Istri dan 3 Anak Khadafy di Aljazair + Pengakuan Bekas Pacar Putra Khadafy


TRIPOLI, – Istri Moammar Khadafy serta tiga anaknya dipastikan sudah berada di Aljazair, Senin (29/8/2011). Namun keberadaan Khadafy sendiri masih menjadi tanda tanya besar.

Kementerian Luar Negeri Aljazair menyatakan, istri Khadafy Safia, dua putranya Hannibal dan Mohammad, serta putrinya Aisha masuk negara itu melalui perbatasan. Dinyatakan juga bahwa pemerintah Aljazair sudah memberitahukan hal itu kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ketua Dewan Keamanan PBB, serta pemimpin Dewan Transisi Nasional Libya (Transitional National Council/TNC).

Menurut Ahmed Jibril, seorang ajudan ketua TNC Mustafa Abdul-Jalil, TNC bakal “menuntut pemerintah Aljazair meneyrahkan mereka (keluarga Khadafy) ke Libya untuk diadili”.

Anak-anak Khadafy berperan penting di bidang ekonomi dan militer LIbya. Hannibal memimpin perusahaan transportasi laut, dan Mohammed adalah ketua Komite Olimpiade Nasional.

Juru bicara militer TNC Ahmed Bani menyatakan dia tidak terkejut mendengar Aljazair menerima keluarga Khadafy. Selama enam bulan pemberontakan di Libya, pihak oposisi menuduh negara itu memasok Khadafy dengan pembunuh bayaran untuk memadamkan pemberontakan.

Akhir pekan lalu, kantor berita Mesir MENA mengutip seorang pemberontak yang melaporkan adanya iring-iringan sedan Mercedes antipeluru melintasi perbatasan baratdaya Libya di kota Ghadamis menuju Aljazair. Kemenlu Aljazair membantah laporan itu.

Bani menambahkan, pasukan pemberontak kemungkinan besar telah menewaskan putra bungsu Khadafy, Khamis, Sabtu (26/8/2011). Tentara pemberontak bertempur dengan sebuah konvoi militer di Tarhouna dan menghancurkan dua kendaraan di konvoi itu.

Tubuh-tubuh di dalam mobil itu hangus terbakar dan tidak bisa dikenali. Menurut Bani, tentara yang tertangkap mengaku mereka pengawal Khamis.

“Kami yakin dia tewas,” kata Kolonel Boujela Issawi, komandan pemberontak di Tarhouna. Namun dia meragukan pernyataannya sendiri dengan mengatakan Khamis kemungkinan bisa ditarik dari mobil dan di bawa ke sebuah rumah sakit di Bani Walid.

Sementara Kolonel Abdullah Hussein, seorang mantan pilot Angkatan Udara Liba yang kini menjadi salah satu pemimpin pemberontak di Tarhouna, mengatakan, “kami mendengar dari Bani Walid bahwa dia (Khamis) meningal di rumah sakit di sana.”

Saat ditanya bagaimana dia mengetahui hal itu karena Bani Walid masih dikuasai pro-Khadafy, Hussein menjawab, “Kami memiliki orang di sana.”

 

Pengakuan Bekas Pacar Putra Khadafy

MODEL glamour bekas pacar putra Khadafy mengisahkan momen menakutkan
ketika ia  ditangkap pemberontak yang mengancam akan ‘membakarnya
hidup-hidup’.

Talitha van Zon ada bersama Mutassim Khadafy lebih dari seminggu lalu
ketika Mutassim masih bisa dengan tenang menenggak wiski Jack Daniels
untuk merayakan kemenangan atas para pemberontak. Namun hari
berikutnya, para pemberontak yang didukung jet tempur NATO melancarkan
serangan mendadak ke Tripoli. Mutassim pun bergabung dengan pasukan
pendukung ayahnya dan Talitha ditinggalkan.

Talitha yang disergap ketika mencoba untuk meninggalkan negara itu
terpaksa kembali dan berlindung di sebuah hotel. Namun model Belanda
itu kemudian diarak di depan para tentara pemberontak yang meneriakkan
‘bensin, bensin’. Dia takut mereka akan ‘membakarnya hidup-hidup’ lalu
melarikan diri dengan meloncat dari balkon hotel.

“Saya terkejut saat saya bertemu Mutassim. Dia berubah,” kata Talitha
kepada Sunday Telegraph pekan lalu, dari sebuah rumah sakit tempat ia
dirawat karena luka-lukanya. “Itu pertama kali saya melihat dia sejak
pemberontakan pecah Februari lalu. Dia berjenggot, ia duduk di sofa.
Di situ berserakan senjata otomatis. Ia dijaga para pemuda umur 16
tahun yang tidak tersenyum yang menyandang senapan mesin.”

Talitha mengatakan, dalam kunjungan terakhirnya ke Libya itu, sorotan
mata Mutassim ‘dingin’. Gambar Mutassim duduk di bawah sebuah potret
ayahnya dan merencanakan perang melawan pemberontak jauh jauh dari
sosok seorang playboy yang suka bersenang-senang yang ia pacari tahun
2004. Percintaan mereka hanya berlangsung tiga bulan. Menurut Talita,
saat itu ada ‘perempuan lain’ dalam kehidupan Mutassim. Namun mereka
tetap berteman dekat.

Dia ingat bagaimana dia diterbangkan ke seluruh dunia. Di Monaco
Talitha mengatakan dia dibawa ke Grand Prix dan pesta makan malam yang
dihadiri Putri Caroline. Sementara saat Natal ia menikmati liburan di
kepulauan Karibia di Saint Barts setelah diterbangkan dengan Boeing
pribadi.

Menurut Talitha, ketika Mutassim berada di Paris atau London dia akan
memesan beberapa lantai dari sebuah hotel yang paling mahal dan
mengisinya dengan teman-teman, dan penata rambut Italia akan
didatangkan dari seluruh dunia. “Saya pernah bertanya berapa banyak
yang dia belanjakan. Ia sejenak menghitung. Dia bilang ‘sekitar  2
juta dollar AS’. Saya tanya, itu untuk setahun?’ Ia menjawab, ‘Tidak,
itu sebulan’.”

Hadiah yang putra Khadafy itu berikan kepada Talitha termasuk koleksi
tas Louis Vuitton dan jam tangan mahal. Namun selama hubungan mereka,
Talitha mengatakan, dirinya tetap berada dalam sebuah ‘sangkar emas’
dan hanya punya sedikit gambaran tentang kehidupan warga Libya yang
tampaknya ‘cukup bahagia’.

Talitha tidak pernah diizinkan bertemu Mommar Khadafy dan tidak pernah
mempersoalkan punya hubungan intim dengan anak seorang tiran. Dia
mengunjungi Tripoli dan tinggal di rumah pantai Mutassim yang mewah.

Talitha mengatakan, Mutassim membantah kalau rakyat Libya ditindas.
Mereka punya perawatan rumah sakit dan sekolah gratis, dan roti serta
beras murah, kata Mutassim kepada Talitha.

Dia mengatakan, Mutassim mengidolakan pemimpin seperti Adolf Hitler,
Hugo Chavez dan Fidel Castro dan merindukan jenis keberhasilan seperti
itu. Namun, ia menghabiskan hidupnya dalam bayang-bayang kakaknya,
Saif, yang banyak orang anggap sebagai calon pewaris Khadafy. Mutassim
diyakini pernah mencoba menggulingkan ayahnya tetapi ia diasingkan
ketika upaya itu gagal. Ia diberi peran sebagai penasihat keamanan
nasional tetapi oleh para pejabat Libya ia digambarkan sebagai “tidak
punya kemampuan intelektual”.

Talitha mengatakan, Mutassim pernah mengkonfirmasi kepadanya peran
Libya dalam pembom Lockerbie yang tampaknya dilakukan untuk membalas
dendam. Talitha mengatakan, “Saya bilang kepadanya korbannya warga
sipil, bukan militer, dan dia berkata, ‘Talitha, Amerika menyerang
rumah kami di Libya dan ayah saya kehilangan seorang anak (merujuk
pada pengeboman AS di Tripoli tahun 1986)’.”

Pertemuan terakhir Talitha dengan Mutassim terjadi hari Jumat sebelum
pemberontak menyerang Tripoli. Mutassin meninggalkan gadis itu untuk
berjuang demi ayahnya. Talihta meninggalkan Libya dengan kapal
kemanusiaan ke Malta pada hari Jumat.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *