongedocumenteerd Steunpunt, organisasi bersama ini membantu kalangan ilegal. Kata bahasa Belanda
ongedocumenteerd berarti tanpa surat-surat. Tentu saja ini bukan melulu orang Indonesia.

Prof van Dongen_

Sering terjadi

Selain itu, kelompok juga memberi mereka pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak kalangan tidak

Wilhelmina Gasthuis

punya surat-surat ini. Sebab biarpun tidak punya dokumen resmi, mereka tetap punya hak. Malah di
Belanda kalangan yang tidak punya surat tetap bisa menjadi anggota organisasi buruh. The Gwan Tjaij di
lain pihak juga ketua perkumpulan beberapa gereja kalangan pendatang di Belanda, mereka bersatu dalam
apa yang disebut SKIN, Samen Kerk in Nederland, gereja bersama di Belanda. SKIN mengeluarkan
protokol tentang penjualan dan penyelundupan manusia, untuk membantu gereja-gereja menangani
masalah ini.

Dengan hak yang dijamin dan prasarana yang ada, apakah itu justru tidak mengundang orang untuk
datang ke Belanda secara ilegal? The Gwan Tjaij segera membantahnya, “bukan itu tujuan kami”.
Kalangan ilegal ini sudah ada di Belanda, bukankah lebih baik membantu mereka? Dokter The
berlanjut, “Bantuan yang diulurkan bukan saja memberi tempat penampungan, tapi juga memberi jalan
untuk kembali ke Indonesia.” Kembali ke Indonesia biasanya diurus oleh IOM, International Organisation
for Migration (Organisasi Migrasi Internasional) dan IND, yaitu polisi orang asing Belanda. Melalui
keduanya, kembali ke Indonesia bisa diatur dengan baik. “Ini sudah sering terjadi,” tegas The Gwan
Tjaij.(rnw/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *