Sengketa Yayasan – Eksekusi Menanti Trisakti


AKHIRNYA Universitas Trisakti kembali ke pangkuan Yayasan Trisakti.” Kalimat ini diucapkan Abi Jabar saat membuka konferensi pers di Tamani Cafe, Jakarta Pusat, Selasa siang dua pekan lalu. Sekretaris Umum Yayasan Trisakti ini lega karena Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis dalam sengketa pengelolaan dan aset universitas di Jakarta Barat ini.

Salinan putusan itu diterima Yayasan, 5 Januari lalu. Sebelumnya pengadilan banding telah memenangkan Yayasan Trisakti sebagai pihak yang berhak mengelola Universitas Trisakti. “Yayasan juga sekaligus pemilik uang pembayaran mahasiswa yang dibayarkan ke universitas,” demikianlah petikan putusan itu.

Senin dua pekan lalu, Abi dan beberapa pejabat Yayasan mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Barat meminta dilakukannya eksekusi. Soalnya, dalam gugatan mereka, Yayasan meminta Thoby Mutis dan delapan pejabat Universitas yang menjadi tergugat keluar dan dilarang menginjak area kampus.

Pihak Universitas menyambut keputusan itu dengan santai. Thoby tak berminat menerangkan lagi soal ini. Ia mendelegasikan penjelasan seputar konflik ini kepada Advendi Simangunsong, juru bicara Universitas Trisakti. Dosen hukum ini juga menjadi tergugat II dalam perkara tersebut. “Kami tawarkan dialog yang setara,” katanya. “Dengan catatan, Yayasan bukan sebagai majikan atau pemilik Universitas,” katanya.

l l l

KONFLIK di universitas swasta terbesar di Ibu Kota ini meledak saat berakhirnya periode pertama Thoby Mutis sebagai rektor. Sebelumnya, pada 1998, Yayasan mengangkat bekas Direktur Dewan Koperasi Indonesia ini untuk jabatan rektor selama empat tahun. Namun, pada 4 September 2002, lima hari sebelum jabatan rektornya berakhir, Yayasan memecat Thoby.

Pemecatan itu dilakukan karena Thoby menerbitkan Statuta Universitas Trisakti 2001R sebagai pengganti statuta 2001. Dalam statuta ini, Thoby menghapus keberadaan Yayasan dan menggantinya dengan Badan Hukum Pendidikan. “Semangat penggantian itu karena Pak Thoby dan kami ingin meluruskan sejarah,” kata Advendi.

Kelompok ini memiliki penafsiran berbeda perihal awal mula terbentuknya Trisakti pada 1965. Syahdan, universitas ini berdiri sebagai penerus Universitas Res Publica milik Yayasan Baperki yang diduga terkait dengan Gerakan 30 September 1965. Pemerintah mengambil alih, lalu dua bulan kemudian mengganti namanya.

Sebagai universitas swasta, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Syarif Thayeb membentuk Yayasan Trisakti pada 27 Januari 1966. Inilah yang dipersoalkan Thoby. Thoby menilai Universitas dan Yayasan tak punya pertalian apa pun menyangkut aset dan pengelolaan karena berdiri setelah Universitas. “Jadi Yayasan tidak mendirikan Universitas,” kata Advendi. Menurut dia, tak ada satu kata pun dalam akta yang menyebut peran dan fungsi Yayasan di universitas ini.

Tapi tak demikian dengan Yayasan. Yayasan menganggap mereka berhak menentukan “hitam-putih” Universitas. Dasarnya, surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 31 Desember 1979. Lewat surat itu, Daoed menyerahkan pembinaan dan pengelolaan Universitas berikut seluruh aset kepada Yayasan. Belakangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi juga mensyaratkan universitas swasta dikelola oleh lembaga nirlaba.

Thoby menganggap surat Menteri Daoed itu cacat hukum karena mencampuradukkan pengelolaan dan aset. Thoby menyitir Indische Comptabiliteit Wet, hukum pemerintah kolonial yang menjadi dasar hukum perdata Indonesia, yakni aset-aset limpahan dikuasai dan dikelola Departemen Keuangan.

Dialog antara kubu Thoby dan Yayasan tak pernah mencapai kata sepakat. Belakangan, muncul Solidaritas Penerima Ijazah Palsu yang melaporkannya ke polisi. Perkumpulan ini mewakili lebih dari 16 ribu alumnus Trisakti dan menganggap Thoby tak sah sebagai rektor setelah dipecat Yayasan. Thoby bergeming. Hingga hari ini, dia terus menjadi rektor. Padahal Peraturan Pemerintah tentang Perguruan Tinggi hanya membolehkan rektor menjabat dua periode.

Konflik kian runcing karena masing-masing pihak mengajukan saksi dan bukti. Soekisno Hadikoemoro, misalnya. Anggota panitia pengalihan aset yang ditunjuk Daoed Joesoef ini membuat pernyataan bahwa lima orang yang ditunjuk itu tak pernah bekerja. “Sehingga pengalihan aset tak pernah terlaksana,” tulisnya pada 10 April 2003. Artinya, aset Trisakti milik negara, bukan Yayasan.

Juga keputusan Syarif Thayeb ketika membekukan Res Publica pada 1965. Sjarif saat itu menunjuk tujuh orang sebagai presidium sementara untuk mengelola universitas baru tersebut. “Seharusnya presidium inilah yang mengelola Universitas Trisakti,” kata Advendi. Soalnya, meski dibubuhi kata “sementara”, tak dicantumkan kapan masa kerja tim ini.

Seiring dengan itu, Departemen Pendidikan merestui badan hukum Trisakti. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Satrio Brodjonegoro menyatakan bahwa badan itu bakal menjadi model badan hukum pendidikan untuk universitas swasta. Sebaliknya, Departemen Hukum menolak permohonan pendaftaran badan hukum ini. Alasannya, peraturan pemerintah hanya mengatur badan hukum untuk perguruan tinggi negeri. Swasta dipersilakan mengelola dan mengaturnya sendiri di bawah yayasan.

Anehnya, meski ditolak, lembaran negaranya muncul dengan tanggal sebelum penolakan Departemen Hukum. “Setelah diusut, nomor ini palsu karena dicatut milik Perkumpulan Pendidikan Nasional yang mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia di Surabaya,” kata Abi Jabar.

Saling gugat pun tak terhindarkan. Ada banyak nama tenar terlibat dalam sengketa ini. Di belakang Yayasan ada pendiri Trisakti, Harry Tjan Silalahi, Anak Agung Gde Agung, dan pengusaha George Tahija. Sementara itu, Thoby Mutis didukung para mantan rektor, dekan, dan pejabat Trisakti lainnya. “Konflik ini bukan antara Yayasan dan Universitas, tapi Yayasan dan Thoby cs,” kata Abi.

Masing-masing mengajukan dokumen dan peraturan yang melatari pendirian universitas tersebut. Tak hanya soal hak pengelolaan, gugatan melebar ke soal-soal lain. Setidaknya ada tujuh perkara yang mereka perebutkan. “Kami menang dalam perkara pemakaian nama dan logo,” kata Advendi.

Sebenarnya Mahkamah Agung sudah memutus perkara hak pengelolaan pada 2002. Namun keputusan ini tak bisa dieksekusi. “Kami mengajukan gugatan ulang hingga menang di kasasi kemarin itu,” kata Abi. Kali ini gugatan disertai permohonan eksekusi.

KONFLIK ini pun tak urung berimbas ke kampus. Menurut Abi Jabar, kemerosotan yang signifikan terjadi pada jumlah mahasiswa. Mahasiswa Trisaksi, yang dulu pernah mencapai 30 ribuan orang, kini jumlahnya menurun drastis. Advendi mengakui mahasiswa Trisaksi kini tinggal 20 ribu. “Tapi jumlah mahasiswa turun, bukan berarti kualitas merosot,” katanya.

Dengan kampus utama di tiga lokasi sebanyak sepuluh gedung dan sepuluh lantai, juga aset tanah di banyak tempat, kampus ini memang seksi diperebutkan. Menurut Abi, jumlah dana abadi yang bersumber dari iuran mahasiswa di rekening BNI Harmoni mencapai Rp 140 miliar pada 2002. “Tapi tahun lalu jumlahnya tinggal Rp 970 juta,” katanya.

Menurut Advendi, rekening itu milik Universitas dan dipakai untuk kepentingan kampus. “Kalau tak dipakai, 6.000 karyawan mendapat gaji dari mana?” katanya. Ia dan kuasa hukum Universitas Trisakti kini tengah menyiapkan novum untuk mengajukan peninjauan kembali.

Pengadilan belum menjadwalkan penyitaan. Menurut Abi, jika Universitas sudah resmi kembali ke Yayasan, pihaknya akan membuka posko tanda tangan ulang ijazah oleh rektor pilihan Yayasan untuk sekitar 30 ribu alumni yang lulus sejak 2002.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *