Menyusup Ring Satu – Bagian ke-10


Tiga Dilepas demi Revolusi

RUMAH tingkat dua di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu berbagi tembok dengan dinding parit. Luasnya sekitar 30 meter persegi, dengan tegel abu-abu yang kusam. Dindingnya cuma semen yang belum dipelur. Itulah bekas rumah Paulus al-Gadri dan istrinya, Paulina Sukarti. Keduanya, yang baru bebas dari tahanan politik era Soeharto pada 1980-an, menikah pada 1985. Kini rumah itu ditempati para tukang servis jok dan sofa.

Tetangga sekitar mengenalnya sebagai Ibu Karti yang jago matematika dan Pak Gadri yang pandai bahasa Inggris. Rusminah, pemilik warung di pojok jalan ke gang rumah tersebut, menilai tetangganya itu sebagai dermawan. “Suka kasih uang jajan ke anak saya, yang sudah dianggap cucunya sendiri,” ujar nya. Kedua tokoh ini bukanlah pribadi sembarangan. Paulina Sukarti pernah menjadi aktivis Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia, salah satu organisasi massa Partai Komunis Indonesia. Adapun Paulus al-Gadri, lulusan Akademi Hukum Militer, adalah oditur berpangkat kapten Angkatan Darat di Hakim Militer Jakarta. Jabatan penting terakhir yang dipegangnya adalah Kepala Rumah Penjara Tentara di Cimahi pada 1952.

“Orangnya pintar tapi lurus banget, kayak si Kabayan,” kata Uchi Kowati, keponakan Sukarti, tentang pamannya. Karena sifatnya yang lempeng dan dermawan itu, Uchi awalnya tak percaya Al-Gadri adalah putra Musso. Apalagi tantenya berkata, “Halah, anak Musso kok kayak begitu.”  Saat membangun rumah, Al-Gadri sering mempersilakan tukang batunya bekerja setengah hari. Apalagi saat dia lihat para pekerja sudah letih. Tinggal Sukarti yang geleng-geleng kepala.  Lain waktu, Al-Gadri yang justru marah kepada istrinya. Baginya, ilmu harus dibagi. Memberikan les sama dengan menjual ilmu kepada orang lain. Sukarti memberikan les fisika, kimia, dan matematika kepada anak sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas untuk mencari nafkah. Setelah diterangkan, les yang dia berikan tak sama dengan menjual ilmu, Al-Gadri paham. Ia pun memberikan les bahasa Inggris bagi beberapa guru. “Dia cuma dibayar Rp 5.000,” kata Uchi.

Uchi baru percaya pamannya ini bukan sembarang orang saat Al-Gadri serius mencari kerabat dan keturunan Musso di Rusia sejak 1990. Sampai tahun 2000, ketika Al-Gadri meninggal di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia karena kanker, rekan-rekannya di Eropa masih membantunya mencari keluarga Musso di Rusia.  Al-Gadri menganggap Uchi putri sendiri sehingga mempercayakan surat-surat penting dan barang berharga miliknya. Termasuk barang mewah pada zamannya: arloji emas kebanggaan sang paman, yang rusak dan tak terawat, tapi selalu saja dipakai. Aneh, dia kan enggak kerja, ngapain pakai arloji, pikir Uchi. Ia menyarankan agar arloji itu dijual, tapi ditolak Al-Gadri. Karena, “Ini sudah menemani saya sejak saya masih di luar penjara,” katanya kepada Uchi.

PADA Agustus 1948, sepulang dari Cekoslovakia, Musso berkekelimhke daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyebarkan “Jalan Baru”-nya. Di kantor PKI di Bintaran Wetan, Yogyakarta, Musso bertemu dengan putranya, Margono, dan istrinya (sejauh ini Tempo belum mendapatkan namanya), yang ditinggalnya saat ke Rusia pada 1926.  Saat itu Musso memberikan arloji kepada Margono. Arloji pada masa itu merupakan barang mewah. Tapi, sebagai pejabat di Komunis Internasional, Musso bisa mendapatkannya. Jabatan terakhirnya Ketua Biro Asia dan Timur Tengah. Dan itulah pertemuan pertama dan terakhir Musso dengan putranya. Dia berpesan, “Setelah kamu pulang, kamu mesti siap berjuang demi revolusi.”

Soerjono alias Pak Kasur-suami pencipta lagu anak Ibu Kasur yang menjadi anggota Gerakan Kepanduan Indonesia, menulis peristiwa itu dalam catatannya yang berjudul “On Musso’s Return” yang diterjemahkan Benedict Anderson. Uchi tak tahu cerita tentang Margono sampai arloji itu muncul. “Bisa jadi arloji yang sama, bagus banget, tapi tak dirawat.” Yang pasti, selain dari arloji, Uchi melihat ciri fisik Al-Gadri mirip postur Musso, hitam dan tinggi besar. Ia menduga Al-Gadri nama samaran, karena merupakan nama marga di Timur Tengah. Paulus nama baptisnya sebagai Katolik, keyakinan yang dia pilih setelah sering bertemu dengan pendeta.

Al-Gadri pernah bercerita sejak kecil dia diasuh Murdoko, petani di Kediri. Nama Musso lebih baik menghilang di Kediri karena sejak 1924, sudah menjadi buron Belanda. “Dia cuma tersenyum kalau ditanya nama aslinya,” ujar Uchi. Menurut Smaun Oetomo dari Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru, nama para anggota PKI sudah diincar. “Karena komunis di dunia ingin menghantam penjajahan, langsung konfrontasi,” ujar bekas Ketua Buruh Kereta Api itu. Ada pula kisah Mariana Winarni, putri Al-Gadri. Menurut Mariana, ibunya, Samsirah, bercerai dengan ayahnya, karena belakangan tahu ayahnya keturunan Musso. “Setelah itu, Ibu tak pernah cerita apa pun soal ini, apalagi soal Kakek (Musso),” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Magetan.

Tentara Belanda

Waktu menikah, dia memakai nama Mohamad al-Gadri, kelahiran Surabaya, 2 April 1926. Tapi, ketika Al-Gadri ditangkap, lingkungan di Magetan tahu dia keturunan Musso. Samsirah hanya tahu suaminya tentara bergelar sarjana hukum militer. Latar belakangnya terbongkar ketika diciduk Resimen Para Komando Angkatan Darat. Dia dituduh memimpin pasukan mengambil alih Radio Republik Indonesia dalam peristiwa Gerakan 30 September. Al-Gadri menilai operasi itu cuma jebakan untuk menjerat dia. Ketika datang, sudah banyak senjata terkumpul, tapi dia dituduh yang menaruh. Uchi tak tahu pasti kapan tentara mengetahui Al-Gadri putra Musso. “Mungkin sebelum 1965, makanya dijebak.” Dia bebas setelah 16 tahun mendekam di penjara Salemba dan Cipinang, lebih singkat daripada vonis Mahkamah Militer Luar Biasa selama 20 tahun.

Sekeluar dari penjara, Al-Gadri tak pernah bertemu dengan anaknya, Mariana, dan kakak Mariana, Winarno. Ketika keluar dari penjara, dia ditampung seorang pendeta di rumahnya, di bilangan Pakubuwono, Kebayoran Baru. Di sana Samsirah menemui Al-Gadri setelah menerima surat Al-Gadri yang menyatakan dia ingin bertemu istri dan anaknya. Tapi Samsirah datang tanpa putra-putrinya itu. Dia datang hanya untuk mengakhiri hubungan. Meski karier militernya yang cemerlang jatuh dan dicerai karena keturunan Musso, Al-Gadri mengaku tak kecewa. “Saya bangga jadi anak Musso,” ujarnya kepada Uchi.

Al-Gadri akhirnya bertemu dengan Mariana dan Winarno kala dia koma di rumah sakit. “Kami cuma sempat pegangan tangan dengan Bapak, besoknya Bapak meninggal,” ujar Mariana. Bersama anak dan cucunya, Mariana kini tinggal di rumah kontrakan seluas 70 meter persegi, tak jauh dari rumah dia dan ibunya, Samsirah. Sebagai penyambung hidup, Mariana bekerja sebagai penjahit. Kakaknya, Winarno, meninggal pada 2002.  Sambutan kepada tetamu dari Indonesia di rumah Profesor R. Intojo selalu meriah. Maklum, flat sastrawan Pujangga Baru di Moskow, Rusia, itu jadi rendezvous orang Indonesia. “Karena kami keluarga nondiplomat, sering banyak yang berkunjung tanpa sungkan.” Para tamu selalu suka masakan Indonesia buatan ibunya, seperti ayam goreng dan semur daging.

Intojo dikirim Presiden Sukarno pada 1956, sebagai janjinya kepada Uni Soviet mengirim pakar mengajar bahasa dan sastra Indonesia ke Negeri Beruang Merah. Vidji Utami Intojo, putri sulung sang profesor, masih ingat perawakan Musman Pavlov dan Sunar Musso yang tinggi dan berkulit cokelat seperti Musso. “Seperti orang bule sepekan di Asia,” kata eks pengajar bahasa Indonesia di Institut Hubungan Internasional itu. Mereka sering ke rumahnya yang cuma empat kilometer di Jalan Leninsky Prospekt. Bangunan flat di jalan ini untuk kalangan kelas menengah ke atas. Luas rata-rata flat sekitar 80 meter persegi. Intojo memperkenalkan Musman dan Sunar kepada Ami-sapaan Vidji Utami -yang kala itu masih 11 tahun, sebagai anak Musso, orang yang lama tinggal di Uni Soviet. “Saya tahu Musso dari buku sejarah Uni Soviet,” kata Ami.

Sunar, anak perempuan Musso dari pernikahan pertamanya di Rusia, lulusan Jurusan Bahasa Indonesia Institut Ketimuran Moskow. Musman, anak dari pernikahan Musso yang kedua dengan Lydia Pavlova-Musman memakai nama belakang keluarga ibunya-kala itu berumur 18 tahun, dan mahasiswa baru Institut Bahasa Asing Moskow. Di Rusia, Sunar menjadi aktivis seperti ayahnya. Dia anggota Gerakan Buruh Internasional di Moskow. Hingga akhir 1960, meski sakit-sakitan, dia masih aktif di sana. Pada 1970, Sunar meninggal tanpa sempat berkeluarga. Adapun Musman bekerja sebagai penerjemah bahasa Jerman dan Rusia. Ia meninggal tiga tahun lalu dan meninggalkan seorang putri.

Meski hidup tanpa sorotan publik di Moskow dan sedikit yang kenal mereka sebagai keturunan Musso, Ami melihat mereka bangga dengan ayahnya. Mereka tahu ayahnya sedikit dari orang Indonesia yang menjadi petinggi di Uni Soviet. “Waktu kecil mereka tahu banyak tokoh politik seluruh dunia bergabung dengan Komintern,” ujar lulusan Sejarah Kesenian Universitas Lomonosov, Moskow, itu. (tempointeraktif/IM) (bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *