Surat dari Beijing: Buddha di Negeri “Ateis”


Provinsi Hebei, Tianjin, dan Shanxi yang ada di belahan utara Beijing adalah bagian penting arus perdagangan sutra yang dikenal sebagai “Silk Road”.  Beberapa waktu lalu, kami menelusuri arus perdagangan ini dari Timur ke Barat.

Dimulai dengan kunjungan ke Datong, kota di Shanxi yang berpenduduk sekitar 580.000 jiwa. Terletak di selatan Mongolia Dalam, daerah ini adalah tempat penggalian batu bara. Karenanya, polusi udara, kontaminasi air, dan lain-lain yang bersifat merusak alam banyak kita dapati. Hal tersebut mengingatkan saya pada hutan-hutan rusak di Kalimantan.

Di Datong, penduduk kerap protes terhadap polusi tersebut. Amerika, yang khawatir akan kemajuan Tiongkok, dengan penuh semangat sering menulis soal polusi di negara ini. Datong memang miskin, walaupun pernah dua kali menjadi ibu kota Dinasti “Northern Wei” (386-534 M) dan “Liao” (907-1125 M).

Kedua dinasti ini bukan asli Tiongkok. Mereka federasi pendatang nomad yang berbahasa Turki, bernama Tuoba. Sebagai invader yang memasuki wilayah Tiongkok, akhirnya mereka beralih menganut Buddha dan berasimilasi dengan penduduk dan kebudayaan asli.

Tuoba terkenal karena mereka membangun “Yungang Caves” (Gua Yungang) sekitar 400 M. Patung-patung Buddha di sini adalah yang paling terdahulu atau tertua ditemukan di negara ini.

Berbeda dengan patung-patung Buddha yang dibuat dari terakota yang kami temui di Dunhuang dan Kuqa, di Yungang patung-patung dipahat dari batu keras. Salah satu sebab mengapa Tuoba membuat patung-patung berbeda yaitu karena mereka adalah masyarakat sebelum munculnya julukan Tiongkok sebagai “The Middle Kingdom”.

Nuansa patung-patung ini ini dipengaruhi kebudayaan India, Persia bahkan Yunani. Ini terlihat dari 1.000 Buddha yang dikelilingi “apsara” (malaikat dengan pakaian sutra; pengaruh dari India). Juga, warna turquoise, kuning tua, dan lain-lain yang adalah warna-warna khas dari Asia Tengah.

Tuoba memahat patung-patung ini lebih dari 60 tahun lamanya dan berakhir saat mereka memindahkan ibu kotanya ke Luoyang. Patung-patung sebanyak 50.000 buah tersebut terletak di 252 gua sepanjang 1 kilometer. Sayang, hanya tinggal 21 grottoes, karena banyak yang dulunya terletak di kuil yang terbuat dari kayu sudah hilang.

Menghargai

Memang sangat menakjubkan bila kita mengelilingi gua-gua yang penuh dengan pahatan Buddha dalam posisi yang berbeda-beda ini. Tidak saja dari ukurannya yang sangat besar, tetapi juga detail pahatan yang kita temukan.

Kita harus mengangkat topi bagi bangsa yang dapat menjaga dan menghargai kebudayaan semacam ini. Walaupun Tiongkok sadar bahwa yang membangun patung-patung ini adalah invader atau bangsa pendatang.

Waktu saya memandang patung-patung di Yungang ini, saya hanyut pada kesedihan. Mengapa kaum muslim, yaitu Taliban, melenyapkan patung Buddha bersejarah di Afganistan beberapa tahun yang lalu? Mengapa kaum muslim bersikap seekstrem itu. Bukankah kita semua harus saling menghargai semua ciptaan Tuhan, apa pun kepercayaan kita?

Di Yungang, banyak pengunjung yang membeli “Incense Sticks” yang kemudian dibakar di depan patung-patung tertentu sambil mereka bersujud di depannya. Pengunjung lainnya memilih jalur lain agar tidak mengganggu mereka yang sedang bersembahyang ini. Pengunjung lainnya pun tidak mengeluarkan suara keras untuk menjaga kekhidmatan.

Gambaran ini adalah substansi Pancasila kita in action, bukan hanya sekadar slogan. Dalam suasana semacam ini, kami heran kalau masih ada golongan yang mengkhawatirkan Tiongkok sebagai negara komunis yang notabene dianggap ateis.

Biara Gantung

Yang menarik lagi adalah Hanging Monestry (Biara Gantung) karena letaknya di celah-celah jurang pegunungan tinggi, 65 km dari Datong, satu dari lima pegunungan Sacred Daoist dengan tinggi puncak 2.000 meter dari permukaan laut.  Pertama kali biara atau kuil ini dibangun oleh Northern Wei, tetapi  banjir Sungai Heng yang mengalir di bawah pegunungan tersebut telah melenyapkan beberapa bangunan biara ini.

Karenanya, apa yang kita dapati sekarang adalah peninggalan dari Dinasti Qing. Terdiri dari 40 kuil alamiah, hanya luarnya dibuat dari kayu. Tiap kuil dihubungkan dengan jalan di atas jembatan yang sempit.

Di sini terdapat patung-patung Konfusius, Buddha, dan Daoist yang dibuat dari batu, perunggu, dan besi. Di Sanjiao Dian (Three Religious Hall) terdapat patung Konfusius, Buddha, dan Laozi, di mana ketiganya duduk bersama.

Di Indonesia kita juga memiliki candi-candi peninggalan dari kepercayaan yang berbeda. Candi Borobudur untuk penganut Buddha dan Candi Prambanan untuk penganut Hindu. Belum lagi candi-candi lain di Trowulan, Jawa Timur, dan di sekitar Wonosobo. Sebelum terlambat, marilah kita menjaga peninggalan leluhur kita dengan baik.

Ini mengingatkan saya pada tulisan Henry Kissinger dalam bukunya On China: ”I have come to admire the Chinese people, their endurance, their subtlety, their family sense, and the culture they represent.”

(Aku datang untuk mengagumi orang-orang China, daya tahan mereka, kehalusan mereka, rasa keluargaan mereka, dan budaya yang mereka wakili). Kita harus berusaha agar ada tokoh dunia yang pada satu saat dapat menulis hal serupa tentang bangsa dan negara kita.

*Penulis buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Times Publishing International, Singapura, 2003 dan Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, Marshall Cavendish, Singapura, 2007.

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *