Sebutan Cina Untuk Etnis/Peranakan Tionghoa Bertentangan Dengan UUD 1945

Oleh : Go Sien Ay

Sejak Rezim Orde Baru yang totaliter berkuasa, salah satu “kebijaksanaannya”
ialah dengan menghapuskan sebutan Tionghoa dan Tiongkok dan diintrodusirlah
sebutan Cina, baik untuk etnis Tionghoa maupun negara Tiongkok.

Bagi orang-orang Tionghoa, baik yang telah menjadi warganegara Indonesia
maupun berstatus asing, semua disebut Cina. Apakah ini mungkin sebagai suatu
shock terapi agar orang-orang Tionghoa tidak mentang-mentang dan besar
kepala, karenanya selalu “dikerdilkan” dengan menyebutnya Cina?

Banyak etnis Tionghoa, terutama dikalangan generasi tua, merasa, bahwa
sebutan Cina itu merupakan suatu tamparan yang menyakitkan, karena secara
psykologis seolah-olah terjadi suatu degradasi atas diri mereka entah berapa
derajat.

Dikalangan keluarga Tionghoa yang sejak lama menerapkan pengertian, bahwa
anak-anak mereka adalah warganegara Indonesia atau bangsa Indonesia tanpa
embel-embel “keturunan Tionghoa’ dengan harapan mereka akan menjadi
insan-insan bangsa Indonesia yang mencintai negeri ini sebagai tanah-airnya
tunggal dan berusaha sekuat tenaga untuk memakmurkan dan mensejahterahkan
rakyat Indonesia, tanpa prasangka rasial.

Pernah seorang insinyur mengeluh kepada penulis, bahwa ia dan istrinya telah
menerapkan pendidikan dan pengetahuan seperti tersebut diatas terhadap
anak-anak mereka. Mereka sangat terkejut, ketika pada suatu siang, begitu
pulang dari sekolah anak-anaknya yang masih duduk di SD bertanya kepada
mereka, mengapa ketika anak-anak tersebut berjalan kaki menuju kerumahnya
karena letak sekolah dengan rumah mereka dekat mereka diteriaki :
“Cina…….Cina……Cino……Cino …” yang nadanya bersifat permusuhan, padahal
sebelumnya tak pernah mengalami kejadian semacam itu. Dengan berat dan
menyesal serta kecewa sekali, terpaksa sang ayah menyampaikan penjelasannya.

Pada awal kepemimpinannya Jenderal Soeharto telah bertekad, bahwa
pemerintahan Orde Baru akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekwen. Hal ini telah didengung-dengungkannya kepada setiap
kesempatan, begitu juga jajarannya. Ternyata janji itu tak ditepatinya.

Salah satunya ialah dengan menghapuskan sebutan Tionghoa dan menggantinya
dengan sebutan Cina, padahal ini bertentangan dengan UUD 1945.

UUD 1945 dengan penjelasannya merupakan suatu kesatuan konstitusi tak
terpisahkan yang harus ditaati oleh Pemerintah dan segenap rakyat Indonesia,
serta penduduknya. Termasuk juga pembukaan UUD 1945 dan Piagam Jakarta.

Memisahkan penjelasan dari UUD 1945 adalah suatu pengibirian serius,
lebih-lebih jika ini dilakukan penguasa demi untuk melanggengkan
kekuasaannya. Di negara manapun, penjelasan suatu UUD tidak dapat dipisahkan
daripada bab-bab, pasal-pasal dan ayat-ayat dalam batang tubuh UUD itu,
karena itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan konstitusi.

Coba sidang pembaca menyimak BAB X UUD 1945 berjudul warga negara. Pasal 26
(1) berbunyi :

Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.

Pada PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA di BAB X
berjudul Warga Negara, pasal 26 (1) dinyatakan, bahwa :

Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan
Tionghoa dan peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik
Indonesia, dapat menjadi warga negara.

Jelaslah sudah disini tertulis dengan gamblang peranakan Tionghoa dan sama
sekali tidak menggunakan istilah peranakan Cina.

Dalam UUD 1945 sama sekali tak ada sepatahpun yang menyebutkan “CINA” jadi
mengganti sebutan Tionghoa dengan sebutan Cina adalah bertentangan dengan
UUD 1945, Konstitusi sah negara Republik Indonesia, karenanya merupakan
pelanggaran serius.

Yang mengherankan ialah baik dijajaran rezim Orde Baru maupun dikalangan
kebanyakan wakil-wakil rakyat yang tergabung di DPR atau DPRD-DPRD selama 32
tahun cukup tutup mulut saja, karena bukankah Silent is Gold?

Kalau mungkin ada yang melakukan koreksi, kenyataannya “Biar anjing
mengonggong kafilah tetap berlalu.”

Yang lebih mengherankan lagi ialah ketika rezim Orde Baru runtuh dan
bergulir masa Reformasi, walaupun terjadi euphoria dengan mengganti sebutan
Cina menjadi Tionghoa, namun hal ini berlangsung sebentar saja, sampai
kinipun masih banyak sebutan Cina disamping sebutan Tionghoa, yang berarti
melestarikan pelanggaran UUD 1945 walaupun telah diamandemen, tanpa ada
sanksinya.

Meskipun ada beberapa orang yang rikuh menyebut Cina menurut lafalnya dan
menggantinya dengan berbunyi Caine (seperti sebutan China dalam bahasa
Inggris) tokh sebagian besar orang masih menyebut Cina, begitu juga kalau
menyebut Tiongkok walaupun ditulis China tetap dieja “Cina”, hanya beberapa
orang saja yang menyebut Caine atau Tiongkok seperti Megawati Soekarnoputri.

Yang menjadi tanda tanya besar ialah, mengapa ketika terjadi pencairan
hubungan diplomatik antara R.I. dan R.R.T. dalam Memorandum of
Understanding, RRT menyebut negaranya Republik Rakyat China tidak Republik
Rakyat Tiongkok, yang pada hakekatnya orang tidak menyebut Caine tapi Cina.

Apakah ini berarti RRT mundur selangkah dengan harapan untuk dapat melompat
jauh ke depan demi kebersamaan kedua bangsa di masa depan ? Tapi biarlah
Tiongkok disebut China atau Cina sesuai pilihan masing-masing.

Di zaman Orde Baru, satu-satunya orang seingat penulis, dalam
pernyataan-pernyataannya didepan umum sebagai mantan Ketua Lembaga
Persahabatan Indonesia – Tiongkok, yang bisa merasakan dan mengimbangi
perasaan etnis Tionghoa ialah Soekamdani Sahid Gitosardjono, maka ia selalu
menyebut orang Tionghoa tidak dengan sebutan Cina, tapi Caine, begitu juga
mengenai Tiongkok disebutnya Caine. Ia adalah sahabat sejati etnis Tionghoa
dalam suka dan duka.

Presiden Soekarno juga senantiasa menyebut Tionghoa tidak Cina. Di awal
Revolusi pada tanggal 27 September 1945, Presiden Soekarno menyampaikan
pidatonya menyambut diakuinya Republik Indonesia oleh Republik Tiongkok yang
tak boleh kita lupakan, karena dengan demikian kita duduk sama rendah dan
tegak sama tinggi dengan negara-negara lain di dunia. Kedua negara ini
banyak mempunyai persamaan dalam beberapa hal. Maka Presiden menyerukan agar
seluruh rakyat Indonesia beramah-tamah dengan bangsa Tionghoa, baik dikota
maupun di desa-desa. Dianjurkan, janganlah sekali-kali melakukan perbuatan
yang bisa merusak hubungan baik antara Indonesia dan Tiongkok.

Kepada penduduk Tionghoa di Indonesia dianjurkan agar meneruskan hubungan
baik dengan rakyat Indonesia.

Dalam Kongres Nasional Baperki di Jakarta yang dimeriahkan dengan musik tiup
ALRI pada tahun 1963 disertai persembahan lagu khusus untuk Bung Karno
ciptaan Effie Tjoa yang sopranis dinyanyikannya sendiri dengan iringan piano
adiknya Jenny Tjoa, Presiden Soekarno dalam amanatnya menganggap orang-orang
Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu sukubangsa Indonesia – walaupun
tidak mendiami/memiliki/wilayah tertentu, tapi meyebar dimana-mana.

Diserukan agar segenap funds and forcesnya dikerahkan untuk pembangunan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.

Di awal November 1945 tiap sore kita dapat mendengar siaran radio dengan
gemblengan Bung Tomo selaku Pemimpin Besar Barisan Pemberontak Rakyat
Indonesia, yang berapi-api berseru kepada segenap rakyat Indonesia termasuk
oramg-orang Tionghoa untuk mengenyahkan tentara sekutu (Inggris) yang
diboncengi Belanda untuk menyerbu kota Surabaya.

Dengan tegas Bung Tomo menyatakan, bahwa para pemuda Tionghoa dengan bendera
Tiongkok telah bahu-membahu berjuang dengan rakyat Indonesia secara gigih
untuk mempertahankan kemerdekaan kita dan mati-matian membela tanah air
kita.

Tak pernah sekalipun Bung Tomo menyebut Cina, tapi selalu Tionghoa. Kini
tibalah saatnya bagi Pemerintah untuk melarang sebutan Cina bagi
etnis/peranakan Tionghoa agar tidak menodai UUD 1945 yang telah diamendir
sebanyak 4 kali itu dan sebutan Tionghoa ditempatkan kepada rel yang tepat
sesuai bunyi konstitusi kita.

Disamping itu perlu ada dorongan dari berbagai pihak agar Konstitusi kita
dijunjung setinggi-tingginya, tanpa ada penyelewengan-penyelewengan.

Related Articles-Click here

 

     


FastCounter by bCentral