Orang Jakarta “asli” itu merupakan percampuran dari seluruh etnis berbagai negara di dunia, yang masuk ke kawasan ini sejak beberapa abad silam.
Demikian salah satu benang merah kajian yang terangkat dalam diskusi terbatas di di Jakarta, Rabu (25/5), dengan mengangkat tema khusus: VOC, Pedagang atau Penjajah, dihadiri lebih 20-an tokoh beraneka latar, termasuk mantan menteri.
Dalam diskusi yang menampilkan pakar sejarah Djoko Marihandono, Batara R Hutagalung, serta Harto Juwono itu, terungkap pula bahwa Batavia sebetulnya merupakan nama sebuah suku di Negeri Belanda.
“Ini kemudian diadopsi jadi Betawi. Dan karenanya, sebenarnya tak ada orang asli Betawi. Yang ada ialah percampuran etnik dari mana-mana, (mungkin dari seluruh dunia), termasuk Eropa, Arab, Tionghoa, bahkan Afrika, termasuk dari Nusantara,” ujar Batar Hutagalung.
Diskusi ini kemudian menyimpulkan, inilah pentingnya alasan perlu terus menggali sejarah, demi menemukan jatidiri serta nilai-nilai kebenaran untuk menghantar kepada perbaikan serta kemajuan.
Selain latar dan dinamika kota Jayakarta, Sunda Kelapa, Batavia, hingga Jakarta, para pembicara serta peserta diskusi juga menguliti kiprah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang atau bahkan koperasi kecil yang kemudian berkembang jadi raksasa bisnis global di masa itu.
Harto Juwono dan Batara Hutagalung bahkan sepakat menyatakan, inilah “BUMN” Belanda yang sesungguhnya hanya merupakan kongsi dagang kecil, tetapi kemudian menjadi sebuah lembaga berkuasa besar.
Betapa tidak, kata keduanya, VOC ternyata kemudian mendapat hak bikin angkatan perang, cetak duit, bisa membuat sertifikat tanah, bahkan berkuasa menangkap atau menghajar para raja (serta sultan) yang enggan atau menolak diajak bekerja sama.
Mereka, kata Harto Juwono, dengan sangat tidak adil memperlakukan penduduk tempatan dalam hal kepemilikan tanah. “Soal kepemilikan tanah, ada ketidakladilan, yakni, orang timur asing asal Tionghoa dan Arab diberi (sertifikat) tanah sangat banyak dan besar-besar, sementara bumiputera gigit jari,” tandasnyua.
Proses penindasan dan penghisapan (atas sumber kekayaan alam), kata Djoko Marihondo, berlanjut pada pemberdayaan tenaga manusia.
Mereka, menurutnya, sewaktu-waktu disiapkan sebagai “senjata pemukul” atau “peralatan perang” untuk mempertahankan koloni, di samping disuruh kerja paksa di berbagai industri maupun pekerjaan infrastruktur.
Batara Hutagalung kemudian membeberkan sikap tidak simpatik Belanda yang baru mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada atanggal 17 Agustus 2005 atau setelah 60 tahun Bung Karno membacakan teks proklamasi. “Kami kini sedang melakukan aksi menggugat mereka. Dan perjuangan ini tidak hanya di sini, tetapi hingga ke tanah Belanda,” katanya.
Belanda sesungguhnya, menurutnya, telah menyerah kepada Jepang dan otomatis tidak lagi ada di bumi Nusantara sejak medio 192. “Kemudian, Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Nah, dalam kevakuman itulah, Bung Karno tampil menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945,” tandasnya.
Selain soal pengakuan atas eksistensi yang sangat terlambat dari Negeri Belanda, para pakar sejarah itu juga sudah serta sedang melakukan gugatan-gugatan lain terkait tindak semena-mena penjajah Belanda di beberapa daerah di Indonesia