CINA-TIONGHOA

DALAM HIPOTESIS DESKRIPTIF

Oleh : Tan Swie Ling*

KEMALANGAN YANG MEMBINGUNGKAN

Suatu hari di awal-awal tahun 1967, penulis berurusan dengan pihak militer.
Penulis mengalami masa-masa apes. Diinterogasi oleh seorang Mayor CPM yang
namanya sudah tidak teringat lagi. Seingat penulis, penulis bersikap
kooperatif. Memberikan jawaban dengan semangat lugu selugu-lugunya pada
berbagai pertanyaan yang diajukan pihak interrogator. Keluguan yang namun
menghasilkan kemalangan Sebuah kemalangan yang membingungkan. Kebingungan
yang mendorong penulis akhirnya selama berpuluh tahun lamanya merenung dan
merenung. Bertanya dan bertanya pada diri sendiri. Salah ngomong apa saya
waktu itu? Sehingga bernasib apes. Apes. Karena tiba- tiba saja saya
terkapar bersama dengan kursi yang saya duduki, dengan muka berlumuran darah
yang mengucur dari dahi yang robek dihajar gagang pistol,bersamaan dengan
berakhirnya saya mengucapkan kata “Tionghoa”



KATA “TIONGHOA” MELEKAT DALAM KENANGAN.

Ya, saya ingat. Perkataan “Tionghoa” itu meluncur keluar dari mulut saya
untuk menjawab pertanyaan, “apa suku bangsa kamu? Pertanyaan yang diajukan
setelah saya menjawab dua pertanyaan berturut-turut sebelumnya. Yaitu”apakebangsaan
dan kewarganegaraan kamu?”Yang keduanya saya jawab,”Indonesia”! Saya sudah
menerangkan, Indonesia kebangsaan saya. Dan Indonesia pula kewarganegaraan
saya. Maka saat saya ditanya “apa suku bangsamu?”, Mengingat nama saya Tan
Swie Ling, maka dalam keluguan, spontan saya menjawab, “suku Peranakan
Tionghoa”. Sedikitpun saya tidak menduga, kalau perkataan “Tionghoa” yang
saya ucapkan akan membuat sedemikian marah perwira yang menginterogasi saya,
ketika itu. Kemarahan yang sampai-sampai membuat tangan perwira yang
menginterogasi saya bergerak lebih cepat dari ucapan kemarahannya, menghajar
saya dengan gagang pistolnya Membuat saya terkapar bersama kursi yang saya
duduki. Gerakan tangannya memang lebih cepat dari ucapan kemarahannya.
Karena bunyi ucapan kemarahannya yang menggeledek bersamaan dengan debum
suara bunyi tinjunya ke atas meja itu, bukan saya dengar sebelum saya di
hajar, melainkan pada saat mata saya nanar, berkunang-kunang terhajar
gagang pistol sang perwira. Saat itulah saya mendengar pekik kemarahan
perwira itu. “Cinaaaa!!! Teriaknya membahana..Tidak ada “Tionghoa!” “Kamu
Cina!” “Kamu Cinaaaaa!! Mengerti? Jangan sekali lagi kamu ngomong Tionghoa,
ya! Saya tak menyangka, kata “Tionghoa” yang saya ucapkan ketika itu akan
menjadi kemalangan membingungkan yang menimpa saya dan akhirnya melekat
dalam kenangan pribadi hingga hari ini.



BUKAN KEBENCIAN INDIVIDU PERWIRA

Maka sejak itu saya berusaha mencari tahu. Mengapa perkataan “Tionghoa”
membuat seorang perwira marah besar, lepas kendali. Saya mencari tahu.
Apakah perkataan “Tionghoa” yang saya ucapkan hanya kebetulan saja membuat
marahnya seorang perwira secara individual, ataukah perkataan “Tionghoa “
tersebut memang menimbulkan rasa tidak sukanya seluruh perwira? Dan hasil
penelitian saya menerangkan. Bahwa perilaku perwira yang menghajar saya
setelah mendengar saya mengucapkan perkataan “Tionghoa”, bukanlah perilaku
individual seorang perwira, melainkan perilaku buah dari sebuah kebijakan
sebuah lembaga yang terstruktur. Kebijakan yang berlahiran menyusul
diselenggarakannya Seminar AD II Seskoad, 25-31 Agustus 1966. Yang
sehubungan dengan Seminar tersebut, Jenderal Soemitro (kini sudah almarhum)
dalam memoarnya yang berjudul “Dari Panglima Mulawarman sampai
Pangkopkamtib.” , antara lain berkata: “Dimata saya ORBA ini dari seminar
ini . ORBA berasal dari Bandung….Seminar AD II ini yang menjiwai komposisi
kabinet, yakni kerjasama ABRI (baca AD) dengan para teknokrat” Memoar
Jenderal Soemitro juga mengisahkan wajah kebijaksanaan politik beliau
semasa menjadi Pangdam Jawa Timur, yaitu menolak dan tidak suka pada apa
saja yang berbau Cina.Kata Jenderal Soemitro yang kemudiannya adalah
Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dalam
memoarnya “… Yang berbau Cina saya hilangkan. Saya larang pemakaian bahasa
Cina di muka umum. Saya larang mereka melakukan pembukuan dalam bahasa Cina.
Jualan dengan memakai bahasa Cina juga saya larang. Tentang agama saya
sarankan mereka memilih agama yang ada di daerahnya, yaitu antara lain
Islam,Kristen, Budha dan Hindu. Suku mereka adalah di mana mereka lahir.
Saya himbau bagi WNI agar nama diganti dengan nama Indonesia, atau suku di
mana mereka lahir. Semua ini saya keluarkan pada tanggal 1 Januari 1967.”
Tanpa tedeng aling-aling Jenderal Sumitro bertutur tentang segala
kebijakannya yang dengan sepenuh kesadaran menindas komunitas Tionghoa di
Jatim yang tersarikan dalam sebuah kalimat ringkas. “pendeknya, segala yang
berbau Cina, saya larang” , sampai kepada kreatifitasnya menyusun hadiah
Tahun Baru 1 Januari 1967 berupa paket peraturan yang pada dasarnya melucuti
seluruh HAM manusia beretnik Tionghoa di negeri ini.Seperti diubahnya
sebutan kataTiongkok/Tionghoa menjadi “C i n a” (Surat Edaran Presidium
Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina No.SE-06/Pres.Kab/6/67)., dan berbagai
peraturan lain seperti Pelarangan penggunaan bahasa Mandarin, pelarangan
melaksanakan tradisi /budaya/adat-istiadat yang dikenal dengan sebutan
Inpres No.14/1967 (telah dicabut) dll.



TERSERET DALAM LUMPUR EUFORIA

Sayang hal-hal demikian tidak menarik perhatian pada semua pihak yang
memposisikan diri dalam kubu yang pro dan kontra pada masalah sebutan kata
Tionghoa maupun Cina. Sehingga terasa menyedihkan bila sejenak kita
mengikuti perdebatan mereka yang menolak sebutan Cina dan menuntut untuk
disebut sebagai Tionghoa dan sebaliknya. Karena sepertinya sejak bebas
dari penindasan Orba, kita justru terseret dalam lumpur eforia buta. Asik
beradu argumentasi justru dalam gaya dan semangat Orba itu sendiri. Mereka
saling adu kegagahan, antara sesama korban Orde Baru. Baik sesama korban
Orde Baru dari orang sekomunitas maupun dengan sesama korban Orde Baru dari
etnik lain. Etnik yang tidak jarang benar-benar tidak mengerti (bukannya
pura-pura tidak mengerti) tentang nuansa apa yang diselundupkan kedalam
perkataan “Cina” oleh Orde Baru. Sehingga ketika mereka merasa dituntut
harus mengganti kata Cina dengan Tionghoa, dalam ketidakmengertiannya,
mereka menjadi tidak simpati pada pihak yang menuntut agar disebut sebagai
Tionghgoa. Karena dalam benar-benar ketidakmengertiannya, sikap etnik
Tionghoa yang semacam itu, dirasakan arogan dan berlebihan. Jadi demi
menghindarkan hal-hal yang tidak perlu, rasanya, terutama tokoh-tokoh
organisasi yang secara terbuka dan terang-terangan memasang merek “Tionghoa”.
sepatutnya merasa berkewajiban menjernihkan permasalahan, dengan cara
melakukan penelitian. Apa sih batasan-batasan kata Cina dan Tionghoa.
Tentunya dengan merujuk pada akar sejarahnya. Dengan demikian para tokoh
tersebut benar-benar berperan sebagai pemimpin yang tidak membiarkan
masyarakat dibawah kepemimpinannya terus lelap dalam eforia buta. Untuk
niat semacam itulah tulisan ini disajikan.Disertai harapan dapat berperan
mengangkat kita semua sama-sama keluar dari kubangan lumpur eforia.



SEPUTAR SEBUTAN

Sebutan, pada apapun, selalu terkait pada dua pihak. Pihak yang disebut dan
pihak yang menyebutnya. Dan sebutan ini, bukanlah. sesuatu yang lestari.
Sebutan, sepenuhnya terikat dengan keberlakuannya hukum ruang dan waktu.
Materi yang sama yang berada di dalam ruang yang sama pula, namun berada
dalam kurun waktu berbeda, bisa terjadi memperoleh sebutan yang tidak sama.
Ambilah contoh! Sebuah kesatuan masyarakat (sebagai materi), hidup disebuah
kawasan Asia (sebagai ruang) dalam kurun waktu beberapa decade yang lalu,
mereka disebut dengan sebutan Burma. Kesatuan masyarakat tersebut sampai
sekarang masih sama, mereka juga berdiam di ruang yang sama seperti
waktu-waktu sebelumnya. Namun karena perubahan kurun waktu, ternyata sebutan
mereka pun menjadi berubah. Dari Burma menjadi Myanmar! Demikian halnya
dengan sebutan “Cina”. Sebutan ini tidak lestari. Misalnya sejak adanya
pihak yang disebut, sebutan itu akan terus menjadi sebutannya, sampai
seandainya dunia mungkin kiamat nanti. Kesatuan besar masyarakat manusia
yang hidup disalah sebuah kawasan Asia yang oleh lidah bangsa rumpun Melayu
disebut Cina, tidak sejak dahulu disebut begitu oleh bangsa rumpun Melayu
itu itu sendiri. Apa sebutan mereka sebelum disebut sebagai Cina oleh
lidah bangsa rumpun Melayu? Para ahli sejarahlah kiranya yang bisa
memberikan jawaban. Mungkin mereka pada masa itu disebut sebagai orang
“Tang” mengacu pada dinasti Tang yang terkenal menghasilkan puisi-puisi
terkenal di samping produk porselein. Atau mungkin “Sangley” (lihat Sangley
di Filipina dan Cino di Indonesia,dalam Sinergi edisi ke-2) Yang pasti,
kenyataan bangsa rumpun Melayu sendiri tidak diam statis melainkan bergerak
dinamis. Hal yang menyebabkan bangsa rumpun Melayu ini sendiri memperoleh
sebutan yang tidak sama. Sebagian kecil, memperoleh sebutan “Brunei”
Sebagian yang lebih besar disebut Malaysia. Dan sebagian yang lebih besar
lagi, disebut Indonesia Sebutan yang niscaya tidak sama dengan sebutan
masing-masing di masa-masa lalu Dan mungkin juga di masa yang akan datang.
Mengingat diantara sekian banyak fakktor, sebutan itu biasanya melekat
seiring dengan daya atau kekuatan yang mendukung eksistensi masyarakat
manusia yang menerima sebutan bersangkutan. Indonesia misalnya.

Adakah sebutan ini sudah melekat sejak dahulu kala, di mana kita senang
disebut atau bangga menyebut diri kita sebagai Indonesia? Rasanya tidak!
Ketika kita disebut Inlander, bukankah ada masanya kita ragu-ragu meluruskan
sebutan itu dengan Indonesia? Bukankah ada masanya kita lebih bangga
menyebutkan diri kita sebagai kawula Sriwijaya, Majapahit atau kawula
Mataram, ketimbang Indonesia? Demikian halnya dengan bangsa atau masyarakat
manusia yang oleh lidah rumpun Melayui sekarang disebut sebagai Cina.
Ternyata oleh bangsa Eropah dahulu, kesatuan masyarakat manusia atau bangsa
ini pernah disebut dengan perkataan Serica, yang di dalam lidah kita
berbunyi dan berarti “sutera.” Karena masyarakat penyebutnya, menyebut
kesatuan besar masyarakat atau bangsa dimaksud berdasarkan produk unggulan
yang dihasilkan orang Tiongkok semasa itu. Yaitu, sutera.



PERBENDAHARAAN KATA CHINA/CINA PRODUK KAPITALISME

Ketika sejarah perkembangan masyarakat manusia beringsut meninggalkan masa
zaman pra industri, dan masuk ke zaman industri, sepenuhnya hal ini terjadi
di kawasan Eropah. Walau kala itu industri masih tumbuh sebatas di Eropah
saja, namun bagaimanapun dampak industri kapitalisme memang telah mulai
mengubah wajah dunia. Betapa tidak. Kalau kenyataannya di masa zaman pra
industri, untuk memproduksi sebatang jarum orang membutuhkan waktu
berhari-hari, ternyata dizaman industri kapitalisme, dalam 1 jam
beratus-ratus jarum dapat dihasilkan?. Konsekwensinya, kelebihan hasil
produksi tersebut menuntut adanya pasar sebagai muara dimana berbagai hasil
produksi dialirkan ke dalamnya. Ketika pasar di dalam Eropah mulai tak
mampu menampung produk industrinya sendiri, mulailah dilakukan penjelajahan
dunia. Untuk mencari negeri yang di samping bisa berfungsi sebagai pasar
penyerap produk industrinya, juga sekaligus berperan sebagai sumber bahan
mentah dan sebagai sumber tenaga kerja murah pula. Dalam hal ini rata-rata
negeri industri di Eropah meyakini, negeri yang demikian itu adalah
Tiongkok. Mengapa? Karena masa itu Tiongkok diyakini merupakan negeri yang
kondisi standar hidup masyarakatnya berada pada posisi yang dapat
dikategorikan mewakili puncak kehidupan tingkat akhir zaman pra industri,
yang lazim dikenal sebagai zaman feodalisme. Pada kenyataannya Tiongkok masa
itu merupakan negara feodal terkuat di dunia. Hal yang tercermin penuh pada
tingkat peradabannya. Bayangkan betapa tingginya kemakmuran dan kejayaan
feudalisme di Tiongkok semasa itu. Kalau saja kita merenungi. Mesiu,
barang yang oleh masyarakat Eropah dianggap luar biasa nilainya, di negeri
masyarakat penemunya justru hanya dijadikan barang hiburan.Seperti petasan
atau kembang api. Tegasnya, hanya di dalam masyarakat yang taraf hidupnya
telah mencapai tingkat peradaban mapan yang mampu menghadirkan suasana
tenteram dalam segala kecukupan materi sajalah yang sanggup mensepelekan
benda berharga seperti mesiu tidak dimanfaatkan sebagai alat memcapai
sesuatu yang dapat meningkatkan kejayaan dan kemakmuran.negeri dan
rakyatnya, melainkan difungsikan hanya sekedar barang mainan belaka. Ya,
hanya pada sebuah masyarakat yang tingkat kemakmuran dan peradabannya telah
tinggi sajalah yang mungkin dapat berbuat seperti yang diperbuat Tiongkok.
Sebuah tingkat peradaban yang semasa itu sampai-sampai dijadikan lambang
ukuran status sosial masyarakat Eropah terkemuka.di negeri masing masing.
Antara lain sutera, teh dan porselein adalah produk Tiongkok yang menjadi
lambang status sosial yang tinggi bagi masyarakat atas Eropah pada masanya.
Pada masa-masa ini dunia belum mengenal sebutan China atau Cina.



INGGRIS MARAH DAN DENDAM, PADA TIONGKOK

Masa itu adalah masa ketika semua orang asing yang menghadap kaisar
Tiongkok, harus melalui proses bersembah menyentukan jidat ke lantai
(kotow), Sebuah tradisi yang menggambarkan betapa tingginya posisi
masyarakat Tiongkok yang diwakili oleh kaisarnya dalam hubungan dengan
dunia luar.

Melalui proses waktu yang panjang, Inggris tumbuh berkembang menjadi negara
industri .termaju Jadi Inggris pun sangat ngiler untuk bisa menjadikan
Tiongkok sebagai negeri pasar bagi produk industrinya. Maka pada kurun waktu
tertentu,tercatatlah sebuah peristiwa. Konon, di Tiongkok bertahta kaisar
Kian Liong.(1735-1795) Kaisar besar dan handal kedua setalah kakeknya,
jaisar Kang Hie menjadi kaisar besar pertama dari dinasti Ching.Sementara
pada zaman bersamaan, di Inggris bertahta Raja George III. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan pasar dari industrinya yang paling maju diantara sesama
negeri industri di Eropa, maka dengan disertai iringan berpeti-peti hadiah
yang semuanya merupakan produk industri negerinya, Raja George III mengirim
utusan datang ke Tiongkok, menyampaikan suratnya kepada kaisar Tiongkok.
Utusan Inggris yang merasa datang dari sebuah negeri industri maju, merasa
tidak patut untuk kow tow di hadapan kaisar Tiongkok seperti dilakukan oleh
kebanyakan ..utusan negeri Eropa yang lain. Terjadilah negosiasi sebelum
utusan tersebut menghadap kaisar Tiongkok. Hasilnya, utusan Raja Inggris
diperbolehkan memberi hormat kaisar Tiongkok seperti ia memberi hormat pada
rajanya sendiri. Yaitu hanya menekuk sebelah lutut. Tidak sepenuhnya
berlutut menyentuhkan jidat ke lantai Dalam suratnya, Raja George III
meminta kepada kaisar Tiongkok untuk dapat menerima duta tetap dari kerajaan
Inggris, memberikan izin kapal-kapal Ingris berlabuh dan berniaga di banyak
pelabuhan di samping pelabuhan Kanton. Izin berdagang dan menimbun barang di
Beijing. Izin untuk mengembangkan agama. Kesemua permintaan Raja George III
tersebut titolak oleh Kaisar Kian Liong. Atas penolakan kaisar Kian Liong
pada semua yang dikehendaki Raja Inggris tersebut, tentu saja tidak hanya
membuat kecewa Raja Inggris, pun membuat Raja George III merasa gusar karena
merasa sangat direndahkan. Semua keinginannya untuk duduk sama rendah
berdiri sama tinggi dengan Tiongkok, semuanya ditolak. Sayangnya, betapa
kecewa dan gusarnya menerima perlakuan Kaisar Tiongkok, di mana semua
sovenir Raja George III dari Inggris diterima kaisar Tiongkok sepenuhnya
hanya sebagai tanda upeti , toh Inggris hanya bisa memendam rasa kesal dan
dendam. Kala itu Inggris belum punya keberanian untuk berlaku kasar dan
keras kepada Tiongkok. Jadilah Inggris sampai pada wakktu itu belum berhasil
menyebut Tiongkok sebagai China. Konsekwensinya lidah bangsa rumpun Melayu
pun belum menerima perbendaharaan kata baru China tersebut, yang dilaraskan
dengan lidahnya sendiri sebagai C i n a



PERKATAAN CHINA, BUAH KEKALAHAN TIONGKOK DALAM PERANG CANDU .

Tapi enam-tujuhpuluh tahun kemudian dari masa Raja Inggris, George III,
dilecehkan oleh Kian Liong, kaisar ke-3 dinasti Ching, Maka berkat revolusi
industri di Eropah, industri Inggris maju melompat ke depan. Membawa Inggris
ke posisi adi daya dunia pertama di dunia kala itu. Dalam posisinya yang
demikian itu, oleh tuntutan kebutuhan pasar bagi produk industrinya, Inggris
kembali mengincar Tiongkok. Dihantui oleh rasa kurang percaya diri apakah
bisa secara langsung dapat memaksa Tiongkok membuka diri, maka terjadilah.
Inggris memberi contoh kepada barang siapa di dunia ini ingin mencapai
tujuanya, untuk menghalalkan segala cara. Jadi “penghalalan segala cara,”
menurut sejarahnya adalah alat politik kapitalisme untuk mencapai
kepentingannya. Alat politik yang untuk pertama kalinya dipraktekkan oleh
bangsa/negara kapitalis termaju pada zamannya, yaitu Inggris.Dan kalau
namanya alat politik, biasanya memang tidak mempedulikan masalah etika dan
moral.Demikianlah Inggris yang dari Tiongkok menerima dan menikmati daun
teh, membalas budi kepada masyarakat Tiongkok dengan daun candu, yang
terlebih dahulu telah banyak ditanam di India, setelah negeri bersangkutan
berhasil dikuasainya.

Demikianlah. Setelah penduduk Tiongkok berhasil dibikin teller melalui
candu. Para birokratnya pun mulai diam-diam getol berdagang candugelap, maka
moral Konfusianisme yang telah eksis selama ribuan tahun lamanya, runtuh
berguguran. Di mana keruntuhan moral tersebut telah berakibat membuat
tercabut keluarnya kekuatan bangsa tersebut baik secara fisik maupun mental.
Dalam kondisi demikian, maka ketika Inggris datang untuk kedua kalinya
memaksa Tiongkok agar membuka diri untuk dijadikan pasar bagi produk
industrinya, maka Inggris tidak menemui kesukaran apapun. Karena kondisi
bangsa di negeri tersebut telah berubah menjadi bagai masakan tahu dalam
piring, yang tidak memerlukan tenaga untuk menyendoknya dan kemudian
menyuapkannya ke mulut serta menelannya..Dengan amat mudah Tiongkok
dikalhakan oleh Inggris dalam perang Candu.

Demikianlah akibat kekalahan perang candu tersebut, maka lahir persetujuan
Nan King (1842) dan sejumlah persetujuan-persetujuan lain sebagai akibat
kekalahan Tiongkok dalam Perang Candu tersebut. Sejak itu, Tiongkok berubah
menjadi dipandang hanya sebagai negeri sumber penghasil bahan baku dan pasar
produk industri negeri para penakluknya. Selain Inggris, kapitalisme Jerman,
Belanda,Portugis, AS, Rusia dan Jepang dll. Ramai-ramai menjarah-rayah
Tiongkok. Di bawah tekanan keroyokan negeri-negeri kapitalis, Tiongkok
benar-benar terpuruk. *Harus membayar ganti rugi kepada Inggris atas candu
yang musnah terbakar dalam perang candu, serta seluruh biaya yang telah
dikeluarkan oleh Inggris untuk membiayai perang candu tersebut. Ganti rugi
yang telah menyeret Tiongkok ke dalam jurang utang internasional yang tak
mungkin terlunasi. *Keunggulan militer bangsa-bangsa Barat memberikan
pengaruh maupun dominasi politik dan ekonomi yang negatif pada kehidupan
bangsa dan rakyat Tiongkok. Hal-hal tersebut merupakan factor pendukung
memasyarakat-luasnya pemakaian istilah “China” yang di berikan Inggris
sebagai pemenang perang, kepada Tiongkok yang telah total dikalahkannya.
Jadi istilah sebutan China memang terjadi dalam kondisi ketiadaan
keseimbangan antara Inggris sebagai pemberi nama dan Tiongkok sipenerima
sebutan. Inggris dalam puncak kejayaan sebagai adi daya dunia, sedangkan
Tiongkok dalam posisi yang lemah selemah-lemahnya. Sampai di sini kita boleh
tarik kesimpulan, bahwa perkataan “China” yang dalam lidah rumpun bangsa
Melayu memperoleh pelarasan lafal menjadi”Cina”, baru dikenal dalam
masyarakat dunia sejak dikalahkannya Tiongkok oleh Inggris di dalam perang
candu. Barangkali Perjanjian Nanking (1842) bisa kita jadikan tonggak waktu,
kapan istilah “Cina” atau “Cino” berawal.



APA DASAR PEMBENTUKAN ISTILAH “CHINA” ATAU “CINA?”

Salah satu pertimbangan yang dipakai untuk resmi menggunakan istilah “Cina”
sebagai pengganti istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” seperti dikemukakan
dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera. Tentang Masalah Cina Nomor:
SE-06/Pres.Kab/6/1967, tertanggal Jakarta, 28 Juni 1967- adalah, bahwa ras
Cina itu pernah berada di bawah pemerintahan dinasti Chi’n..Padahal
Tiongkok tidak hanya pernah diperintah dinasti Chi’n. Ada banyak dinasti
yang pernah memerintah Tiongkok. Seperti dinasti Hsia (2205-1766 SM),
dinasti Shang (1766-1122 SM), dinasti Chou (1122-249 SM), dinasti Chi’n
(220-206 SM), dinasti Han Barat (206-25 SM), dinasti Han Timur (25SM-221M),
dinasti Enam -Wei, Shu, Chin Barat, Chin Timur,Liu- (220-589 M}, dinasti Sui
(581-618), dinasti Tang (618-906M), dinasti Sung (960-1279M), dinasti Yuan
(1279-1368M), dinasti Ming (1368-1644M), dan dinasti Ching (1644-1911M).
Tentu, kita terangsang untuk bertanya. Mengapa dinasti Chi’n yang masanya
terpendek (220-206SM) digunakan sebagai dasar untuk membentuk sebutan
“China”-”Cina?” Bukankah dinasti Ming lebih layak. Karena bukan saja kurun
masanya lebih dekat, pun di dalam dinasti ini hubungan Tiongkok-Nusantara
berlangsung cukup intens. Laksamana Chengho berkali-kali melakukan pelayaran
laut ke Nusantara. Periode hubungan ini malah meninggalkan bukti-bukti
sejarah seperti “Kelenteng Gedung Batu” di Semarang, kelenteng di Welahan.
Kelenteng di mana salah seorang pahlawan nasional kita R.A.Kartini pernah
memperoleh kesembuhan mukjizat, disembuhkan dari sakit yang dideritanya,
setelah sebelumnya gagal menjalani pengobatan konvensional. Sehingga sejak
itu R.A. Kartini menyebut dirinya sendiri sebagai “Bocah Budha” yang selalu
pantang memakan makanan yang berasal dari mahluk berjiwa.Seperti
diceritakannya sendiri dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, salah seorang
sahabatnya. Bahkan,malah kisah kesasteraan “Dampo Awang” atau “Sam Po Kong”
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesasteraan seni drama Ketoprak
di Jawa, yang cukup populer. Lalu, mengapa Pemerintah ORBA kok justru
memilih dinasti Chi’n yang masa kuasanya bahkan lebih singkat ketimbang masa
kuasa ORBA sendiri? Padahal Sekretaris Presidium Kabinet Ampera
Brigjen.T.N.I. Sudharmono, S.H. yang menanda tangani Surat Edaran No.
SE-06/Pres.Kab/6/1967 dapat dipastikan belum tentu beliau benar-benar tahu
seluk beluk dinasti Chi’n tersebut. Jadi, apakah sebenarnya dasar yang
melatarbelakangi pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina itu?
Apakah tidak sama dengan Inggris semasa ia menamakan manusia dan negeri
tersebut sebagai China? Yaitu posisi di atas angin. Sama denga posisi
Ingrris ketika baru saja berhasil mengalahkan Tiongkok, ORBA yang baru saja
mengalahkan ORLA, yang karena prasangka rasialnya yang kebablasan,
berangggapan bahwa komunitas Tionghoa Indonesia disebabkan oleh factor
kesamaan ketionghoaan menjadi potensial sewaktu-waktu bisa bertindak
sebagai kaki-tangan RRT, yang merupakan musuh besar bagi negara-negara
majikan ORBA, yang oleh karenanya mentalnya harus segera dihancurkan dengan
cara mengubah sebutan Tionghoa menjadi Cina disertai dengan berbagai
tindakan-tindakan pemusnahan segala yang berbau Tionghoa. Seperti
dilarangnya bahasa mandarin, atau pergi beribadah ke kelenteng dlsb. Jadi
sebutan China oleh Inggris pada pertengahan abad XIX maupun Cina oleh rezim
ORBA pada tahun 1967, kesemuanya adalah tindakan politik yang dilakukan oleh
sebuah kekuatan politik yang berkuasa terhadap pihak lemah yang berada dalam
genggaman kuasanya. Sudah barang tentu sepenuhnya semuanya kental beraroma
pelecehan. Semoga dengan ini para pihak yang selama ini bertahan pada
pendapat bahwa penolakkan disebut Cina sebagai sikap arogan, mulai bisa
melihat, bahwa nuansa pelecehan tersebut memang cukup kental. Kalau tidak,
untuk apa rezim Orba di tahun 1966/1967 (Seminar AD II Seskoad Bandung,
25-31 Agustus 1966 dan Presidium Kabinnet Ampera , 28 Juni 1967)
ditengah-tengah tingginya kesibukan melakukan konsolidasi kekuasaan yang
masih belum mantap, lalu berperilaku seperti orang kurang pekerjaan, iseng
mengkutak-katik perubahan sebutan dari Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina?
Apakah tindakan mengganti sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina memang
lebih penting dari tindakan konsolidasi kekuasaan yang baru diraihnya?
Pertanyaan yang salah! Karena tindak penghancuran mental Tionghoa dengan
penggantian sebutan Tionghoa menjadi Cina dan berbagai tindakan yang
mengiringinya seperti disebut di atas, adalah justru bagian dari tindakan
Rezim Orba untuk mengkonsolidasi kekuasaan politik yang baru saja diraihnya,
melalui media peristiwa pollitk G 30 S tahun 1965. Sampai di sini semoga
perdebatan tentang sebutan Cina atau Tionghoa diantara sesama korban
kebrutalan rezim Orba. Disudahi.Selanjutnya bersatu guna bersama-sama
memperjuangkan dicabutnya SE-06/Pres.Kab/6/67 dan kemudian biarkan kedua
sebutan kembali seperti sebelum terjadinya peristiwa G 30 S, dipergunakan
secara berbarengan sebagai perbendaharaan kata komunikasi saja, tanpa nuansa
politis apapun



APA MAKNA KATA TIONGHOA DAN KAPAN IA DIKENAL?

Seperti kata Indonesia, kata Tionghoa mengandung semangat dan makna
“berjuang membebaskan diri” baik dari feudalisme maupun terutama dari
penindasan imperialisme. Agar bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi
dengan bangsa-bangsa lain siapapun di dunia ini. Kata Indonesia yang secara
resmi menjadi nama sebuah bangsa baru dikawasan Nusantara diperkenalkan oleh
Adolf Bastian, terjadi pada pertengahan abad XIX. Jadi sebelum itu di dunia
ini tidak ada yang tahu kalau penduduk yang sekarang mendiami NKRI ini
bernama Indonesia. Merujuk kepada arti kepulauan penghasil rempah-rempah,
Belanda menamakannya sebagai Hindia Belanda. Maknanya kepulauan penghasil
rempah milik Belanda. Bukan Indonesia.

Demikian halnya dengan nama Tionghoa. Sebelum awal abad XX tidak ada orang
yang mendengar atau mengenal bangsa berjumlah terbesar di dunia tersebut
dengan nama Tionghoa. Mengapa? Karena bangsa terbesar jumlah warganya itu
tidak menyebut diri sebagai bangsa Tionghoa, melainkan menyebut dirinya
sendiri sebagai bangsa Han. Dan bangsa Han tentu tidak sama dengan bangsa
Tionghoa. Karena kalau seperti bangsa Indonesia yang tidak identik dengan
Jawa, demikian pula bangsa Tionghoa tidak identik dengan bangsa Han. Bangsa
Tionghoa terdiri dari semua suku-suku bangsa termasuk suku Mancu di samping
Han sebagai suku bangsa terbesar di negerinya. Sebelumnya, bangsa Han
pantang mengakui suku Mancu sebagai bagian dari bangsanya. Walau pun Mancu
dalam fakta sejarahnya pernah berkuasa pada dinasti terakhir di negeri itu
cukup lama (1644-1911M)

Bagaimana bangsa Han bisa berubah menjadi bangsa Tionghoa?

Bangsa dengan jumlah warga terbesar yang berdiam di daratan Asia itu
tergolong salah satu bangsa tertua dengan perdaban tinggi di dunia, yang
terbius oleh kemakmuran hidup dan ketinggian peradabannya menjadi cenderung
memandang rendah bangsa-bangsa di luar dirinya sendiri. Kecenderungan yang
membuat kurangnya kesediaan melihat dan mengakui perubahan zaman. Membuat
bangsa ini tidak mengetahui, bahwa bangsa Inggris yang pernah dilecehkannya
pada perempat terakhir abad XVIII, sejak perempat pertama abad XIX telah
melejit menjadi negeri industri termaju di dunia yang telah mengantarkannya
pada kedudukan adi daya dunia yang pertama. Kemakmuran, ketinggian peradaban
serta keangkuhan bangsa berjumlah penduduk terbesar di dunia tersebut, telah
membuat negeri-negeri industri yang sama-sama ingin menjadikannya menjadi
pasar produk industrinya masing-masing, bersatu. Bahu-membahu
menaklukkannya. Sejak jauh waktu negeri ini ditaklukkan negeri-negeri
industri, telah banyak bangsa dan negeri ditaklukkan oleh bangsa-bangsa
Barat terlebih dahulu. Pada umumnya sebuah bangsa dan negeri dikuasai oleh
sebuah bangsa dari negeri industri. Berbeda dengan itu adalah bangsa
berpenduduk terbesar didunia itu. Negerinya dikapling-kapiling oleh
negeri-negeri pengeroyoknya. Inggris, Perancis, Jerman, Portugis, Belanda,
Rusia, AS, Jepang dll. Dalam kondisi demikian, berlakulah hukum alam.
Semakin keras bola dibanting ke lantai, semakin tinggi bola tersebut akan
melenting ke atas. Tak syak lagi akibat tingginya intensitas keroyokan
negeri-negeri Barat tersebut, membuat kebangkitan rakyat negeri itu relatif
terjadi lebih cepat.

Demikianlah, rakyat dari bangsa yang negerinya kita sebut Tiongkok, yang
relatif lebih belakangan dikalahkan dan dikuasai oleh sejumlah negeri
imperialis, relatif pula bangkit lebih awal ketimbang sesama bangsa terjajah
lainnya. Kalau Perjanjian Nanking (1842) kita jadikan tonggak waktu
kekalahan dan kehancuran Tiongkok dan Gerakan Pembaharuan 100 Harinya Kang
Yu Wei (1898), juga Gerakan Tinju Keadilan/Boxer dan gerakan kebangkitan
nasionalnya Sun Yat Sen kita jadikan tonggak waktu kebangkitan dan
kemenangan, ternyata prosesnya perjuangan mengubah kedudukan dari bangsa
terjajah dan terhina kembali menjadi bangsa terpandang yang setara hanya
terjadi dalam periode waktu setengah abad. Tidak berabad-abad seperti
kebanyakan bangsa terjajah/terhina lainnya. Jadi proses perubahan dari
bangsa Han menjadi bangsa Tionghoa, berlangsung sejak mulai tumbuhnya
semangat perlawanan terhadap orang asing, sampai berhasilnya revolusi
dibawah pimpinan Sun Yat Sen, Oktober 1911. Revolusi tersebut mengakhiri
monarki di Tiongkok dan menggantinya dengan republik. Yaitu Republik
Tiongkok. Sayang, barangkali oleh rasa masih minder penduduk Tiongkok kepada
bangsa-bangsa Barat, maka para pemimpin republik sepertinya tidak merasa
perlu meluruskan sebutan Republik of China dari negeri-negeri Barat, dengan
Zhong Hua Min Guo, seperti bangsa Indonesia selalu tidak kenal lelah
meluruskan sebutan Inlander dengan sebutan Indonesia. Maka akhirnya
keterlanjuran sampai sekarang. Bahkan Kedutaan Besar RRT dalam suratnya
kepada salah satu organisasi berbasis massa Tionghoa di Jakarta, meminta
agar disebut sebagai The People Republic of China dengan singkatan dalam
bahasa kita menjadi RRCh. Jelas, dengan Ch, pihak kedutaan besar Tiongkok
menolak disebut Cina namun memilih untuk melestarian nama pemberian
penakluknya, Inggris. Pihak Kedutaan Besar Tiongkok seolah bersilat lidah
bahwa kata China sama sekali berbeda arti dengan kata Cina. Padahal keduanya
sami mawon. China yang lidah Inggris dilaras dalam lidah melayu menjadi
Cina, sebutan yang ditolak oleh pihak Kedubes Tiongkok. Kita dibuat senyum
kecut. Karena seperti disuguhi dagelan yang tidak lucu! China? OK. Cina? No!
Padahal semestinya: Kedubes Tiongkok memluruskannya dengan meminta disebut
dengan sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang lebih ringkasnya menjadi
Zhong Guo atau Tiongkok. Dengan demikian pelurusan Kedubes bukannya meminta
RRC diganti dengan RRCh, melainkan RRC minta agar dikembalikan menjadi RRT.
Republik Rakyat Tiongkok. Karena inilah istilah yang dipakai sejak awal mula
kedua negara menjalin hubungan diplomatic. RI – RRT. Bukan RI – RRC atau
RI-RRCh.



TIONGHOA ADALAH KHAS NAMA SEBUAH ETNIK DI INDONESIA

Penjajah ternyata tidak menggunakan pola seragam dalam memperlakukan
masyarakat masing-masing negeri jajahannya. Hal ini menyebabkan yang dialami
komunitas Tionghoa di berbagai negeri jajahan di Asia Tenggara misalnya
tidaklah sama. Dasar sejarah inilah yang menerangkan mengapa apa yang
dialami oleh komunitas Tionghoa di bekas negeri jajahan Inggris dan Spanyol
di Tanah Melayu dan Filipina, tidak sama dengan yang dialami komunitas
Tionghoa di bekas jajahan Belanda. Semua masyarakat terjajah/tertindas
sama, menderita. Namun belum tentu penderitaan komunitas Tionghoa di bawah
penjajah Inggris dan penjajah Spanyol, sama kadarnya dengan yang dialami
komunitas Tionghoa di bawah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Ketingian
kadar derita yang di alami komunitas Tionghoa di Hindia Belanda inilah
kemungkinan besar yang menjadi factor pembeda. Kenapa pengaruh Gerakan
Pembaharuan 100 Hari Kang Yu Wei, Gerakan Tinju Keadilan/Boxer, dan Gerakan
Kebangkitan Nasional Sun Yat Sen, di akhir abad XIX dan awal abad XX, tidak
membuat bangkitnya komunitas baik di Tanah Melayu maupun di Filipina, namun
tumbuh subur di Hindia Belanda.

Pengaruh ketiga gerakan di Tiongkok akhir abad XIX dan awal abad XX, di
Hindia Belanda segera merupa dalam wujud berdirinya Rumah Perkumpulan
Tionghoa atau Tiong Hoa Hwee Koan pada 17 Maret 1900 di Batavia. Setahun
kemudian, bak cendawan di musim hujan, dibanyak kota di Jawa berdiri
sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan. Tidak hanya
sekolahan-sekolahan Tiong Hoa Hwee Koan berdiri, juga surat-surat kabar yang
pada umumnya berbahasa Melayu-Tionghoa bermunculan. Termasuk surat kabar
yang kemudian paling handal, Sinpo, muncul terbit oleh dorongan kebangkitan
nasionalisme Tionghoa yang semula bersumber dari bumi Tiongkok

Api yang membakar semangat komunitas Tionghoa di Hindia Belanda untuk bisa
berbuat sama dengan para pejuang nasionalis di Tiongkok,agaknya sama sekali
bukan factor kesamaan ketionghoaan, melainkan sepenuhnya oleh factor
keinginan komunitas Tionghoa Hindia Belanda untuk dapat segera lepas dari
penderitaan penindasan Belanda.. Terbukti, kalau faktornya kesamaan
ketionghoaan, mengapa di Malaya/Malaysia dan Filipina tidak juga bertumbuhan
Tionghoa Hwee Koan setempat. Mengapa Tiong Hoa Hwee Koan hanya tumbuh di
Hindia Belanda? Demikianlah halnya yang akan terjadi. Seandainya pemerintah
dan bangsa kita gagal meredam suhu diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa
di negeri ini meningkat dan meninbgkat, maka terutama mereka yang
berkemampuan dari komunitas Tionghoa di negeri ini akan berpaling kiblat ke
negeri-negeri lain, yang dipercayainya akan menjadi tanah harapan baru. Dan
kalau ini terjadi, pastilah ini tidak disebabkan factor ketionghoaan. Karena
tanah harapan barunya belum tentu Tiongkok, melainkan ke Amerika, Australia
atau New Zealand. Maka akan tertinggalah komunitas Tionghoa yang tersisa
tinggal di negeri ini, lapisan mereka yang berekonomi lemah, dan juga berSDM
lemah.. Karena seandainya mereka tidak lemah, maka oleh pekatnya polusi
udara diskriminasi, merekapun boleh dipercaya juga akan tergoda mencari
tanah harapan baru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi.

Maka logikanya, seandainya dalam kondisi ketertindasannya di Hindia Belanda
dahulu, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia tumbuh lebih dahulu
dari gerakan serupa yang tumbuh di Tiongkok, maka dapat dipastikan kalau
komunitas Tionghoa di Hindia Belanda niscaya akan menyatukan dirinya dengan
gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Karena sesungguh dan sebenarnya,
baik penyatuan diri atau penerimaan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda
terhadap gerakan kebangkitan nasional di Tiongkok maupun terhadap gerakan
kebangkitan nasional Indonesia -seandainya yang disebut belakangan ini
muncul sebelum yang timbul di Tiongkok- kesemuanya bermotivasi tunggal.
Yaitu ingin selekasnya membebaskan diri dari belenggu penindasan
kolonialisme Belanda. Motivasi inilah yang membuat komunitas Tionghoa di
Hindia Belanda pasti akan segera menyatukan diri dengan gerakan kebangkitan
nasional Indonesia, seandainya gerakan semacam ini lahir lebih dahulu dari
yang lahir di Tiongkok. Begitulah, karena nyatanya gerakan pembebasan
nasional terlebih dahulu muncul di Tiongkok, maka komunitas Tionghoa yang
sudah engap dengan penindasan kolonialismne di Hindia Belanda, segera mudah
saja menerima ide nasionalisme yang andaikan cahaya, bersinar-sinar memancar
keseluruh pelosok negeri terjajah di seluruh dunia. . Karena dalam
logikanya, dengan adanya Tiongkok baru yang kuat, komunitas Tionghoa di
Hindia Belanda dapat berharap, kolonialisme Belanda tidak terlalu
semena-mena memperlakukan dirinya. Untuk alasan inilah komunitas Tionghoa di
Hindia Belanda menerima konsep “Tionghoa”. Yang sama dengan konsep
“Indonesia”. Konsep “Tionghoa” tersebut mengandung semangat dan makna
nasionalisme. Yaitu semangat selalu siap melawan penindasan demi mencapai
kedaulatan diri sebagai sebuah bangsa atau komunitas yang setara dengan
bangsa-bangsa atau komunitas-komunitas lain.

Dengan demikian, walaupun benar konsep “Tionghoa” diadopsi dari Tiongkok,
namun sebutan Tionghoa pada kenyataannya adalah sebutan khas untuk komunitas
bersangkutan di Indonesia. Sebagaimana faktanya, kecuali hanya di profinsi
Fujian, Tiongkok, kita boleh tanya, apakah penduduk Taipeh mengenal
“Tionghoa”? Apakah penduduk Beijing mengenal “Tionghoa”? Apakah penduduk
Hongkong mengenal Tionghoa? Saya kira tidak! Apa lagi di tempat-tempat di
luar ketiganya. Seperti di negeri-negeri Barat bahkan Asia Tenggara, dari
mulai Indocina, Muangtai, filipina , Malaysia dan bahkan Singapura, rasanya
mereka lebih mengenal China/Cina ketimbang Tionghoa. Karena itu kata
Tionghoa dapat diyakini khas sebutan etnik yang berleluhur di daratan
Tiongkok untuk Indonesia. Dengan demikian “Tionghoa” adalah nama salah satu
etnik anggota bangsa Indonesia seperti halnya dengan etnik Jawa, Sunda,
Aceh, Minang, Batak, Bali dll, yang tersebar menghuni segenap pelosok bumi
Indonesia. Karena itu kepada semua saja yang mengaku warga bangsa Indonesia,
yang di satu sisi dengan mudah bisa menerima etnik-etnik lain seperti etnik
Badui, Sakai, sampai etnik terasing namun di lain pihak menggap etnik
Tionghoa sebagai bangsa asing, nyata, mereka belum mengerti apa itu
Indonesia! Walaupun yang bersangkutan lantang mengaku dirinya sebagai bangsa
Indonesia. Demikian halnya dengan komunitas Tionghoa sendiri. Selama
perasaan mereka persis seperti yang sering disuarakan lapisan elit komunitas
Tionghoa seperti yang sering mereka suarakan, yang dalam nada kegembiraannya
sering berkata, “sekarang kita sudah diterima sebagai suku Indonesia”.
Artinya yang bersangkutan sendiri sebelumnya tidak merasa sebagai salah satu
etnik anggota bangsa Indonesia. Sehingga ketika tiba waktunya ia merasa
diterima sebagai “suku “ Indonesia, perasaannya seperti orang yang baru
selesai mengurus naturalisasi.Di dalam dirinya pun tetap tersimpan perasaan
sebagai orang Indonesia yang baru. Ini adalah perasaan yang perlu
diperbaiki. Bahwa etnik Tionghoa di Indonesia sudah merupakan bagian dari
tubuh bangsa Indonesia. Kalau toh pada kenyataannya ada pihak-pihak yang
menyangkali kebenaran akan hal itu, hal tersebut adalah masalah politik
sesat, yang harus diluruskan. Dan perjuangan meluruskan masalah politik yang
sesat itu, janganlah membuat komunitas Tionghoa sendiri mudah larut dengan
cara mudah merasa bahwa keberadaan dirinya di negeri ini adalah tamu.
Komunitas Tionghoa bukan tamu dalam bangunan tubuh bangsa Indonesia. Apakah
ia tulang paha, tulang lengan, tulang punggung atau tulang rusuk, komunitas
Tionghoa adalah salah satu tulang dari tubuh bangsa Indonesia. Jangan
minder! Justru salah satu makna dari kata “Tionghoa” yang tumbuh pada awal
abad XX, adalah semangat dan tekad untuk duduk sama rendah dan berdiri sama
tinggi dengan bangsa/komunitas lain berdasarkan prinsip kesetaraan.

Akhirnya mari kita sudahi tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Sebutan kata
“Cina” dan “Tionghoa” tidak sejak dahulu mula memang sudah ada. Keduanya
baru muncul dikenal oleh masyarakat manusia, setelah sejarah perkembangan
masyarakat meninggalkan zaman pra industri dan memasuki tahap perkembangan
zaman industri. Industri yang produknya memerlukan adanya tempat yang
disebut pasar. Pasar, yang untuk mendapatkannya, segala cara dihalalkan.
Dalam rangka membuka negeri Tiongkok menjadi pasar produksi inndustri
kapitalisme itulah lahir istilah “China”, sekitar pertengahan abad XIX. Jadi
kata “China” berlepotan dengan Lumpur penderitaan dari penjajahan.
.sedangkan kata “Tionghoa” ia lahir sebagai panji yang melambangkan semangat
perlawanan terhadap penjajahan asing. Sebagai panji yang melambangkan
semangat yang mendambakan kesetaraan kedudukan sesama manusia

Sebagai panji yang melambangkan semangat sebuah masyarakat yang menolak
untuk terus menerus hidup dibawah penindasan, apapun bentuknya. Dan yang
demi itu siap berjuang untuk mendapatkannya. Kata “Tionghoa ini mulai
dikenal didunia lewat gerakan pembebasan nasional.

Di Tiongkok pada awal abad XX..Sedangkjan kata “Cina” semula ia tidak
mengandung nuansa apapun selain hanya sebagai sebuah perbendaharaan kata
sebagai alat komunikasi. “Cina” hanyalah pelarasan lidah Melayu untuk kata
“China”. Kata “Cina” baru bermuatan sesuatu yang tidak pada tempatnya,
menyusul segera setelah terjadinya peristiwa politik yang terkenal dengan
sebutan G 30 S tahun 1965. Peristiwa yang melahirkan kekuasan baru yang
menamakan dirinya sebagai Orde Baru. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan baru
yang diperoleh dengan jalan kekerasan tersebut, rezim Orba merasa perlu
mennghancur remukan mental dan nyali politik dari semua pihak yang
diprasangkai menjadi musuh-musuhnya. Secara pokok musuh-musuh Orba itu
dirumuskan Partai Komunis Indonesia dan Partai Komunis Tiongkok Oleh
prasangka rasialnya yang kebablasan, Rezim Orba, bahwa jalur operasi PKT
adalah melalui komunitas Tionghoa di Indonesia. Karena itu untuk
menghancur-remukan mental dan nyali politik kedua golongan tersebut, maka
rezim Orba membentuk dua lembaga. Yang satu disebut lembaga KOPKAMTIB.
Lembaga ini berperan sebagai mikroskop, yang menempatkan semua saja yang
dicurigai berindikasi PKI, diletakkan dibawah lensanya, untuk terus-menerus
dideteksi. Yang satu lagi lembaga yang disebut Badan Koordinasi Masalah
Cina, sebagai kelanjutan dari lembaga yang bernama Staf Chusus Urusan Tjina
(SCUT). Lembaga ini sama berperan sebagai mikroskop yang meletakkan
komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai mikrobanya. Mereka selalu dideteksi.
Anehnya kalau lembaga yang berususan dengan PKI (KOPKAMTIB) sudah lama
dibubarkan, sebaliknya lembaga yang selalu memikroskopi komunitas Tionghoa
belum juga dibubarkan. Padahal pemerintahan produk reformasi telah berganti
presiden tiga kali. *) Ketua Umum LKSI

Related Articles-Click here

 

     


FastCounter by bCentral